Site icon Prokalteng

Surat Papa

Proses persemayaman Alvin Lim

SAYA mesong di hari terakhir Alvin Lim di persemayamannya di Grand Heaven, Pluit Jakarta.

Tiga ruang di lantai dasar di rumah duka itu dibuka jadi satu. Luas. Dipenuhi meja dan kursi.

Di atas meja banyak makanan disajikan. Begitu banyak orang yang mesong –melayat dalam bahasa Hokkian– selama empat hari di persemayaman itu.

Keesokan harinya, Jumat kemarin, mayat pengacara Alvin Lim dikremasi. Itu sesuai dengan wasiatnya: dibakar. Lokasi pembakaran di lantai lima Grand Heaven itu juga.

Tuan rumah di tempat mesong itu adalah dua wanita muda –salah satunya masih remaja: Phio, istri Alvin Lim, dan Kate putri Alvin dari istri terdahulu.

Sebentar lagi Kate tamat SMA Katolik di Tangerang.

Dua wanita itulah yang menerima ucapan duka. Tapi Kate lebih sering duduk di kursi di pojok peti mayat papanyi. Pojok kiri atas. Tepat di sebelah kepala sang ayah.

Kepala Kate disandarkan ke pojok peti itu. Tangan kanannyi membelai pipi sang ayah. Meraba bibirnya. Menyentuh hidungnya. Mengusap telinganya. Saya berlinang menyaksikan itu.

Maka Kate sering tidak ikut menyambut pelayat. Mereka datang langsung menuju peti jenazah, berdiri tegak, membungkuk, memberi hormat, lalu berdoa menurut agama masing-masing.

Dalam adat Tionghoa biasanya keluarga yang berduka berdiri berjajar menerima penghormatan tamu di dekat peti itu. Kate lebih memilih sibuk bercengkerama dengan papanyi di dalam peti mati.

Keluarga Alvin Lim memang tidak terlalu pegang adat Tionghoa. Keluarga ini sudah lebih Kristen. Salib besar, terbuat dari bunga, dipajang gagah di dinding atas kepala Alvin.

Phio sesekali juga seperti Kate. Duduk di pojok atas kanan peti jenazah. Posisi kepalanyi juga seperti Kate. Tangannnyi juga meraba wajah Alvin. Kadang keduanyi melakukan itu bergantian. Kadang bersamaan.

Saya ikut di situ. Sebentar. Di antara kepala Phio dan Kate. Dengan begitu saya bisa mengajukan beberapa pertanyaan.

Kate ternyata tahu semua cerita masa bayinyi. Yakni ketika dia ”diculik” papanyi di usia satu tahun. Lalu ketika papanyi ditangkap dengan tuduhan melakukan penculikan. Dia tahu diasuh nai-nai-nyi (ibunda Alvin), ketika Alvin di dalam penjara.

Kate mendapat semua cerita itu dari Alvin. “Papa sering bercerita soal masa bayi saya,” ujar Kate.

Sejak dipisahkan dari mamanyi itu nama Kate diganti Baby. Agar tidak ketahuan kalau namanyi Kate.

“Sampai sekarang pun keluarga saya masih memanggil saya Baby,” ujar Kate.

Setelah SMA nanti Baby akan kuliah di dua universitas sekaligus. Dia akan masuk Universitas Pelita Harapan (UPH) seperti Phio. Ambil jurusan bisnis. Lalu akan masuk lagi Universitas Gunung Jati seperti Alvin. Untuk ambil ilmu hukum. Di situlah papanyi memperoleh gelar sarjana hukum, setelah ia lulus finance di University of California, Berkeley di Amerika Serikat.

Baby sendiri sudah memanggil Phio mami. Dulunya Baby memanggil Phio tante.

Alvin memang belum lama menikahi Phio, tapi mereka sudah lama melakukan perkawinan. Lebih 10 tahun. Sejak Phio masih mahasiswi di UPH.

