Site icon Prokalteng

PHPU: Mahkamah Konstitusi Tak Perlu Terapkan Judicial Activism

Oleh: Kariswan Pratama Jaya, S.H., S.Sy

KEPUTUSAN KPU RI nomor 360 tahun 2024 yang menetapkan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden nomor urut 02 sebagai pemenang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden RI  2024 menuai protes. Pasangan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden nomor urut 01 dan nomor urut 03 memutuskan untuk mengajukan Permohonan dalam perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum di Mahkamah Konstitusi. Perang psikologi segera dilancarkan oleh Pihak Pemohon maupun Pihak Terkait melalui media massa bahkan sebelum pemeriksaan pendahuluan dimulai.

Pasca diajukannya Permohonan dalam perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum dengan nomor perkara 1/PHPU.PRES-XXII/2024 dan 2/PHPU.PRES-XXII/2024 sebagaian pihak menuding permohonan Pemohon salah alamat karena Mahkamah Konstitusi tidak berwenang mengadili perkara tersebut. Mereka berargumen bahwa perkara yang dibawa Pemohon merupakan upaya hukum atas sengketa proses pemilu sehingga permohonan Pemohon melanggar kompetensi absolut Mahkamah Konstitusi. Disisi lain sebagian pihak berharap agar Hakim Konstitusi menerapkan Judicial Activism dalam upaya memenuhi keadilan dengan menerobos batas-batas yang telah dibuat oleh peraturan perundang-undangan. Lantas benarkah Mahkamah Konstitusi tidak berwenang mengadili perkara tersebut? Dan perlukah Hakim Konstitusi menerapkan Judicial Activism?

Kewenangan Mahkamah Konstitusi

Pasal 1 angka 3 huruf d Undang-undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konsitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 7 tahun 2020 menentukan bahwa yang diakui sebagai permohonan di Mahkamah Konstitusi diantaranya adalah permohonan dalam perkara Perselisihan Hasil Pemilihan umum. Hal itu senada dengan ketentuan  Undang-undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dalam Pasal 10 ayat (1) huruf d yang menyebutkan Mahkamah Konstitusi RI berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Sehingga secara asasi berdasarkan norma hukum positif Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum.

Perdebatan muncul ketika ada pihak yang menyatakan bahwa permohonan Pemohon dalam perkara a quo “salah kamar” karena mengandung muatan-muatan sengketa proses sehingga pihaknya berpendapat bahwa Mahkamah Konstitusi akan menolak mengadili perkara a quo.

Pasal 30, Pasal 31 dan Pasal 75 huruf a Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 7 tahun 2020 memerintahkan agar Pemohon dalam perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum menuangkan grondslag van de lis sehingga kehadiran kisah-kisah peristiwa (feitelijke gronden) berkaitan proses pemilu termasuk kejadian dengan muatan-muatan yang beririsan dengan muatan sengketa proses, pasti akan didapati dalam posita. Pemohon diwajibkan mendalilkan adanya hubungan hukum antara kesalahan hasil penghitungan suara dengan kejadian-kejadian yang menyebabkan KPU menetapkan hasil penghitungan suara yang salah.

Singkatnya, Undang-undang lah yang memerintahkan Pemohon untuk memuat uraian sebab-akibat dalam surat permohonan perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum. Hal-hal seperti dugaan kecurangan dalam tahapan pemilihan umum sebelum pemungutan suara dapat diajaukan sebagai dalil sebab. Kemudian argumentasi kesalahan dalam hasil penghitungan suara sebagai dalil akibat, hal mana menurut Pemohon menimbulkan kerugian bagi pihak Pemohon. Meskipun dalil-dalil sebab tersebut berisikan dugaan-dugaan pelanggaran pemilu yang secara materiil muatannya “beririsan” dengan muatan dalam terminologi sengketa proses pemilu namun objek pokok perkara dalam perkara a quo tetap . Sehingga dapat disimpulkan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum sepanjang Pemohon memuat adanya penghitungan hasil pemilihan suara yang salah dalam tuntutannya dan menguraikan dengan jelas hal-hal yang didalilkan sebagai sebab timbulnya hasil penghitungan suara yang salah. Dengan kata lain Pemohon harus memuat dalil-dalil adanya sebab-sebab formil maupun sebab-sebab materiil ke dalam fundamentum petendi pada surat permohonan. Kemudian untuk mencapai tujuan yang dikehendaki dalam petitum maka Pemohon akan mengajukan semua alat bukti yang ada untuk membuktikan hubungan hukumnya agar Hakim Konstitusi dapat mengabulkan tuntutan Pemohon.

