Site icon Prokalteng

Situs Kumitir: Catatan Bumi

DR EKO YULIANTO

Bumi berkisah. Bumi kita mencatat setiap peristiwa yang terjadi sejak diciptakannya jutaan tahun lalu. Catatan itu tertulis dalam lembar halaman waktu, berwujud lapisan-lapisan sedimen di dalam kerak bumi. Tiap kisahnya dicatat dengan menggunakan huruf dan tulisan berbentuk debu, pasir, dan batu.

Ada tulisan yang masih jelas dan ada yang sudah tidak jelas, bahkan hilang. Ahli geologi berusaha membaca dan menerjemahkannya supaya semua memahami kisah-kisah dalam catatan bumi ini. Dan inilah catatan bumi yang dibaca oleh ahli geologi tentang kisah Situs Kumitir.

Sisi tenggara Trowulan, Mojokerto, berada di kaki kipas aluvial Jatirejo, tertimbun oleh endapan banjir sungai, lahar, dan abu gunung api. Kipas aluvial adalah istilah geologi, yang menggambarkan rona permukaan bumi menyerupai kipas jika dilihat dari atas. Kipas aluvial terbentuk di kaki pegunungan, di mulut lembah sempit.

Jika sungai yang melewati lembah sempit itu mendapat pasokan sedimen terus-menerus dari hulunya, kipas aluvial dapat terbentuk di muka lembah itu hingga radius beberapa kilometer, berupa timbunan pasir dan batu.

Dalam foto citra satelit, kipas aluvial Jatirejo menjangkau radius lebih dari 5 kilometer hingga utara Kumitir. Wajar jika Situs Kumitir mulanya terkubur di dalam tanah. Aktivitas penggalian tanah untuk pembuatan bata menyingkap bukti keberadaan situs tersebut sehingga Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah XI memutuskan untuk melakukan ekskavasi sejak 2019. Tebing sisa galian tanah dan dinding-dinding galian ekskavasi mengungkapkan kronologi situs itu.

Sejarah Situs Kumitir dimulai dari pendirian pagar bata mengelilingi area segi empat bersisi hampir 316 x 203 meter. Sumbu panjang segi empat tersebut mengarah ke Gunung Penanggungan. Gapuranya lebih lebar daripada pagar, berada di tengah pagar sisi barat. Tinggi pagar itu lebih dari 170 cm, terungkap dalam ekskavasi pagar sisi timur pada 2019.

Bata terbawah pagar diletakkan di atas endapan berangkal sungai pada kedalaman 170 cm dari permukaan tanah saat itu. Buktinya adalah terpotongnya lapisan abu gunung api berwarna putih setebal sekitar 5 cm dan lapisan tanah setebal 15 cm di atas pagar, pada tebing galian linggan di pagar sisi timur.

Fenomena itu terlihat. Jadi, pagar keliling situs dibangun setelah pengendapan lapisan abu dan terbentuknya tanah setebal 15 cm di atasnya. Posisi bata teratas dari tiga buah sumur berbentuk kotak serta posisi permukaan silinder terakota teratas penyusun jobong yang sedikit lebih tinggi dari lapisan abu membuktikan bahwa permukaan tanah di atas lapisan abu adalah level lapisan budaya saat pagar keliling didirikan.

Lapisan abu tersebut juga ditemukan di Situs Klinterejo dan di galian-galian linggan di sekitar Danau Kumitir. Mengingat sebarannya yang luas, lapisan abu itu mungkin hasil letusan Gunung Samalas di Pulau Lombok yang meletus hebat pada 1257 ketika Wishnuwardhana sedang berkuasa di Singasari dan Narasingamurti yang pernah diangkat sebagai Yuwaraja (Raja Muda) di Wengker sebagai patihnya.

Jadi, pagar keliling Situs Kumitir mungkin dibangun pada masa Wishnuwardhana (1250–1268) berkuasa atau setelahnya. Namun, pembangunan pagar tersebut terhenti oleh banjir lahar. Hal itu dibuktikan oleh adanya lapisan lahar hingga satu meter yang mengubur pagar bata di sudut barat laut dan timur laut.

Pembangunan di Situs Kumitir dilakukan lagi setelah peristiwa banjir lahar itu. Struktur bata di lokasi yang disebut ’’sektor’’ menjadi buktinya. Struktur itu menyerupai permukaan yoni segi empat raksasa dengan cerat mengarah ke barat. Tengahnya berceruk, dikelilingi tembok selebar 365 cm setinggi kurang dari satu meter, tersusun oleh 6–10 lapis bata.

