Site icon Prokalteng

Anak-anak Kita

anak-anak-kita

HIRUK pikuk dan kegaduhan politik beberapa tahun belakang ini hingga
pilpres tempo hari telah menyedot kuat perhatian dan juga enerji banyak orang.
Ada suasana batin yang muncul bahwa setiap orang wajib ngurusi politik apalagi,
atas seruan tokoh agama tertentu misalnya, politik adalah pertaruhan antara
yang haq dan batil.

Indoktrinasi Ideologis

Persaingan antara 01 dan 02,
misalnya, adalah persaingan antara yang haq dan batil tadi. Karena itu,  dengan menggunakan sentimen agama setiap
muslim haruslah menjadi bagian penting dari jihad ini. Tak terkecuali,  tidak sedikit anak-anak usia SD dan SMP (dan
bahkan Balita) diikut sertakan dalam parade aksi jalan menunjukkan kekuatan
massa muslim “bela Islam” dan lain-lainnya.

Sebagaimana yang dilakukan oleh
demonstran dewasa lainnya, anak-anak inipun membawa simbol-simbol keislaman
misalnya bendera, ikat kepala, takbir, 
dan lain-lain. Bagi anak-anak, suasana aksi ini mungkin menyenangkan
karena dirasakan sebagai bagian dari piknik dan baris berbaris untuk sebuah
upacara seperti agustusan atau kartinian.

Jika mereka difoto, maka mereka
ikut serta mengacungkan jari untuk menunjukkan preferensi politik atau ideologi
keislaman tertentu. Jika direkam dengan video, maka mereka akan ikut
kibar-kibarkan bendera Islam sambil bertakbir berkali-kali dan mengepalkan
tangan, semangat.

Tidak saja sentimen relijius yang
digunakan, akan tetapi juga spirit egosentrisme yang dilandasi dengan
argumentasi deprivasi sosial dan ekonomi menjadi bagian penting dari perlawanan
terhadap kekuasaan. Tema  runtuhkan kapitalisme
dan tegakkan khilafah menggantikan sistem kekuasaan yang berbasis kepada
prinsip-prinsip demokrasi, adalah contoh gamblang.

Secara tak langsung melalui tema
ini ada pikiran provokatif bahwa kapitalisme dan sistem demokrasi adalah sumber
kesengsaraan dan menimbulkan deprivasi umat dan karena itu harus dilawan.
Kembali, tidak sedikit anak-anak yang ternyata diikut sertakan dalam pawai
demonstrasi atau pertemuan-pertemuan umum terbuka lainnya.

Bahkan,  tragisnya, 
anak-anak diikut sertakan dalam aksi suicide bomb di Surabaya dan
Sibolga yang dilakukan oleh teroris dengan membawa simbol agama. Itu
eksploitasi anak-anak untuk keperluan 
ideologi dan politik. Melalui indoktrinasi yang efektif,  mereka hakikatnya menjadi korban
“kekerasan ideologis” dari orang tua yang sangat obsesif terhadap
politik dan  ideologi Kanan.

Indoktrinasi begini,  tidak saja dilakukan oleh orang tua,  akan tetapi juga mungkin di lembaga-lembaga
pendidikan,  komunitas,  masjid, 
majelis talim, TPA-TPA atau tempat-tempat lainnya. Pemerintah bersama
dengan kekuatan civil society lainnya perlu melakukan assesment yang baik untuk
meyakinkan apakah benih-benih ideologis yang bertentangan dengan Pancasila dan
wasatiyatul Islam itu benar-benar terbibitkan di tempat-tempat itu.

Tindakan Kekerasan

Gambaran menyedihkan dan
memprihatinkan tentang anak-anak kita masih banyak. Misalnya saja soal tindakan
kekerasan terhadap anak-anak. Kekerasan terhadap anak di Indonesia  masih cukup tinggi. “Survei Kekerasan
Terhadap Anak Indonesia 2013” dari Kementerian Sosial memperlihatkan bahwa
kekerasan yang dialami anak laki-laki lebih besar dibandingkan anak perempuan.

Jumlahnya mencapai hampir separuh
populasi anak laki-laki, tepatnya 7.061.946 anak atau 47,74 persen. Pada anak
perempuan, prevalensinya mencapai 17,98 persen (2.603.770 anak).