Sengketa Proses dan Hasil

Sebenarnya Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 7 tahun 2020 tidak mengenal istilah sengketa proses pemilu, pun sengketa hasil pemilu. Terminologi sengketa hasil pemilu mungkin bersumber dari penafsiran sistematis atau historis terhadap peraturan perundang-undangan terkait. Adapun terminologi sengketa proses pemilu tercantum dalam undang-undang pemilu, peraturan bawaslu dan peraturan Mahkamah Agung. Penafsiran otentik dari peraturan perundang-undangan menjelaskan bahwa sengketa proses pemilu berdasarkan kewenangan lembaga yang memeriksanya terbagi menjadi 2 macam. Sengketa proses pertama adalah sengketa proses yang menjadi wewenang Bawaslu, dimana sengketa proses pemilu adalah setiap sengketa yang timbul akibat adanya keputusan KPU. Kemudian dapat dipahami bahwa sengketa antar peserta terjadi akibat ada hak peserta pemilu yang dirugikan secara langsung oleh peserta pemilu lain dan sengketa peserta pemilu dengan penyelenggara pemilu terjadi akibat ada hak peserta pemilu yang dirugikan secara langsung oleh penyelenggara pemilu. Sengketa proses pemilu kedua adalah sengketa proses yang menjadi wewenang PTUN antara bakal pasangan calon dengan KPU akibat timbulnya keputusan KPU yang tidak meloloskan peserta pemilu tersebut. Sementara sengketa proses yang menjadi kewenangan Mahkamah Agung adalah sengketa pelanggaran administratif atas dibatalkannya kepesertaan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden berdasarkan keputusan KPU tentang pembatalan sebagai calon.

Faktanya terdapat penyempitan makna Sengketa Proses Pemilu dalam norma hukum positif kepemiluan. Meskipun Undang-undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dan Peraturan Badan Pengawas Pemilihan Umum Nomor 9 tahun 2022 tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Proses Pemilihan Umum mengatur penafsiran otentik terhadap terminologi hukum Sengketa Proses Pemilu dalam ruang lingkup yang luas namun PTUN sebagai saluran akhir bagi pemeriksaan Sengketa Proses terikat pada Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 tahun 2017 tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Proses Pemilihan Umum di Pengadilan Tata Usaha Negara yang telah mempersempit definisi Sengketa Proses Pemilu sebagai sengketa antara bakal pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang tidak lolos verifikasi dengan KPU akibat adanya keputusan KPU. Padahal Perbawaslu 9/2022 dalam Pasal 80 huruf c mengatur Putusan Bawaslu, Bawaslu Provinsi, dan Bawaslu Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 bersifat final dan mengikat, kecuali putusan penyelesaian sengketa Peserta Pemilu dengan penyelenggara Pemilu yang berkaitan dengan penetapan pasangan calon. Dari sini kita dapat mengetahui bahwa ketentuan penyelesaian sengketa proses pemilu sejak awal hanya mengakomodir bakal pasangan calon yang berkepentingan langsung dan menderita kerugian secara langsung karena tidak lolos verifikasi akibat adanya keputusan KPU. Sehingga potensi kerugian yang diderita oleh pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden nomor urut 01 dan 03 akibat diloloskannya pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden nomor urut 02 tidak masuk ke dalam kategori sengketa proses pemilu dalam ketentuan perundang-undangan ini.

Jika permasalahan tersebut tidak diakomodir oleh Bawaslu dan PTUN sebagai Sengketa Proses Pemilu lantas kemana mestinya pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden nomor urut 01 dan 03 mengajukan upaya hukum keberatan?

