Site icon Prokalteng

Evaluasi Peraturan Pencalonan Peserta Pilpres Menuju Demokrasi Berperadaban

Oleh: Kariswan Pratama Jaya, S.H, S.Sy

BERGULIRNYA Permohonan atas sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan Umum kian menjadi sorotan masyarakat luas. Peristiwa ini telah membagi sebagian besar masyarakat menjadi dua kelompok. Kelompok pertama meyakini kemenangan absolut berada di tangan salah satu pasangan calon presiden dan wakil presiden. Kelompok lain meyakini ada kekosongan hukum dalam penanganan pelanggaran pemilu yang menimbulkan beban moral bagi Mahkamah Konstitusi sebagai garda terakhir sengketa kepemiluan yang diharapkan dapat memberikan keadilan bagi masyarakat.

Salah satu hal yang menjadi cikal bakal kontroversi dalam ajang kontestasi politik kali ini adalah pencalonan Gibran Rakabuming Raka yang diyakini sebagian kalangan merupakan pelanggaran pemilu. Meskipun sebenarnya secara materiil langkah politik Gibran telah mendapatkan payung hukum dari putusan Mahkamah Konstitusi 90/PUU-XII/2023. Namun “terlambatnya” proses penyusunan hingga penetapan Peraturan Komisi Pemilihan Umum nomor 23 tahun 2023 menimbulkan “kesalahpahaman” formil dalam tahapan pendaftaran bakal pasangan calon peserta pemilihan umum presiden dan wakil presiden.

Akibatnya muncul dua laporan terkait dugaan pelanggaran pemilu. Namun Bawaslu RI menanggapi dua laporan terhadap isu tersebut yakni laporan nomor 009/LP/PP/RI/000/XI/2023 dan laporan nomor 010/LP/PP/RI/000/XI/2023 dengan menyatakan laporan memenuhi syarat formil namun tidak memenuhi syarat materiil. Tidak terpenuhinya syarat materiil memberikan legitimasi kepada Bawaslu RI untuk tidak melakukan registrasi terhadap laporan tersebut dan menghentikan pemeriksaan. Hal ini menimbulkan satu pertanyaan besar. Mengapa laporan a quo tidak memenuhi syarat materiil? Syarat materiil apa yang tidak terpenuhi? Penjelasan paling logis adalah adanya ketidaksempurnaan dalam aturan pemeriksaan dokumen persyaratan bakal pasangan calon peserta pemilihan umum presiden dan wakil presiden.

Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia sebagai lembaga yang dibentuk dengan Undang-Undang mendapatkan atribusi negara untuk menyelenggarakan pemilihan umum termasuk menyusun peraturan-peraturan untuk setiap tahapan pemilu. Tugas penyusunan peraturan tersebut mesti dijalankan dengan memperhatikan asas-asas hukum. Kajian Hukum Tata Negara mengharuskan KPU untuk memperhatikan asas negara hukum sehingga setiap sikap kebijakan dan tindakan KPU harus sesuai dengan aturan hukum. Adapun dalam konteks pembentukan peraturan perundang-undangan KPU harus memperhatikan asas kedayagunaan dan kehasilgunaan sehingga setiap peraturan yang ditetapkan oleh KPU harus bermanfaat. Asas ini mengharuskan KPU tidak hanya membuat ketentuan formil dalam setiap peraturannya melainkan harus memperhatikan penyusunan ketentuan materiil demi memastikan kedayagunaan dan kehasilgunaan setiap pasal dalam materi pokok yang diaturnya.

Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) nomor 19 tahun 2023 sebagaimana telah diubah dengan PKPU nomor 23 tahun 2023 yang mengatur agar KPU RI melakukan pemeriksaan terhadap syarat-syarat pendaftaran. Ada dua klasifikasi persyaratan yang akan diperiksa oleh KPU RI. Klasifikasi pertama adalah dokumen persyaratan yang berkaitan dengan komitmen antara bakal pasangan calon dengan Partai Pengusung atau Gabungan Partai Pengusung dalam rangka memenuhi persyaratan pencalonan. Dokumen-dokumen tersebut diantaranya adalah surat pencalonan yang ditandatangani oleh Pimpinan Partai Politik Peserta Pemilu, kesepakatan tertulis antar Partai Politik Peserta Pemilu, surat pernyataan tidak akan menarik pengusulan bakal Pasangan Calon, dan surat rekomendasi jaminan Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu, vide Pasal 9 dan Pasal 10. Klasifikasi kedua yakni dokumen yang berkaitan dengan data diri, status dan kualitas diri bakal calon pasangan presiden dan wakil presiden itu sendiri, seperti KTP, Akta Kelahiran, SKCK, dan fotokopi ijazah, vide Pasal 18 dan Pasal 19.