Berarti Alvin hampir 10 tahun juga sendirian mengasuh Baby. Sejak berumur satu tahun sampai Baby kelas tiga SD. Setelah itu barulah Baby diasuh berdua dengan Phio.

Phio dan Alvin memang beda umur. Banyak. Hampir 17 tahun. Kini Phio 30 tahun. Alvin 47 tahun. Tentu itu tidak sebanyak selisih usia Ahok dengan istri barunya: 30 tahun.

Semua pelayat yang saya ajak ngobrol mengagumi Alvin di soal perjuangannya menegakkan hukum dan keadilan.

Sampai sudah cuci darah pun masih terus menantang polisi dan jaksa.

Sudah sakit parah pun, menjelang ajalnya, masih menantang pengacara senior lawannya.

Prinsip penegakan hukum Alvin akan abadi diingat orang: No Viral No Justice. Tanpa diviralkan di medsos tidak akan ada keadilan.

Penegak hukum, katanya berulang kali, hanya memihak ke yang punya kuasa dan yang punya uang.

“Mengapa Alvin tidak mau transplantasi ginjal?” tanya saya ke Uci, panggilan Phio.

“Sebenarnya akhirnya mau juga. Kami sudah ke Guangzhou. Sudah dapat donor,” kata Phio. “Waktu pemeriksaan di sana diketahui paru Alvin infeksi,” tambahnyi.

Itu berarti Alvin harus minum antibiotik dulu. Paling tidak sembilan hari. Transplantasi baru bisa dilakukan setelah infeksi di paru itu sembuh.

Jelaslah bahwa Alvin tidak transplan bukan karena kankernya sudah menyebar. “Tidak ada kanker,” katanyi.

“Apakah dari hasil pemeriksaan dokter sebenarnya masih bisa diselamatkan dengan transplan?”

“Masih bisa. Tapi harus tunggu parunya sembuh dulu,” ujarnyi.

Sambil menunggu sembuh itulah Alvin balik ke Jakarta. Alvin meninggal.

Alvin sebenarnya anak orang kaya raya. Pemilik Bank Tamara. Juga Bank Bira. Nama bapaknya sangat terkenal di Jakarta pada masanya: Atang Latief.

Salah satu yang membuat ia terkenal adalah: Jan Darmadi.

Bisnis Jan Darmadi lebih besar dari Atang. Sebagian besar tanah mahal di Kuningan adalah milik Jan Darmadi.

Atang Latief bersaing keras dengan Jan Darmadi. Berseberangan. Bermusuhan. Dua-duanya jadi terkenal.

Hanya saja Alvin, anak Atang Latief dari istri yang muda. Tidak punya hak waris. Dengan istri itu Atang punya dua anak: Alvin Lim dan adik lakinya.

“Apakah Kate pernah bertemu mama sejak terpisah di umur satu tahun itu?”

“Tidak pernah,” jawab Kate.

“Tidak pernah punya rasa ingin bertemu?”

“Tidak”.

“Pernah melihat wajah mama?”

“Pernah. Kan ada di internet”.

Saya pun mengobrol dengan pelayat yang kenal mama Alvin Lim. “Sangat cantik,” ujarnyi.

Cantik dan kaya. Dia putri Ang Kang Hoo: partner Honda di Indonesia saat itu.

Saya sempat kenal Kang Hoo. Kang Hoo sudah meninggal. Pun sang putri yang meninggalkan Alvin dan adiknya.

Semua orang kok akhirnya meninggal.

Saat saya akan pamit, Kate dan Phio masih di pojok peti mati. Kate memegang kertas putih. Dia lagi mencari-cari pulpen.

Di dekat kepala papanyi itu Kate lagi akan menulis surat. Yakni surat untuk papanyi. Surat itu akan dimasukkan peti sebelum peti ditutup mati.

Keesokan harinya surat sang putri akan ikut terbakar abadi bersama mayat papanyi. (Dahlan Iskan)

Exit mobile version