Tepi luar tembok ditinggikan seperti pagar selebar 92 cm di sisi utara dan 98 cm di sisi selatan dan timur. Pagar itu hanya tersisa di sudut timur laut setinggi 150 cm. Selasar selebar 60 cm tersusun oleh dua lapis bata menutupi pinggir ceruk. Dua lapis tatanan batu andesit bulat berdiameter sekitar 20 cm mengalasi seluruh struktur, termasuk bagian tengah ceruk.

Hampir seluruh struktur bata itu tertimbun batu andesit berdiameter 15–50 cm. Pada sisi selatan, sebagian sisi timur, dan sebagian sisi utara, tatanan batu andesit melebar keluar dari struktur bata yang ditimbunnya. Beberapa bagian struktur bata, terutama permukaan tembok pengapit ceruk, menjadi terlihat setelah BPKW XI memindahkan tiga lapis tatanan batu andesit di atasnya saat ekskavasi pada 2020–2021.

Ada yang berspekulasi bahwa banjir telah mengendapkan batu-batu andesit tersebut. Ini tidak masuk akal mengingat batu-batu serupa tidak ditemukan di sekitarnya. Selain itu, banjir akan mengendapkan batu berbagai bentuk dan ukuran tercampur tidak beraturan. Batu-batu andesit bulat itu terlihat ditata dalam lapisan-lapisan yang dapat dirunut.

Lima lapisan terbawah memenuhi ceruk. Di bagian tembok bata sisi utara yang tersusun oleh 6 lapis bata, lapisan kelima menutupi permukaan tembok. Lapisan keenam menutupi seluruh permukaan tembok kecuali pada tembok timur.

Lapisan ketujuh, kedelapan, dan kesembilan menutupi seluruh bagian struktur bata. Di sudut timur laut, batu andesit ditata lebih tinggi enam lapis, rata dengan permukaan pagar. Di beberapa lapisan terselip batu andesit kotak seperti bahan batu candi.

Struktur bata dan struktur batu andesit di atasnya jelas berbeda masa dan budaya. Struktur batu andesit dibuat setelah struktur bata mengalami kerusakan. Penyebab rusaknya struktur bata mungkin sekaligus yang menghentikan pembangunan struktur itu sebagai sebuah candi. Adanya batu-batu andesit berbentuk simetris dalam berbagai ukuran menunjukkan bahwa struktur bata mungkin awalnya direncanakan sebagai bangunan candi.

Pada sisi lain, batu-batu bulat andesit itu yang mengubur struktur bata bukanlah endapan banjir meskipun batu-batu itu kemudian terkubur oleh endapan banjir. Ekskavasi yang dilakukan BPKW XI pada 2020–2021 menyingkap lapisan endapan banjir yang mengubur struktur batu-batu andesit. Endapan banjir itu kaya dengan pecahan bata, batu andesit beragam bentuk dan ukuran, bahkan tulang binatang.

Di beberapa tempat lain, endapan banjir tersebut terlihat mengubur beberapa struktur bata sederhana. Adanya lapisan pecahan genting dan beberapa batu umpak dalam endapan banjir itu menjadi petunjuk bahwa di atas struktur tatanan batu andesit terdapat struktur atap genting, disangga tiang-tiang yang ditopang batu umpak.

Banjir besar menghancurkan struktur atap genting tersebut, menyisakan endapan banjir lebih dari satu meter yang dapat dilihat di seluruh kawasan Situs Kumitir. Ini boleh jadi menjadi banjir besar terakhir yang mengakhiri peradaban klasik di Situs Kumitir.

Rekonstruksi geoarkeologi Situs Kumitir masih menyisakan pertanyaan, yaitu tentang waktu terjadinya semua peristiwa tersebut. Memastikan waktu terjadinya peristiwa menjadi kunci dalam memahami kemungkinan peran bencana alam sebagai faktor penyebab dan pemicu pergolakan politik di masa lalu.

Analisis pentarikhan umur absolut menggunakan metode isotop karbon 14 terhadap beberapa sampel yang sudah diambil selama ekskavasi oleh BPKW XI pada 2024 diharapkan bisa menyempurnakan rekonstruksi geoarkeologi ini. (*)

*) DR EKO YULIANTO, Peneliti Pusat Riset Kebencanaan Geologi BRIN

Exit mobile version