PROBLEM harga gabah dan stok beras selalu menjadi masalah berulang setiap tahun. Petani sering menerima harga gabah kering panen (GKP), harga gabah kering giling (GKG), dan utamanya beras premium di bawah harga pembelian pemerintah (HPP) serta harga pasar. Di sisi lain, isu terkait impor beras untuk kebutuhan stok juga menjadi masalah klasik yang berulang hampir setiap tahun.
Sepanjang panen bulan Juni dan minggu pertama Juli 2021, secara umum harga gabah kering panen (GKP) di tingkatan petani masih di bawah HPP, yakni Rp 4.200. Turun 8 persen dari HPP. Untuk gabah kering giling (GKG), HPP di penggilingan Rp 5.250 dan di gudang Bulog Rp 5.300 per kilogram. Secara umum, penurunan GKG sekitar 14 persen di bawah HPP.
Sementara itu, harga beras premium juga berada di bawah harga pasar Rp 11.500 per kilogram dan secara umum penurunan harga beras premium mencapai 16 persen dari harga pasar.
Di pihak lain, para pelaku penggilingan membatasi pembelian gabah petani. Alasannya, pemilik penggilingan kesulitan dalam melakukan pengeringan atau dryer karena kandungan kadar air pada gabah sebelum penggilingan rata-rata antara 23 persen sampai 31 persen.
Kondisi empiris yang berulang hampir setiap tahun ini menunjukkan bahwa ada masalah transformasi teknologi pascapanen yang harus dibenahi. Transformasi teknologi ini utamanya perlu dilakukan di off farm, yaitu pengeringan/dryer, penggilingan/rice milling unit, mesin pengemas packing hampa udara, dengan spesial pembiayaan murah seperti kredit usaha rakyat (KUR).
Perum Bulog mengakui, di tengah upaya penyerapan beras hasil panen petani, muncul data tentang penurunan harga gabah dan beras di sebagian besar daerah sentra penghasil padi. Penurunan itu disebabkan melimpahnya pasokan gabah dan beras dari hasil panen sebelumnya.
Dalam kondisi stok gabah dan beras masih banyak, perlu dilakukan hilirisasi, utamanya di beras. Baik lewat pasar murah maupun distribusi kepada kelompok orang miskin dan miskin baru. Dalam hilirisasi pasar murah dan murah sekali, kerugian Perum Bulog harus disubsidi oleh pemerintah melalui APBN karena pembiayaan operasional Bulog merupakan pinjaman dari perbankan.
Upaya On Farm dan Off Farm
Problem rendahnya harga gabah petani dan ketersediaan stok beras yang aman bagi lebih dari 270 juta penduduk Indonesia harus dicari solusinya dari hulu maupun hilir. Dari sisi on farm, terdapat beberapa langkah yang perlu ditempuh.
Pertama, menjamin ketersediaan sarana produksi pertanian seperti bibit, benih, pupuk, obat-obatan, dan saprodi lainnya serta melakukan mekanisasi pertanian. Kedua, pemerintah perlu menerapkan manajemen pengairan dengan metode satu sungai satu manajemen. Ketiga, perlu diwujudkan research (riset) dan development (R & D) setiap tahun untuk menghasilkan inovasi bibit baru dengan minimal dua varietas unggul (one year two innovation).
Dari sisi off farm, terdapat sejumlah langkah strategis yang perlu ditempuh. Pertama, diperlukan gudang penyimpanan beras yang layak sehingga jauh dari hama seperti tikus dan aman dari perubahan cuaca. Kedua, pemerintah perlu memfokuskan pembiayaan/KUR di beras. Upayanya dengan menjadikan setiap gabungan kelompok tani yang memiliki lahan 200 hingga 300 hektare ke dalam koperasi tani. Pembiayaan KUR Rp 500 juta bagi setiap koperasi tani diberikan untuk membeli alat-alat pertanian seperti rice transplanter, combine harvester, dryer, power thresher, corn sheller dan rice milling unit, traktor, dan pompa air. Pinjaman diberikan dengan bunga 6% atau di bawah 6% dan mampu mengembalikan pinjaman dalam lima tahun (bankable).
Ketiga, untuk mendorong gairah petani menanam padi, perlu ditetapkan harga pembelian pemerintah (HPP) dan harga eceran tertinggi (HET) yang realistis. Keempat, memanfaatkan teknologi digital dengan mendorong petani menjual berasnya secara e-commerce dan marketplace.
Peran Strategis
Selain upaya di on farm dan off farm, terobosan penting yang perlu dilakukan ke depan adalah membentuk Badan Pangan Nasional. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan yang mengamanatkan pendirian Badan Pangan Nasional sebenarnya menemukan momentumnya saat ini. Pendirian Badan Pangan Nasional ini juga menjadi bagian implementasi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, khususnya terkait klaster pertanian.
Badan Pangan Nasional yang akan dibentuk berfungsi sebagai regulator kebijakan pangan yang terintegrasi dari hulu ke hilir. Untuk itu, kami mengusulkan sejumlah hal terkait pembentukan Badan Pangan Nasional. Pertama, Badan Pangan Nasional melaksanakan tugas pemerintahan sebagai regulator pangan yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada presiden bersama-sama dengan Kementerian Koordinator Perekonomian. Kedua, Badan Pangan Nasional dipimpin oleh kepala dan dibantu sekretariat utama bersama sejumlah deputi.
Ketiga, deputi-deputi di Badan Pangan Nasional menjadi regulator kebijakan pangan yang bisa menugaskan Bulog dan BUMN klaster pangan sebagai operator pangan. Keempat, Bulog yang menjadi operator berperan sebagai unit pelaksana teknis (UPT) operasional pangan. Kelima, inspektorat atau pengawas di Badan Pangan Nasional bekerja untuk mengawasi Bulog sebagai operator.
Keenam, Badan Pangan Nasional bisa bekerja sama dengan petani sebagai tugas fungsional dengan memberi penugasan kepada Bulog maupun BUMN klaster pangan yang menjadi operator kebijakan pangan. Ketujuh, komoditas pangan yang menjadi tugas Badan Pangan Nasional antara lain beras; jagung; kedelai; gula konsumsi; bawang merah dan putih; telur unggas; daging sapi dan kerbau; daging unggas; dan cabai. Komoditas lainnya bisa ditangani mengikuti instruksi presiden. (*)
Anggota Dewan Pertimbangan Presiden Republik Indonesia