AKHIR-akhir ini masyarakat digemparkan oleh berita nestapa sebagian masyarakat kita yang sudah jatuh masih tertimpa tangga. Pinjaman online (pinjol) yang semula dianggap sebagai ’’dewa penolong” berubah menjadi nestapa. Dianggap sebagai dewa penolong karena narasi yang disiarkan menawarkan angin surga, memberi solusi kesulitan masyarakat dari beban ekonomi yang mengimpit. Masyarakat yang menghadapi jalan buntu untuk mengakses sumber ekonomi tiba-tiba dengan cara yang mudah dan singkat diberi peluang. Pinjol diterima seperti hujan emas dari langit.
Menurut data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) per 31 Agustus 2021, perkembangan pinjaman online ilegal mencapai Rp 249 triliun dengan akumulasi lebih dari 68 juta rekening. Makna dari data ini adalah betapa luasnya eskalasi masyarakat kita yang terjebak masalah utang dengan kegaduhan yang menyertainya.
Keadaan seperti ini sesungguhnya menjadi refleksi kelemahan sistem keuangan yang resmi seperti perbankan yang tidak mampu mendistribusikan pinjaman kepada masyarakat yang membutuhkan pertolongan. Akibatnya, masyarakat tidak punya pilihan lain kecuali menerima tawaran pinjol ilegal sebagai jalan keluar yang terpaksa (emergency exit). Dalam situasi yang kalut, pinjol menjadi secercah harapan untuk keluar dari impitan ekonomi meski pada akhirnya memaksa nasabah seperti menggali lubang untuk menutup lubang.
Persoalan baru setelah mendapat pinjaman adalah bagaimana mendapatkan dana untuk membayar utang yang bunganya sangat tinggi. Sebagaimana dilaporkan para jurnalis, ada seorang korban yang pinjam Rp 1 juta, tapi dana yang cair hanya Rp 860.000. Celakanya, korban harus membayar (mengembalikan) Rp 1,4 juta dalam waktu 30 hari.
Masalah yang mengemuka adalah cara atau teknis pinjol dalam menagih nasabahnya. Mereka memakai jasa yang mirip dengan penagih utang (debt collector). Setelah jatuh tempo tidak bisa membayar, muncul teror baik langsung maupun melalui telepon. Konon menggunakan kata-kata kasar seperti menggunakan nama binatang, maling, rampok, dan sejenisnya.
Bukan hanya itu, teror tersebut disampaikan (ditembuskan) melalui WhatsApp saudara dan handai tolan. Hal ini bisa terjadi karena ternyata pinjol memiliki akses ke nomor-nomor yang ada di HP nasabah. Ini merupakan aksi pembobolan ke HP pribadi meski barangkali akses tersebut diizinkan oleh nasabah. Dapat dibayangkan stres yang dialami nasabah pinjol akibat dipermalukan di ranah publik.
Cara-cara yang dilakukan ala debt collector seperti itu sering disebut koersif. Koersif merupakan pengendalian sosial dengan cara paksaan atau kekerasan, baik secara fisik maupun psikis. Biasanya merupakan cara terakhir setelah beberapa cara yang dilakukan tidak berhasil. Saya yakin pinjol sudah mengetahui bahwa target nasabahnya merupakan kalangan yang miskin secara struktural dan sangat kecil kemungkinannya bisa mengembalikan pinjaman sesuai skema.
Koersif merupakan cara yang sengaja dilakukan supaya nasabah melakukan segala cara agar bisa mengembalikan pinjaman. Cara-cara mem-pressure nasabah seperti ini menjurus pada pemaksaan nasabah menggunakan segala cara untuk mendapatkan uang. Inilah situasi yang mengkhawatirkan dan berpotensi pada munculnya tindakan kriminal di masyarakat. Kalau sudah demikian, negara tidak boleh lepas tangan. Sebab, masyarakat yang terjebak dalam pinjol juga merupakan akibat dari situasi sosial yang tidak diperhitungkan dampak sosialnya oleh negara.
Tindakan kepolisian yang menindak lembaga pinjol ilegal merupakan suatu keniscayaan karena pinjol ilegal telah menimbulkan keresahan yang meluas. Tetapi, harus dipikirkan katup sosial lainnya. Melalui beberapa kementerian seperti Kementerian Sosial, Kementerian Tenaga Kerja, Kementerian Desa, dan lainnya.
Barangkali perlu dievaluasi kembali efektivitas lembaga perbankan dalam penyaluran kredit. Akan lebih mendidik bila mempermudah akses ke perbankan ketimbang memberikan cuma-cuma dalam bentuk bantuan langsung tunai (BLT). Melalui mekanisme kredit pinjaman, masyarakat terikat perjanjian pada skema yang disepakati, bunga yang rendah, dan transparan. Maka, ada unsur edukasinya.
Terkait BLT, tidak ada target pengembalian kecuali dimaknai sebagai hadiah yang tidak memiliki konsekuensi. Saya yakin uang BLT cenderung digunakan untuk konsumsi, sama sekali tidak mendorong produktivitas.
Disonansi Kognitif
Sebagai suatu pengetahuan, pinjol merupakan informasi yang sudah memasyarakat. OJK mengaku telah melakukan sosialisasi sebagai edukasi agar masyarakat tidak meminjam uang pada lembaga keuangan ilegal karena risikonya amat besar. Di media massa dan media sosial telah bertebaran informasi tentang nestapa korban pinjol.
Pertanyaannya, mengapa banyak di antara kita yang meski sudah tahu sesuatu itu bertentangan dengan kepercayaan atau nilai yang diyakini tetap saja dilakukan? Leon Festinger (1957) menamai gejala tersebut sebagai disonansi kognitif (cognitive dissonance). Setiap orang dipastikan pernah atau bahkan sering menghadapi situasi seperti ini. Contohnya, seorang perokok pasti paham bahwa kebiasaan itu membahayakan kesehatannya, tetapi tetap saja merokok.
Ada dua nilai yang bertentangan dalam mentalnya. Seseorang mengambil satu nilai dari nilai yang bertentangan itu ternyata ditentukan oleh lingkungannya. Ketika lingkungannya mendukung satu nilai tertentu dengan segudang argumentasi, pilihan individu cenderung pada determinisme yang menghampirinya. Maka, sosialisasi atau edukasi kepada masyarakat menjadi sia-sia ketika lingkungannya menegasi informasinya. Misalnya muncul komentar, ’’OJK cuma bisa ngomong, tak memberi solusi.’’
Untuk mengubah pilihan yang salah, mesti dilancarkan dengan mengubah keyakinan lama. Dalam kasus pinjol, harus ada produksi dan reproduksi informasi negatif tentang pinjol. Tak hanya melalui media massa dan media sosial, tetapi juga sampai ke ruang pribadi di gadget individu. Penetrasi lembaga pinjol ilegal ini sangat kuat menawarkan produk pinjamannya sampai ke gadget pribadi. Semoga ada jalan keluar. (*)
REDI PANUJU, Pengajar ilmu komunikasi di Universitas dr Soetomo Surabaya