Site icon Prokalteng

Cross Way

cross-way

Salut. 

Itulah kata yang selalu saya
ucapkan. Terutama setiap kali menuju bandara Soekarno-Hatta.

Setelah Anda melewati gerbang
tol terakhir cobalah perhatikan: ada jembatan baru di atas mobil Anda. Tepatnya
setelah kolam air depan Hotel Sheraton itu.

Tanpa bertanya, saya pun tahu
jembatan apakah itu. Itulah jalan khusus pesawat terbang. Lebar sekali bukan?

Tapi sampai kemarin sore saya
belum pernah melihat ada pesawat yang berjalan melintas di atas jembatan di
atas mobil saya.

Mungkin kebetulan saja lagi
tidak ada pesawat yang melintas. Atau mungkin saja memang belum difungsikan.

Saya ikuti pemberitaan di
media: jalan khusus itu sudah diresmikan Presiden Jokowi awal Februari lalu.

Itulah jalan untuk
menghubungkan ujung timur landasan No. 1 dan ujung timur landasan No. 2 Bandara
Cengkareng, Jakarta.

Jalan serupa sudah ada untuk
menghubungkan ujung barat landasan No. 1 dengan ujung barat landasan No. 2.
Pembangunan ujung barat itu dilakukan bersamaan dengan pembuatan landasan itu
sendiri.

Kenapa waktu itu tidak sekalian
dibangun juga yang ujung timur?

Saya tidak tahu. Kemungkinan
besar untuk menghemat biaya. Toh waktu itu memang belum diperlukan. Bandara
Cengkareng masih sepi.

Lama-lama bandara tersebut
terlalu ramai. Lion Air saja menambah lebih 200 pesawat. Penerbangan dari luar
negeri juga kian banyak. 

Sampailah pada suatu saat:
antrean untuk terbang di Bandara Cengkareng lama sekali.

Pernah sampai ada 10 pesawat
yang antri di taxiway untuk menuju ujung
landasan. 

Saya pernah tertidur saat
pesawat mulai meninggalkan garbarata. Lalu terbangun. Saya kira pesawat sudah
mendarat di Surabaya. 

Ternyata pesawat belum juga
terbang. Masih di antrean ketiga.

Kesimpulan waktu itu: harus
dibangun landasan ke-3. Kejengkelan penumpang pesawat sudah luar biasa.

Tapi saya selalu tidak setuju
itu. Biayanya terlalu besar. Sekitar Rp 50 triliun.

Mengapa? 

Karena harus membeli lahan
baru. Luasnya sekitar 700 hektare.

Mengapa harus membeli lahan
tambahan?

Lahan yang ada tidak cukup. Kalau
landasan No.3 dipaksakan, jarak antarlandasan tidak memenuhi syarat keamanan
penerbangan. 

Jarak antarlandasan itu harus 1
Km. Itulah pula jarak antara landasan No. 1 dan No. 2 di Cengkareng.

Saya tidak tahu benarkah harus
begitu. Saya bukan ahli ilmu jarak antarlandasan. Saya hanya mengutip dari yang
berpendapat begitu.

Tapi saya sangat setuju:
keterlambatan pesawat yang keterlaluan di bandara Jakarta harus diatasi.

Langkah-langkah perbaikan pun
diinventarisasi. Kapasitas tower pengatur lalu-lintas ditambah. Kalau dulu
hanya menghadap satu sisi, harus menjadi dua sisi. 

”Jalan masuk” dari taxiway ke
landasan harus ditambah. Dengan demikian pesawat yang baru mendarat bisa segera
ke luar landasan. Tidak perlu keluar di ujung landasan. Agar pesawat lain bisa
segera terbang atau mendarat.

Dan banyak lagi.

Salah satunya itu tadi:
membangun jalan khusus untuk menyambung ujung timur landasan No.1 dan ujung
timur landasan No.2.

Itu untuk menambah
fleksibilitas pergerakan pesawat di bandara.

Tujuan utamanya adalah: agar
bandara Jakarta bisa meniru Bandara Heathrow, London. Atau bandara lain di
kota-kota besar dunia.

Bandara Heathrow juga hanya
punya dua landasan. Tidak perlu membangun landasan No. 3.

Ketika saya terbang dari
Heathrow tahun lalu sekali lagi saya amati.

Apa yang terjadi di Heathrow?

Sederhana: satu landasan
dikhususkan untuk pesawat yang turun. Satu landasan lagi khusus untuk pesawat
yang terbang.

Tidak saling tunggu antara yang
mau terbang dan akan turun. 

Dengan cara begitu kapasitas
turun-naik pesawat bisa naik 30 persen. Tidak perlu membangun landasan No. 3.
Pun tidak perlu biaya Rp 50 triliun. 

Tapi saya tidak mampu mendorong
mewujudkan jalan khusus itu. Pemilu sudah dekat. Waktu saya pun habis.

Ada hambatan teknis waktu itu:
jalan khusus tersebut harus menerobos tepat di Hotel Sheraton. Masa sewa tanah
bandara untuk Hotel itu belum habis.

Maka saya salut dengan
pemerintahan berikutnya. Zaman Pak Jokowi. Jalan khusus itu akhirnya terwujud.
Saya begitu ingin tahu: bagaimana soal teknis ”menerobos” Hotel Sheraton itu
bisa diatasi. 

Jalan khusus itu dibelokkan?
Atau posisinya diubah? 

Saya juga ingin tahu: apakah
dengan selesainya jalan khusus itu penggunaan landasan No. 1 dan No. 2 akan
diatur seperti di Heathrow?

Atau ada pemikiran lain?

Yang jelas sampai terakhir saya
ke Bandara Cengkareng masih belum ada perubahan.

Di negara mana pun saya
mendarat, soal ini selalu saya perhatikan. Sampai sekarang ini.

Kadang sambil menunggu boarding,
di negara mana pun, saya menghitung pesawat. Saya pasang stopwatch.
Saya hitung pergerakan pesawat. Setelah satu pesawat take-off, berapa menit
kemudian pesawat berikutnya menyusul terbang.

Yang dramatik selalu di bandara
besar di Amerika Serikat. Di dekat ujung landasan selalu ada ”tiga pintu masuk”
landasan.

Tiga pesawat bisa sama-sama
siap masuk landasan. Tidak harus antri di belakangnya. Itu ibarat loket serong
di tempat pembayaran di ujung jalan tol.

Bulan lalu saya di Ho Chi Minh
City, Vietnam. Pun di negara miskin ini saya perhatikan pergerakan pesawatnya.

Saya terpana: di Vietnam pun
sudah menerapkan apa yang terjadi di Heathrow: yang terbang dan yang mendarat
di landasan yang berbeda.

Kini, setiap kali terbang dari
Cengkareng saya memperhatikan: kapan terjadi pengaturan yang seperti itu.

Atau jangan-jangan sekarang
sudah –yang saya ketinggalan tahu karena lebih sering mendarat di Halim.

Seperti apa yang Anda lihat?
(dahlan iskan)

 

Exit mobile version