Dilihat berdasarkan jenisnya,
anak-anak Indonesia cenderung mengalami kekerasan emosional dibandingkan fisik.
Sebanyak 70,98 persen anak laki-laki dan 88.24 persen anak perempuan pernah
mengalami kekerasan fisik. Untuk kategori kekerasan emosional, sebanyak 86,65
persen anak laki-laki dan 96,22 persen anak perempuan menyatakan pernah
mengalaminya.

Berdasarkan laporan “Global
Report 2017: Ending Violence in Childhood” sebanyak 73,7 persen anak-anak
Indonesia berumur 1-14 tahun mengalami pendisiplinan dengan kekerasan (violent
discipline) atau agresi psikologis dan hukuman fisik di rumah. Hal ini
diperkuat data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang mencatat sebanyak
4.294 kasus kekerasan pada anak dilakukan oleh keluarga dan pengasuh
(2011-2016).

Kasus terbanyak terjadi pada
2013, yaitu 931 kasus kekerasan anak. Namun, jumlah ini terus menurun menjadi
921 kasus di 2014, 822 kasus di 2015, dan 571 kasus di 2016. Tapi, angka ini
masih sangat menghawatirkan.

Berbagai bentuk kekerasan di atas
akan dipelajari di masa kanak-kanak; melalui pengalaman hukuman fisik dari
pengasuh, menyaksikan kekerasan dalam keluarga, intimidasi dan agresi di
sekolah dan di lingkungan lain. Efeknya pun bisa membekas seumur hidup, sebab
kekerasan telah terinternalisasi sedemikian rupa sebagai salah satu metode
dalam berinteraksi dengan orang lain.

Memang yang sangat memprihatinkan
adalah bahwa kekerasan-kekerasan tersebut justru terjadi di tempat-tempat yang
diharapkan paling aman bagi anak-anak karena ada orang-orang yang dicintai dan
diharapkan menuntun masa depan. 

Rumah Wasati

Mengarusutamakan gagasan dan
prinsip-prinsip moderasi,  jalan tengah
atau Wasaty di lingkungan keluarga haruslah menjadi prioritas tidak saja untuk
misi penyelamatan bagi anak-anak kita akan tetapi juga penyelamatan keluarga
dan bangsa.

Keluarga adalah basis utama atau
fondasi bagi gagasan dan gerakan besar Wasathy dan karena itu membutuhkan
kesadaran dan kematangan orang tua bahkan sejak menyiapkan diri untuk berumah
tangga. Terlalu banyak kita jumpai keluarga yang masih sangat muda mengalami
keretakan. Bahkan, tak sedikit juga keluarga senior juga mengalami nasib yang
sama. Fondasinya tidak kokoh karena suami istri juga tidak kokoh.

Secara ideologis,  keluarga-keluarga masa kini menghadapi atau
berada di antara berbagai arus ideologi dunia (world ideological steams). Di antara
ideologi-ideologi itu ialah hedonisme, 
sekularisme, materialisme, Islamisme yang akan sangat berpengaruh secara
kultural, sosial,  ekonomi dan politik.

Secara keagamaan,  keluarga juga menghadapi berbagai
kecenderungan seperti tradisionalisme, konservativisme, ekstrimisme,  radikalisme, 
liberalisme dan modernisme. Karang-karang ideologis dan keagamaan ini
akan selalu bergerak dan bahkan bertubrukan satu sama lain.

Tapi,  mungkin saja saling bertemu dan berakomodasi
karena alasan-alasan tertentu. Karena itu, 
kelompok atau kecenderungan keagamaan modernis bisa bertemu dengan
radikal meskipun secara teologis bertentangan.

Yang justru penting ialah
menciptakan rumah sebagai basis atau fondasi Wasathy. Melalui mainstreaming
Wasathy di keluarga ini maka human values yang bersifat universal dan ajaran
prinsip dan luhur yang disediakan oleh agama bisa terimplementasi dengan baik.

Orang tua dan anak-anak
benar-benar menjadi elemen penting terbentuknya “keluarga” yang kokoh
dan damai. The real family atau real home terwujud di mana setiap orang
merasakan betul bahwa rumah adalah tempat yang senantiasa dirindukan,  yang menghadirkan ketentraman kedamaian, home
of inspiration, love and harmony; tidak membiarkan anak anak menjadi anaknya IT
gudget; tidak membiarkan anak-anak terpapar radikalisme dan tidak membiarkan
anak-anak menjadi korban dari kekerasan bentuk apapun. Save our family,
children and nation. (*/rmol)

(Penulis adalah
Asisten Stafsus Presiden dan Ketua Komisi Pendidikan dan Kaderisasi MUI
)

Exit mobile version