Kekosongan Hukum

Seperti kita ketahui bahwa ketentuan perundang-undangan kepemiluan mengatur ada 3 jenis laporan yang dapat disampaikan kepada Bawaslu sebagai badan pengawas penyelenggaraan pemilu yakni laporan pelanggaran administratif, laporan pelanggaran etik atau laporan sengketa pemilu. Kita dapat sepakati bahwa secara normatif tidak ada muatan sengketa proses pemilu dalam proses pendaftaran, verifikasi dan penetapan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden nomor urut 02 berdasarkan paparan diatas. Adapun laporan atas pelanggaran kode etik telah diproses secara tuntas oleh DKPP. Dugaan pelanggaran administratif telah dinyatakan oleh Bawaslu sebagai laporan yang tidak masuk kualifikasi pelanggaran administratif karena tidak memenuhi syarat materiil. Sebelumnya penulis telah mengulas bahwa secara normatif tidak ada pelanggaran administratif dalam proses pendaftaran hingga penetapan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden nomor urut 02 sebagai peserta pemilu 2024 sedangkan Bawaslu sebagai lembaga quasi judicial tidak berwenang menafsirkan hukum dan tidak pula berwenang melakukan konstruksi hukum. Terlebih lagi Peraturan Mahkamah Agung nomor 4 tahun 2017 tentang Tata Cara Penyelesaian Pelanggaran Administratif Pemilihan Umum di Mahkamah Agung juga tidak mengakomodir jenis peristiwa hukum lolosnya Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden nomor urut 02 dalam verifikasi oleh KPU sebagai pelanggaran administratif. Hal ini disebabkan Pasal 1 poin 12 Perma 4/2017 membatasi terma Permohonan sebagai upaya hukum oleh calon Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden yang dikenai sanksi administratif pembatalan oleh KPU akibat dikeluarkannya Keputusan KPU tentang pernbatalan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden yang diajukan langsung ke Mahkamah Agung. Artinya, Pertama, yang dapat dikualifikasi sebagai permohonan sengketa pelanggaran administratif yang dapat diadili oleh Mahkamah Agung adalah uapaya hukum atas pembatalan KPU terhadap kepesertaan Pasangan Calon tersebut. Kedua, pihak yang dapat memenuhi legal standing sebagai pemohon dalam perkara tersebut adalah Pasangan Calon yang kepesertaannya dibatalkan oleh KPU, sehingga jelas Pasangan Calon lain tidak bisa mengajukan permohonan penyelesaian pelanggaran administrasi di Mahkamah Agung atas diloloskannya Pasangan Calon lain. Sehingga tidak ada saluran hukum yang dapat digunakan oleh Pasangan Calon lain untuk mengutarakan keberatan atas keputusan Bawaslu yang menyatakan tidak ada pelanggaran administratif dalam proses pendaftaran dan verifikasi Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden nomor urut 02. Selain itu keputusan Bawaslu RI bukan jenis keputusan yang dapat diajukan ppermohonan koreksi. Hanya keputusan Bawaslu Provinsi dan keputusan Bawaslu Kabupaten/Kota yang dapat diajukan permohonan koreksi kepada Bawaslu ditingkat yang lebih tinggi.

Disini lah terdapat kekosongan hukum. Namun perlu diingat, kekosongan hukum ini tidak menyebabkan Mahkamah Konstitusi kehilangan kewenangan untuk memeriksa perkara a quo, dan tidak pula menjadi pembenaran absolut agar Mahkamah Konstitusi dapat mengadili setiap sengketa yang terjadi pada tahapan pemilu sebelum tahap pencoblosan atau pemungutan suara. Justru dari sini kita dapat memahami lebih jelas bahwa tidak ada satu aturan pun yang dapat mengekang Mahkamah Konstitusi dalam memeriksa dan mengadili perkara a quo. Dalam konteks perkara PHPU ini, narasi yang menyatakan Mahkamah Konstitusi harus menerapkan judicial activism menjadi tidak relevan.

