Site icon Prokalteng

Berpikir (Tidak) Merdeka di Kurikulum Merdeka

AGUS AINUR ROZIQIN

KURIKULUM Merdeka resmi menjadi kurikulum nasional (Jawa Pos, 28 Maret 2024), rasanya bukan sebuah berita yang mengejutkan. Perubahan tersebut sudah diduga sejak awal. Apalagi di dunia pendidikan, sudah dirasakan sejak awal bahwa kurikulum yang dicanangkan dengan mimpi besar itu akan menjadi kurikulum nasional.

Namun sayang, seperti yang sudah-sudah, perubahan itu sering kali ’’hanya nama”, sementara substansinya 11-12. Padahal, Kurikulum Merdeka dilahirkan agar bisa digunakan dunia pendidikan untuk menjawab gerak zaman yang semakin cepat.

Apakah ada yang salah dari Kurikulum Merdeka? Sebuah gagasan tentu akan mencakup hal-hal yang baik karena begitu baiknya orang berkata ’’terlalu baik untuk dipraktikkan dalam kehidupan yang sedang tidak baik-baik saja”.

Para pendidik tentu dengan mudah akan menerima konsep agung yang menjadi ’’grand theory” dalam Kurikulum Merdeka. Namun, pada tingkat implementasi, seorang pendidik akan memilih dan memilahnya berdasar kondisi peserta didik dan saranaprasarana sekolah tersebut.

Substansi Kurikulum Merdeka adalah pendidikan yang berbasis pada kemajemukan peserta didik, baik bakat, minat, ataupun potensi peserta didik. Tugas pendidik adalah melejitkan apa yang terkandung dalam diri peserta didik. Maka, disusunlah pendidikan berdiferensiasi, setiap anak mempunyai ruang yang luas untuk belajar sesuai dengan potensinya. Pendidikan harus bisa menjadi motivator dan fasilitator bagi daya ledak kreativitas peserta didiknya.

Namun, sebagaimana yang sudah-sudah, perubahan kurikulum sering kali ’’jatuh pada lubang yang sama berkali-kali”, bagaimana kurikulum itu disosialisasikan dan dikembangkan di dunia pendidikan itu sendiri. Penulis, yang seorang guru, pada awalnya merasa bergembira dan bersyukur melihat gagasan besar yang menjadi fondasi Kurikulum Merdeka.

Namun, saat beberapa kali menghadiri sosialisasi Kurikulum Merdeka, termasuk di dalamnya bimbingan teknis, impian tentang Kurikulum Merdeka yang hebat, yang memerdekakan pendidik dari segala belenggu rutinitas dan kepura-puraan formalitas membuat gairah kreativitas menjadi pudar dan buram.

Kurikulum Merdeka ’’dikenalkan” pada perubahan nama, bukan substansi. Akhirnya, para pendidik ribut dan sibuk dengan pergantian nama-nama.

Dari silabus menjadi ATP (alur tujuan pembelajaran), RPP (rencana pelaksanaan pembelajaran) menjadi modul ajar, KKM (kriteria ketuntasan minimal) menjadi KKTP (kriteria ketercapaian tujuan pembelajaran), dan sekian banyak istilah yang menjadi ciri Kurikulum Merdeka ’’yang membedakan” dengan kurikulum sebelumnya.

Walaupun sesungguhnya perbedaan itu bukanlah substansi, itulah yang diutamakan dalam setiap bimbingan mengenai Kurikulum Merdeka.

Kesibukan tersebut semakin meningkat dengan berbagai nama dan istilah yang ditaburkan pada setiap kali kegiatan di PMM (Platform Merdeka Mengajar). Para pendidik diharapkan melakukan pembelajaran sesuai dengan konsep berpikir dalam Kurikulum Merdeka.

Di platform itu, pendidik menerima konsep, lalu diaplikasikan dalam pembelajaran, proses menyerap ilmu kemudian dengan berpikir ’’merdeka”(?) menerapkannya dalam keseharian. Jika ditanya mengapa kurikulum berubah, para pendidik bisa menjawab sebagaimana yang telah disampaikan dalam PMM.

Mengajar adalah sebuah seni interaksi yang unik, seorang pendidik bisa sukses menggunakan metode di kelas 9A misalnya, metode itu belum tentu sesuai dengan 9B, bahkan bisa gagal total di kelas 9G. Seseorang yang sudah lama mengajar akan memahami dinamika seperti itu.

Bisa jadi dia sibuk mencari solusi atau pasrah, lagi pula nilai dan laporan bisa ditulis sesuai yang diharapkan walaupun pada praktiknya tidak sesuai harapan. Seorang pendidik akan sukses jika dia berangkat mengajar dengan pemikiran merdeka, mencoba menemukan celah yang bisa digunakan sebagai pintu masuk saat mengajar.

Kurikulum Merdeka dengan bayangan ’’kemerdekaan” untuk eksplorasi pembelajaran, bagi pendidik, menjadi tantangan sendiri. Walaupun rasanya sangat sulit karena perubahan kurikulum selalu saja diidentikkan dengan perubahan nama-nama saja. Pembelajaran tetap sama dan para pendidik itu akan bersenandung ’’aku masih seperti yang dulu”.

Perubahan hanya akan terlihat pada format-format administrasi pembelajaran, mulai persiapan pembelajaran sampai supervisi/observasi.

Para pendidik akan gelisah dengan perubahan yang terkesan di lapangan hanya nama, tapi itulah yang terjadi. Para pendidik yang terpilih sebagai guru penggerak akan sibuk bergerak memberikan materi, baik yang daring maupun secara tatap muka. Akhirnya perubahan tersebut terkesan hanya perubahan nama dan karier, setelah itu menunggu perubahan baru dari menteri baru di kabinet baru pula.

Dengan beban administrasi yang menggunung dan kebijakan ’’wajib” membuka aplikasi tertentu, seorang pendidik diharapkan tetap berpikir ’’merdeka”. Tapi, pendidik kemudian hanya menjadi pegawai, yang menjalankan tugas sebagai sebuah rutinitas. Walaupun sang pendidik tahu bahwa rutinitas itu hanya formalitas, bukan substansi, tetapi harus dilaksanakan.

Sedangkan perubahan paradigma mengajar Kurikulum Merdeka membutuhkan kreativitas dari jiwa-jiwa yang merdeka. Jiwa merdeka yang menyimpan kreativitas dalam mengajar yang seharusnya menjadi substansi Kurikulum Merdeka, apakah bisa terlaksana dengan beban administrasi yang menggunung?

Semua pendidik pasti mempunyai harapan sama dengan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) agar Kurikulum Merdeka terlaksana dengan baik, peserta didik berkembang maksimal dengan segala potensinya. Semua program dari kementerian akan didukung dan dilak

Namun, ada harapan, beban administrasi formalitas pendidik disederhanakan agar ada waktu yang lapang untuk ”berpikir merdeka” dalam mengembangkan metode pembelajaran. Agar tidak terjebak dengan berpikir ’’tidak merdeka” dalam rutinitas sebagai petugas administrasi saja. (*)

*) AGUS AINUR ROZIQIN, Guru SMP Negeri 1 Merakurak Tuban

Exit mobile version