Perang dagang Amerika
Serikat dan Tiongkok menyebabkan tekanan terhadap perekonomian dunia, tak
terkecuali Indonesia. Guna memacu penerimaan devisa ekspor dan menekan defisit
neraca perdagangan, Indonesia harus terus mencari peluang ekspor termasuk ke
Tiongkok.
Ekonom Institute for
Development of Economics and Finance (Indef) Ahmad Heri Firdaus menyebutkan
bahwa Indonesia juga masih memiliki banyak produk dan komoditas yang bisa
meningkatkan nilai ekspor Indonesia.
“Ekspor sebenarnya
masih bisa diupayakan dengan berbagai strategi. Jadi yang namanya berdagang
atau bekerja sama itu dalam hal ini kita konteksnya bersaing, jadi produknya
yang bersaing,†ujar Heri kepada wartawan di Jakarta, Rabu (17/7).
Heri menambahkan bahwa
pemerintah bisa mengidentifikasi produk atau komoditas mana saja dari Indonesia
yang bisa dioptimalkan produksinya sehingga bisa meningkatkan nilai ekspor.
Menurutnya, optimalisasi produksi dapat menekan nilai defisit Indonesia
terhadap perdagangan dengan Tiongkok yang pada tahun 2018 meningkat hingga
hampir setengahnya.
Menurut catatan
Kementerian Perdagangan (Kemendag), nilai defisit perdagangan Indonesia
terhadap Tiongkok pada 2018 mencapai USD 18,40 miliar. Angka ini terpantau
meningkat sekitar 45 persen dibandingkan defisit perdagangan Indonesia terhadap
Tiongkok pada 2017 yang hanya senilai USD 12,68 miliar.
Nilai ekspor Indonesia
ke Tiongkok pada periode Januari hingga April 2019 juga terpantau turun
dibandingkan capaian ekspor periode sama tahun sebelumnya, yakni dari USD 11,13
miliar menjadi USD 10,34 miliar.
Sementara nilai impor
Indonesia dari Tiongkok pada 2018 meningkat 27,31 persen (yoy) dari USD 35,76
miliar tahun 2017 menjadi USD 45,53 miliar pada 2018.
“Artinya dengan ada
perang dagang, Tiongkok bisa cari pasar alternatif selain ke Amerika Serikat.
Mereka (Tiongkok) ke Indonesia, India, dan negara lainnya,†sambung Heri.
Heri menyarankan
pemerintah untuk lebih cermat menangkap peluang perdagangan ke Tiongkok
Menurutnya, sejumlah komoditas pertanian yang kerap dianggap sepele oleh
penduduk Indonesia perlu dibudidayakan agar kebutuhan negara tujuan ekspor
dapat dipenuhi, meski dalam jumlah besar sekalipun.
Ia menyarankan
Kementerian Pertanian untuk meningkatkan standar produksi komoditas tanaman, agar
dapat lebih mudah diekspor ke pasar global. Menurutnya hal ini harus dilakukan,
mengingat sejumlah negara seperti Tiongkok dan Jepang kerap memberlakukan
non-tariff measure (NTM) terhadap produk-produk makanan yang akan masuk ke
negara mereka.
Tiongkok merupakan
pasar yang penting untuk dikejar nilai pedagangannya. Mengingat, negara ini
masih menjadi negara dengan populasi terbesar di dunia yang mencakup hampir 20
persen populasi dunia.
“Di sana kan negara
dengan penduduk terbanyak di dunia. Ya itu yang kita sebetulnya punya peluang
untuk mengembangkan ekspor ke sana,†tandasnya.
Berdasarkan data Badan
Pusat Statistik (BPS), neraca perdagangan Juni 2019 mengalami surplus USD 0,2
miliar atau tepatnya USD196,0 juta, dengan total ekspor USD 11,78 miliar dan total
impor USD 11,58 miliar.
Meski membukukan
surplus, ekspor Indonesia pada Juni 2019 turun 20,54 persen dibandingkan ekspor
Mei 2019. Dibandingkan tahun sebelumnya, ekspor juga turun 8,98 persen.(jpn)