Oleh: WARDEDY ROSI
Gaya bahasa yang puitis nan sarat makna mendorong pembaca untuk berhenti, membaca ulang, dan merenung. Karya Nobelis Sastra Han Kang ini tidak sekadar berkisah, tetapi sebuah eksperimen gaya bahasa, sudut pandang, dan menyatu dalam semesta cerita yang tak sepenuhnya utuh.
DI putih itu, di dalam seluruh hal-hal putih, aku akan menghirup napas yang kauembuskan untuk terakhir kalinya. Saya kira, kalimat terakhir novel The White Book karya Han Kang ini merepresentasikan jagat yang hendak dibangun.
Novel yang terdiri atas tiga bagian (”Aku”, ”Perempuan Itu”, dan ”Seluruh Putih”) tersebut menarasikan bagaimana warna putih disandingkan dengan nuansa emosional aku-narator. ”Seluruh Putih” merupakan bagian paling kompleks untuk mewakili seluruh isi buku: terdiri atas indeks kelam warna putih yang menubuh dalam cerita.
Di tengah banyaknya karya sastra yang kerap dibangun dalam pola konvensional, The White Book menerabas batas-batas narasi tradisional. Layaknya puisi naratif penuh renungan, novel ini membangun dirinya melalui fragmen-fragmen kecil –sepenggal ingatan, kesunyian, penyesalan, hingga deskripsi yang lebih mirip sketsa rasa daripada peta cerita.
Gaya bahasa yang puitis nan sarat makna mendorong pembaca untuk berhenti, membaca ulang, dan merenung. Novel karya Nobelis Sastra Han Kang ini tidak sekadar berkisah, tetapi sebuah eksperimen gaya bahasa, sudut pandang, dan menyatu dalam semesta cerita yang tak sepenuhnya utuh.
Buku yang berlabel novel ini adalah meditasi mendalam ihwal kehilangan, kesedihan, dan upaya untuk memahami keberadaan melalui simbolisme warna putih. Dalam The White Book, selain menjadi benang merah, warna putih juga menjadi metafora kenangan, kesucian, kefanaan, dan juga kekosongan –menghadirkan spektrum makna yang luas di balik benda-benda sederhana seperti ”salju”, ”kain kasa”, dan ”baju bayi”.
Novel ini mengeksplorasi dunia individu yang mencoba berdamai dengan luka lama –jika memang sebuah luka– melalui peranti-peranti bahasa, ingatan, dan refleksi yang dikemas dengan nuansa liris.
Visualisasi Perjalanan Batin
Dengan gaya bahasa puitis dan fragmentaris, The White Book memvisualisasikan perjalanan batin sosok aku-narator yang merenungkan kematian bayi perempuan, saudari tertuanya yang wafat dua jam setelah kelahiran –sebagaimana catatan Han Kang atas novel ini– serta bagaimana rasa kehilangan membentuk identitas dan cara pandangnya pada dunia yang babak belur.
Setelah kematian bayi tersebut, ibu bergumam lagi saat bertatapan dengan mata hitam itu. Kumohon, jangan mati. Bayi itu mati sekitar satu jam kemudian. Dia mendekap bayi yang sudah tidak bernyawa itu di dadanya sambil berbaring miring dan merasakan tubuh bayi yang semakin dingin. Air mata sudah tak mengalir.
Hampir semua bagian dan subjudul yang termaktub dalam novel ini menggunakan warna putih sebagai medium utama untuk menggali tema-tema eksistensial, menciptakan narasi yang lebih dari sekadar cerita, menggambarkan pengalaman mendalam personal aku-narator.
Umumnya, warna putih pada hal-hal dan benda-benda dianggap merefleksikan keindahan dan kesucian. Namun, dalam The White Book, Han Kang seolah-olah ingin menunjukkan bahwa warna putih tidak selalu merujuk pada keindahan, tetapi berdampingan dengan luka, kefanaan, penyesalan, dan penderitaan. Eksperimen-eksperimen jukstaposisi itulah yang dominan dalam The White Book.
Ketika membaca catatan penulis, pembaca akan mengira bahwa aku-narator adalah Han Kang itu sendiri. Yang menarik bukan bagaimana Han Kang bersembunyi di balik aku-narator, tetapi bagaimana teknik penggunaan sudut pandang yang mampu memberi pengaruh estetis pada cerita ini.
Permainan sudut pandang yang digunakan dalam novel ini terasa sayang untuk tidak dicermati. Selain itu, berharap alur cerita The White Book mencapai klimaks sama halnya dengan berharap Estragon dan Vladimir bertemu Godot.
The White Book adalah karya eksperimental yang sengaja Han Kang sajikan tanpa memberikan kepastian kepada pembaca. Plot novel ini tak memiliki akhir cerita, baik terbuka maupun tertutup. ”Pembaca awam” akan sulit menemukan makna tersirat yang dikemas sedemikian liris dan metaforis. Sebab, fiksi eksperimental memang membutuhkan ”pembaca ulung” agar karya tersebut tidak menjadi ”novel bisu”.
”Jalanan kota tua yang berwarna kelabu terhapus menjadi putih dalam sekejap. Dengan waktu mereka yang semakin usang, para pejalan kaki berjalan masuk ke ruang yang tiba-tiba berubah menjadi tidak realistis. Perempuan itu juga berjalan tanpa henti. Melewati keindahan yang akan –dan sedang– menghilang. Dalam diam.”
Melalui teknik sudut pandang orang pertama sebagaimana cuplikan di atas, tuturan puitis The White Book menjadi lebih hidup. Namun, pergantian sudut pandang juga mampu membuat pembaca turut merasakan nuansa yang tengah dialami tokoh.
Dengan siasat sudut pandang dan penggunaan perangkat bahasa puitis-liris, fragmen-fragmen naratif-reflektif novel ini dipintal menjadi semacam mozaik emosi sang tokoh. Maka, warna putih menjadi axis mundi dalam The White Book. Selain menjadi media penghubung antara aku-narator dan rasa kehilangan yang dialaminya, warna putih juga menjelma tamsil yang selaras dengan segala kedaifan tokoh.
Spekulasi biografis antara karya dan pengarangnya memang akan menimbulkan ”fitnah” terhadap novel ini. Namun, ketika membaca catatan penulisnya, kita akan sulit untuk tidak berkata bahwa The White Book merupakan novel-memoar Han Kang. (*)
Judul : The White Book
Penulis : Han Kang
Penerjemah : Dwita Rizki
Penerbit : Penerbit Baca
Tahun : Januari 2025
Tebal : ix + 205 halaman
ISBN : 978-623-8371-34-1
—
WARDEDY ROSI, Bergiat di Universitas Madura dan Sivitas Kotheka