BUMN sangat mungkin tidak jadi dibelah bambu. Bahkan tidak dibelah sama sekali. Seluruh perusahaan BUMN bisa langsung pindah menjadi di bawah Danantara. Yang besar maupun yang level UMKM.
Setelah UU BUMN yang baru disahkan, perkembangannya sangat dinamis. Ide awalnya hanya tujuh BUMN besar yang “boyongan” ke Danantara.
Ide itu lantas dianggap nanggung. Biar pun hanya tujuh, nilainya sudah mencapai 80 persen dari keseluruhan BUMN.
Tidak mungkin Kementerian BUMN hanya ditinggali sisanya yang 20 persen –yang semuanya kelas teri dan para duafa.
Pertanyaannya: lantas apa beda Kementerian BUMN dan Danantara?
Ide lamanya jelas beda. BUMN di bawah menteri BUMN (sebagai pengelola) dan Kementerian Keuangan (sebagai pemilik).
Sedang Danantara langsung di bawah presiden –meski belum jelas juga siapa pemiliknya secara legal.
Rupanya ide lama itu menimbulkan “gejolak”. Gejolaknya sangat tinggi. Tersembunyi. Pergumulan di bawah selimutnya seru. Eksistensi Danantara menjadi persoalan: tunduk ke UU yang mana.
Akhirnya disepakati: harus dibenahi dulu UU-nya. Padahal Danantara-nya sudah telanjur dibentuk. Pengurusnya telanjur ditunjuk. Sudah pula dilantik.
Untung, kini UU bisa dibuat sangat cepat. Aklamasi. DPR kompaknya bukan main. Fantastis.
Tentu UU masih memerlukan Peraturan Pemerintah. Agar pasal-pasalnya bisa dilaksanakan.
Hanya satu UU yang untuk melaksanakannya tidak diperlukan PP sama sekali. Yakni UU Pers. Para aktivis kebebasan pers sangat khawatir. Waktu itu. Jangan-jangan UU-nya sudah menjamin kebebasan, PP-nya menelikung.
Maka sudah terkenal: banyak kasak-kusuk di proses kelahiran PP. Banyak yang menjaganya secara ketat. Kalau proses melahirkan UU-nya harus lewat pintu terbuka lahirnya PP bisa dilakukan dalam remang-remang.
Anda tidak perlu ikut menjaganya. Mengintip pun jangan. Mungkin juga tidak mampu. Pihak yang biasanya melotot adalah mereka yang punya kepentingan langsung.
Tebakan saya: PP itu bisa lahir sangat cepat. Ini PP yang akan sangat bersejarah bagi BUMN maupun bagi negara. Lewat PP itu era BUMN praktis berakhir.
Danantara tidak sama lagi dengan BUMN. Seluruh perusahaan BUMN tidak lagi setor deviden ke menteri keuangan. Seluruh BUMN setor dividennya ke Danantara.
Danantara-lah yang akan setor dividen ke Kementerian Keuangan. Dividen dari labanya sendiri. Bukan labanya BUMN.
Artinya uang hasil dividen dari para BUMN diputar dulu oleh Danantara. Dibisniskan. Kalau bisnis Danantara baik, punya laba.
Sebagian laba disetorkan ke Kementerian Keuangan sebagai dividen. Kalau bisnis Danantara jeblok tidak ada-lah itu dividen.
Tentu Danantara tidak harus berlaba. Setidaknya laba jangka pendek.
Bisa saja Danantara diberi tugas khusus oleh pemerintah untuk mengerjakan bisnis tertentu. Misalnya jalan tol. Atau membangun pabrik mesin pertanian. Atau mencetak sawah. Tidak lagi pakai APBN. Cukup pakai uang Danantara.
Katakanlah bulan Juli depan, Danantara mulai dapat dividen. Dari para BUMN. Besarnya, katakanlah, Rp 150 triliun. Dividen biasanya memang dibayarkan di bulan Juli sampai Desember.
Dulu-dulu, uang Rp 150 triliun itu masuk ke Kementerian Keuangan. Di Kemenkeu dimasukkan ke APBN. Untuk membangun. Katakanlah untuk membiayai proyek-proyek senilai Rp 150 triliun. Habis. Uang habis, proyek selesai.
Di Danantara uang Rp 150 triliun itu dijadikan “modal” untuk “mencari” investor senilai Rp 1.000 triliun. Maka di Danantara uang Rp 150 triliun bisa dipakai membangun proyek senilai Rp 1.000 triliun.
Itu tafsir saya. Mungkin begitu. Itu pun kalau pengelola Danantara mampu melakukan itu. Jangan-jangan sebaliknya: uang Rp 150 triliun tersebut amblas.
Tahun depannya lagi Danantara dapat setoran dividen dari para BUMN sebesar itu lagi. Atau lebih besar. Dijadikan “kendaraan” lagi. Untuk membangun proyek Rp 1.000 triliun lagi.
Begitulah tiap tahun. Di Danantara uang Rp 150 triliun menjadi bernilai Rp 1.000 triliun. Di APBN uang Rp 150 triliun tetap bernilai Rp 150 triliun –sebelum diambil jatah korupsi 30 persennya.
Apakah Anda punya tebakan yang sama dengan tebakan saya di atas? (Dahlan Iskan)