Site icon Prokalteng

Disharmoni Pemahaman

disharmoni-pemahaman

JULIUS Caesar, seorang kaisar Romawi, dibunuh dalam kudeta yang
didalangi Brutus dan 60 senator lain yang menyebut kelompoknya sebagai
liberatores (pembebas). Brutus, sahabat karib dan teman seperjuangan Caesar,
menyetujui permintaan Mark Anthony, seorang jenderal yang setia, untuk
memberikan pidato di depan rakyat dalam pemakaman Caesar.

Seperti janjinya kepada Brutus,
Anthony hanya bertutur kata tentang kebaikan Caesar dan tidak mengeluarkan satu
kata pun tentang adanya pemberontakan. Pun, tidak satu kata pun yang
menyinggung atau menjelekkan para pengkhianat terucap.

Bahkan, beberapa kali Anthony
menyebut Brutus dengan The Honourable Brutus (Brutus yang Terhormat). Namun,
segera setelah pidato usai, rakyat yang semula tenang dan menerima terbunuhnya
Caesar malah terbakar emosi dan mengutuk para konspirator.

Ada dua kesimpulan yang bisa
diambil dari drama tragedi karya Shakespeare itu. Pertama, adanya kedahsyatan
kekuatan bahasa. Kedua, makna ujaran senantiasa berlapis dan berpihak.

Dengan demikian, ada kesimpulan
implisit tambahan, antara yang berbicara dan yang mendengarkan bisa terjadi
disharmoni pemahaman, bisa juga terjadi harmoni pemahaman. Harmoni dan
disharmoni itulah, kalau ditafsirkan secara bebas, yang dinamakan implikatur.
Yaitu, ada makna harfiah yang mungkin saja disusupi implikasi makna harfiah
itu.

Implikatur

Dalam Logic and Conversation,
Herbert Paul Grice (1975), seorang filsuf dan ahli bahasa dari Inggris,
memperkenalkan istilah implikatur (implicature). Itu kata serapan dari bahasa
Latin plicare yang muncul kali pertama sekitar 1530-1540, yang berarti melipat
atau menutup.

Singkat kata, implikatur adalah
pernyataan tersirat: Apa yang dimaksud bukanlah apa yang dikatakan. Komunikasi
sehari-hari tidak pernah dilakukan secara eksplisit.

Prinsip verbal efficiency
(Levinson, 2000) menjadi alasan utama hadirnya implikatur. Berbekal asumsi
bahwa lawan tutur (addressee) memiliki latar belakang informasi dan pengetahuan
yang sama, penutur (addressor) senantiasa taat pada prinsip “dengan usaha
minimal untuk hasil maksimal”.

Informasi yang disampaikan lebih
banyak daripada yang dikatakan. Kalimat sederhana, “di sini dingin” bisa jadi
bukanlah pernyataan. Melainkan sebuah perintah tak terbantahkan agar menutup
semua jendela dan pintu.

Pemaknaan implikatur melewati
proses berlapis. Di samping pemaknaan konvensional, yakni makna umum terkait
konvensi kebahasaan seperti arti harfiah untuk memaknai “yang dikatakan”,
diperlukan pula pemaknaan nonkonvensional.

Tujuannya, mengungkap “yang dimaksud”,
yakni konteks. Konteks itu menyangkut praanggapan dan latar belakang
pengetahuan setiap pemakna.

Dalam keseharian, pemaknaan lapis
kedua itulah yang terpenting. Ungkap seorang filsuf terkenal Jerman Martin
Heidegger, manusia terlempar ke dunia sebagai “ruang sejarah” yang tidak pernah
netral, tapi senantiasa berkelindan dengan beragam norma serta nilai budaya,
sosial, politik, dan agama.

Semua lantas menyusup menjadi
praasumsi dan latar belakang pengetahuan yang selalu dirujuk dalam
menginterpretasikan makna ujaran. Karena itu, yang disebut “realitas”
sebenarnya tidak lain hanyalah buah penafsiran.

Kaidah Berkomunikasi

Demi asas efisiensi, implikatur
senantiasa muncul dalam kegiatan berkomunikasi. Keberagaman praasumsi dan latar
belakang peserta tutur bakal selalu hadir sehingga makna tidak akan pernah
tunggal, melainkan beragam dan berpolaritas. Alhasil, kesalahpahaman,
pertikaian, bahkan perpecahan sangat rentan terjadi. Lalu, bagaimana
menyikapinya?

Penutur maupun lawan tutur
mengemban peran dan tanggung jawab masing-masing. Grice menegaskan pentingnya
mematuhi empat kaidah berkomunikasi yang dikenal dengan istilah Gricean
cooperative principles.

Pertama adalah maksim kuantitas
(maxim of quantity), yakni penutur hanya memberikan informasi yang dibutuhkan,
tidak lebih dan tidak kurang. Kedua, maksim kualitas (maxim of quality), yakni
penutur hendaknya hanya memberikan informasi yang benar dan menjauh dari
informasi yang kurang/diragukan kebenarannya.

Ketiga, maksim relevansi (maxim
of relevance), di mana penutur hanya berkontribusi sesuai dengan topik
pembicaraan. Keempat, maksim pelaksana (maxim of manner), di mana penutur
diharapkan berkata langsung, tidak samar, tidak taksa, dan runtut.

Sebuah penelitian oleh Charles G.
Gross di Princeton University pada 2010 mengidentifikasi adanya jeda beberapa
detik sampai satu menit atas apa yang didengar dan apa yang dipahami. Selama
jeda itulah competitive listening bisa terjadi, yang berujung confirmation
bias.

Alih-alih menetralkan dan membuka
pikiran demi memahami makna, saat mendengarkan, lawan tutur sibuk berkelana
menyeleksi “fakta” dan “opini” sehingga interpretasi menjadi sesuai serta
mendukung asumsi dan keyakinan yang dimilikinya sejak awal. Misi mendengarkan
bergeser dari menemukan esensi makna ujaran menjadi sebuah upaya konfirmasi
bias dan subjektif atas apa yang ingin didengar.

Ocehan-ocehan yang tidak relevan,
tidak jelas, bahkan tidak benar sengaja diproduksi dan ditebar demi
memprovokasi. Semakin parah, sistem algoritma telah mempersempit wawasan dan
interpretasi untuk memungkinkan melihat dan memahami perbedaan.

Akibatnya, kemampuan bertoleransi
menjadi semakin tumpul. Sejatinya, sekarang dan di sinilah peran kita sebagai
peserta tutur semakin diuji. (*)

*) Dosen Luar Biasa Universitas
Kristen Petra Surabaya

Exit mobile version