PKPU a quo memberikan perlakuan yang berbeda terhadap dua klasifikasi dokumen persyaratan pencalonan tersebut. Hal ini dapat kita ketahui jika kita menghayati isi Pasal  32. Perlakuan terhadap dokumen klasifikasi pertama tertuang dalam Pasal 32 huruf a yaitu KPU RI memastikan dan memeriksa kelengkapan dan pemenuhan persyaratan. Sedangkan perlakuan terhadap dokumen klasifikasi kedua tertuang dalam Pasal 32 huruf b yaitu KPU RI hanya memastikan dan memeriksa kelengkapan dokumen persyaratan. Singkatnya, peraturan yang menjadi pedoman tata laksana KPU RI dalam tugas dan wewenangnya menjalankan atribusi negara dibidang kepemiluan hanya mengatur agar melakukan pemeriksaan formil terhadap data diri, status dan kualitas diri pasangan calon, sebatas lengkap atau tidaknya dokumen persyaratan yang diserahkan. Tidak lebih.

Dalam perspektif terminologi, peraturan KPU ini mengenal dua istilah berkaitan dengan persyaratan pendaftaran pasangan calon. Istilah pertama adalah persyaratan pencalonan dan istilah kedua adalah persyaratan calon. Kata pencalonan merujuk kepada proses mencalonkan seseorang. Sedangkan kata calon merujuk kepada pribadi calon itu sendiri. Perhatikan kembali pengaturan Pasal 32. Jelas, KPU  memeriksa kelengkapan dokumen dan pemenuhan persyaratan pencalonan bakal pasangan calon, in casu persyaratan yang berkaitan dengan dukungan gabungan partai politik dalam rangka memenuhi standar  presidential threshold. Berkaitan dengan istilah kedua, KPU hanya memeriksa kelengkapan dokumen persyaratan  calon. Tidak ada pengaturan mengenai pemeriksaan pemenuhan persyaratan calon, vide Pasal 13 ayat (1) huruf q.

Kemudian baik Pasal 32 huruf b mengenai pemeriksaan dokumen persyaratan maupun Pasal 42 yang menjadi pedoman dalam melakukan verifikasi dokumen, keduanya sama-sama tidak memerintahkan untuk memeriksa pemenuhan persyaratan berdasarkan Pasal 13. Padahal dalam Pasal 13 ayat (1) huruf q itulah ruh yang mengatur batas usia pasangan calon serta ketentuan bahwa pasangan calon harus sedang atau pernah menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilu.

Bagian ini menunjukkan penerapan asas kedayagunaan dan kehasilgunaan yang tidak menyeluruh dalam peraturan tersebut. Dalam kaitannya dengan asas negara hukum, bagian ini menunjukkan bahwa Peraturan KPU a quo tidak diharmonisasi dengan baik dalam proses penyusunan dan pra penetapannya. Absennya frasa pemenuhan persyaratan calon mengakibatkan hilangnya kedayagunaan dan kehasilgunaan dari pengaturan persyaratan calon. Sehingga lahirnya PKPU 23/2023 yang menyesuaikan pengaturan batas usia berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi 90/PUU-XII/2023 menjadi mubazir. Ini semua terjadi karena KPU hanya fokus memeriksa kebenaran dan pemenuhan syarat presidential threshold.

Diluar itu semua, kita perlu memahami bahwa KPU dan Bawaslu tidak memiliki kewenangan untuk menafsirkan setiap peraturan dalam menjalankan tugas dan wewenangnya. Oleh karena itu negara, dengan dorongan maupun tanpa dorongan dari masyarakat wajib memastikan penyempurnaan terhadap butir-butir pasal dalam PKPU berkaitan persyaratan bakal calon pasangan pilpres demi terciptanya proses demokrasi yang lebih baik. Sehingga pada pemilu yang akan datang KPU RI tidak hanya memeriksa kelengkapan dokumen yang berkaitan dengan data diri, status dan kualitas diri pasangan calon, namun juga harus memperhatikan pemenuhan syarat calon. Bukan hanya memeriksa pemenuhan syarat pencalonan. Semoga setiap evaluasi dan perfeksi terhadap peraturan kepemiluan mendorong Indonesia menjadi negara demokrasi berkeadaban. Sehingga asas luber jurdil benar-benar diwujudkan dalam setiap penyelenggaraan pemilu di Indonesia.

Kemudian, kita patut berharap agar KPU RI melakukan komunikasi intensif dengan DPR RI dan Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan dalam setiap penyusunan, harmonisasi maupun sinkronisasi Peraturan Komisi Pemilihan Umum.

Terakhir, apapun putusan Mahkamah Konstitusi nantinya terhadap perkara nomor 1/PHPU.PRES-XXII/2024 dan 2/PHPU.PRES-XXII/2024 tidak boleh menjadi sebab kericuhan di kalangan masyarakat. Oleh karena itu masyarakat harus diberikan pemahaman bahwa perkembangan demokrasi Indonesia sudah berada diarah yang benar. Dan yakinlah bahwa hukum berkembang mengikuti perkembangan masyarakat. Biarlah ini menjadi pendewasaan demokrasi kita dan jangan kita coreng kepercayaan publik terhadap lembaga penjaga konstitusi kita, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.

*) Penulis adalah Praktisi Hukum dan Pemerhati Hukum Tata Negara

Exit mobile version