Site icon Prokalteng

PLN, Power Wheeling, dan Dilema Skema ToP

M. Kholid Syeirazi

Perusahaan Listrik Negara (PLN) menanggung beban karena ambivalensi tata kelola. Listrik adalah hajat hidup orang banyak. Selama beberapa dekade, sektor ketenagalistrikan tumbuh dalam ekosistem monopoli alamiah. UU No. 15 Tahun 1985 menjadikan PLN sebagai Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan (PKUK) untuk menyediakan listrik bagi kepentingan umum.

Ambivalensi bermula ketika Pemerintah membuka partisipasi swasta dalam penyediaan listrik melalui PP No. 10 Tahun 1989 dan Keppres No. 37 Tahun 1992.

Swasta boleh membangun, memiliki, dan mengoperasikan pembangkit listrik, termasuk usaha transmisi dan distribusinya. Tenaga listrik yang dihasilkan dapat dijual ke PLN atau pihak lain, dengan perjanjian jual beli listrik (PPA) atau sewa jaringan (power wheeling).

Ini adalah gelombang pertama liberalisasi ketenagalistrikan. Meskipun beleid itu bertentangan dengan undang-undang, belum ada mekanisme uji konstitusionalitas suatu produk peraturan perundang-undangan sebelum reformasi. Selama periode 1992-1997, PLN menandatangani 27 purchase power agremeent (PPA) dengan penyedia listrik swasta (IPP). Mereka berkomitmen membangun pembangkit listrik dengan total kapasitas 11 GW.

Salah satu IPP itu adalah Paiton Energy Company (PEC) yang membangun PLTU Paiton I. Dalam klausul PPA PLN dan PEC, PLN harus menyerap minimal 70 persen setrum dari kapasitas pembangkit, meskipun realisasinya di bawah itu. Di sini bermula skema take or pay (ToP): ambil atau bayar.

Seandainya PLTU Paiton I ‘tidur’ atau tidak dipakai, PLN tetap harus membayar 70 persen dari volume setrum terkontrak. Ini konsekuensi dari skema liberalisasi. Swasta diundang untuk membangun pembangkit, meskipun PLN belum pernah menggunakan lebih separo dari kapasitas pembangkit terpasang.

Paca reformasi, UU No. 15 Tahun 1985 dirombak dengan UU No. 20 Tahun 2002. Beleid ini menandai liberalisasi gelombang kedua yang berupaya melucuti monopoli PLN dan melegalisasi praktek unbundling yang sudah berlangsung sejak 1992. Dalam uji materi, UU Ketenagalistrikan dinyatakan inkonstitusional.

Liberalisasi dilarang, praktek unbundling tidak punya kekuatan hukum yang mengikat. Putusan MK bersifat korektif terhadap prinsip normatif, tetapi tidak merombak struktur pasar ketenagalistrikan. IPP tetap terlibat dalam usaha penyediaan listrik, meskipun setrumnya harus dijual ke PLN dalam skema MBSS (multibuyers single seller).

Setelah dibatalkan MK, Pemerintah mengesahkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan sebagai beleid pengganti. Pasal 10 ayat (2) undang-undang ini menyebutkan usaha penyediaan tenaga listrik dapat dilakukan secara terintegrasi, yang berarti boleh juga dilakukan secara unbundling. Ketentuan ini ‘lolos’ dalam putusan MK No. 149/PUU-VII/2009, tetapi tidak lolos dalam putusan MK No. 11/PUU-XIII/2015. Menegaskan kembali putusan MK pada 2003, MK menyatakan konsep unbundling inkonstitusional.

Pasca putusan MK, industri ketenagalistrikan berlangsung dalam struktur pasar liberal terbatas. IPP boleh membangun, memiliki, dan mengoperasikan pembangkit, tetapi setrumnya harus disalurkan lewat PLN melalui skema MBSS. Di zaman SBY, PLN diberi tugas membangun pembangkit berkapasitas 10.000 MW beserta jaringan transmisinya. Hingga kekuasaan SBY berakhir, FTP (fast track program) 1 & 2 tidak tercapai.

Hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan program listrik era SBY hanya terealisasi 79,2% atau sekitar 7.919 megawatt (MW). Defisit suplai listrik membayangi asumsi pertumbuhan ekonomi dan kenaikan konsumsi.

Dengan asumsi ekonomi tumbuh 6-7% setiap tahun, dan setiap 1% pertumbuhan ekonomi menaikkan konsumsi listrik 1,3%, Jokowi meluncurkan proyek listrik 35.000 MW. Menimbang rendahnya realisasi pembangunan pembangkit oleh PLN dalam proyek sebelumnya, Jokowi mendorong perluasan partisipasi swasta di sektor ketenagalistrikan, baik dengan skema IPP maupun excesss power. Dalam RUKN 2015-2034 disebutkan, proyek 35.000 MW akan disediakan oleh IPP sebesar 30.000 MW (75%), sisanya oleh PLN sebesar 5.000 MW (25%).

Ternyata asumsi pertumbuhan ekonomi meleset, begitu juga demand ketenagalistrikan. Pertumbuhan ekonomi terkoreksi, antara lain akibat pandemi covid-19. Selama 2015-2023, ekonomi hanya tumbuh rata-rata 4,1%. Korelasi pertumbuhan dan konsumsi listrik meleset karena perubahan postur pertumbuhan.

Setiap 1% pertumbuhan ekonomi berbasis industri dapat mengungkit konsumsi listrik sebesar 1,3%. Karena pertumbuhan berbasis jasa dan pariwisata, pertumbuhan ekonomi hanya mengungkit 0,86% konsumsi listrik. Dampaknya adalah oversupply dan kenaikan anggaran ToP.

Lebih pasok membuat proyek 35.000 MW molor. Hingga akhir 2023, megaproyek 35.000 MW baru terealisasi 20,78 GW (58%). Sisanya sedang tahap konstruksi (26%), proses konstruksi (2%), proses PPA (3%), dan  perencanaan (11%). Rendahnya permintaan menaikkan beban ToP yang harus ditanggung PLN. Setiap 1 GW lebih pasok membebani keuangan PLN sebesar Rp 3 triliun.

Jika sekarang lebih pasok sebesar 6 GW, PLN tekor Rp 18 triliun setiap tahun. Beban PLN berpotensi membengkak dengan mulai beroperasinya proyek listrik 35.000 MW. Selain itu, jika skema power wheeling atau sewa jaringan lolos dalam RUU EBET yang tengah digodok DPR, lebih pasok setrum PLN akan bertambah.

Tanpa kenaikan demand dan perubahan kebijakan, lebih pasok bisa tembus 41 GW. Berapa beban yang harus ditanggung PLN? Rp 123 triliun! PLN bakal ambruk dan ketahanan energi dalam pertaruhan. Kondisi ini harus diantisipasi dengan perombakan tata kelola, penghapusan skema ToP, dan revisi RUPTL untuk  penghentian total pembangunan PLTU baru.

*) M. Kholid Syeirazi, Direktur Eksekutif Center for Energy Policy, pengajar di Fakultas Ilmu Administrasi UI.

Exit mobile version