Penulis kembali menegaskan, ada dua alasan mengapa Mahkamah Konstitusi tidak perlu menerapkan Judicial Activism. Pertama, Mahkamah Konstitusi memiliki hukum acara sendiri dan norma hukum sendiri dalam menentukan kewenangan mengadili perkara. Mahkamah Konstitusi juga memiliki patokan sendiri dalam menentukan standar terpenuhinya syarat formil dan syarat materiil permohonan. Kemudian pihak Pemohon dalam sengketa PHPU mendalilkan peristiwa yang muatannya beririsan dengan muatan sengketa proses (terjadi pada tahapan sebelum pemungutan suara dan penetapan penghitungan hasil pemilihan umum), sebagai konsekuensi logis dan konsekuensi hukum atas kewajiban menguraikan kesalahan penghitungan hasil pemilihan umum dalam bentuk grondslag van de lis/fundamentum petendi. Namun objek perkara yang diajukan oleh Pemohon tetaplah Hasil Pemilihan Umum yang notabene dianggap keliru. Sebab tidak mungkin ada kesalahan penghitungan hasil pemilihan umum tanpa ada sebab-sebab berupa peristiwa yang melatarbelakanginya.

Kedua, lolosnya Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden nomor urut 02 bukan merupakan sengketa proses pemilu karena tidak ada ketentuan normatif tentang penyelesaian sengketa proses pemilu yang dapat mengakomodir jenis peristiwa yang menjadi fenomena tersebut. Sehingga peristiwa hukum lolosnya Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden nomor urut 02 sebagai peserta pemilu bukan merupakan sengketa proses pemilu dan adanya keberatan terhadap lolosnya Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden nomor urut 02 bukan menjadi wewenang Bawaslu, PTUN maupun MA.

Arah Harapan

Berdasarkan penjelasan diatas maka dapatlah kita ambil kesimpulan atau setidaknya dapat kita bangun narasi bahwa Mahkamah Konstitusi tetap dapat bersikap mandiri dalam mengadili perkara a quo apa adanya sesuai ketentuan yang berlaku, baik secara umum maupun secara khusus berdasarkan hukum acara khusus yang tertuang dalam Undang-Undang Mahkamah Konstitusi dan Peraturan Mahkamah Konstitusi tentang Tata Beracara Dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Tidak ada ketentuan yang perlu diterobos oleh Mahkamah Konstitusi untuk mencapai putusan yang seadil-adilnya sehingga Mahkamah Konstitusi tidak perlu melakukan Judicial Activism. Dikabulkan atau tidak dikabulkannya permohonan Pemohon dalam perkara a quo murni bergantung kepada ada atau tidaknya 2 alat bukti sah dan kuat yang memiliki hubungan hukum secara langsung dengan hasil penghitungan suara demi membuktikan adanya kesalahan dalam hasil pemilihan umum. Dan keyakinan Hakim Konstitusi yang cenderung terhadap keadilan akan melengkapi pertimbangan hukum.

Namun hasilnya akan sulit diprediksi jika ternyata Pemohon dalam positanya hanya berkutat pada hasil penghitungan suara dari SIREKAP karena yang dapat mempengaruhi penentuan terpilihnya pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden adalah hasil penghitungan suara manual yang dilakukan secara berjenjang oleh KPU RI, vide Pasal 475 ayat (2) Undang-undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

Tirai-tirai keadilan telah ditautkan pada pilar inti demokrasi Indonesia. Kita percaya bahwa Mahkamah Konstitusi tanpa cela dapat mempertahankan independensi tanpa melupakan tugas utama para Hakim Konstitusi. Menurut penulis, akan ada saat dimana Mahkamah Konstitusi pasti menerapkan Judicial Activism, namun tidak kali ini. Bukan karena Hakim Konstitusi kehilangan kehendak untuk memeluk keadilan. Melainkan garis-garis normatif telah cukup untuk menjawab rasa keadilan tersebut secara apa adanya. Melalui opini singkat ini penulis hendak menyiratkan bahwa karsa terhadap keadilan tidak sekedar menjadi perhatian ataupun cita-cita melainkan harus mewujud kedalam karya yang dapat diakses dan dinikmati oleh masyarakat sehingga tidak ada miskonsepsi maupun mispersepsi terhadap proses hukum yang sedang berjalan. Semangat amicus curiae. ***

*( Penulis adalah Praktisi Hukum dan Pemerhati Hukum Tata Negara, Anggota KAHMI Kalimantan Tengah, Alumnus Universitas Muhammadiyah Malang

Exit mobile version