Site icon Prokalteng

Jangan Anggap Sepele, 4 Penyebab Seseorang Menjadi People Pleaser yang Membuatnya Merasa Terbebani

Ilustrasi people pleaser. (Yan Krukau/pexels.com)

PROKALTENG.CO – Orang yang mempunyai perilaku people pleaser cenderung mengutamakan kebutuhan orang lain dibandingkan kebutuhan mereka sendiri. Mereka sangat peka terhadap perasaan orang lain dan sering dianggap ramah, suka menolong, dan baik hati.

Sayangnya, orang yang cenderung menyenangkan orang lain biasanya akan mengalami kesulitan dalam membela diri, di mana kondisi ini dapat menimbulkan pola pengorbanan diri atau pengabaian terhadap kebutuhan pribadi yang merugikan.

Kebiasaan menyenangkan orang lain berhubungan dengan sifat kepribadian yang disebut sosiotropi, yaitu kecenderungan mengutamakan persetujuan orang lain demi menjaga hubungan, meski itu berarti mengorbankan kebutuhan atau perasaan diri sendiri. Dikutip dari verywellmind.com, berikut beberapa penyebab seseorang menjadi people pleaser.

  1. Harga diri yang rendah

Harga diri yang rendah biasanya menjadi salah satu faktor pendorong utama bagi seseorang memiliki sikap yang people pleaser, sebab mereka cenderung mengabaikan kebutuhan dan keinginan mereka sendiri. Sehingga mereka justru fokus dengan kebutuhan orang lain.

Ketika seseorang merasa kurang percaya diri, mereka mungkin merasa bahwa mereka tidak cukup berharga atau layak, sehingga mereka mencari validasi dan pengakuan dari orang lain. Mereka pun menjadi berpikir harus selalu berusaha memenuhi harapan orang lain dan berbuat baik untuk mereka.

Dengan melakukan tindakan tersebut, mereka berharap mendapatkan persetujuan dan rasa diterima yang mereka butuhkan. Keinginan memperoleh pengakuan ini seringkali membuat mereka mengutamakan kebahagiaan orang lain, meski itu berarti mengabaikan kebahagiaan atau kepentingan pribadi mereka.

  1. Rasa tidak aman

Dalam beberapa situasi, seseorang mungkin merasa terdorong guna menyenangkan orang lain sebab rasa takut atau kekhawatiran bahwa orang tersebut tidak akan menyukai mereka apabila mereka tidak berusaha keras untuk memenuhi keinginan atau harapan mereka.

Ketakutan ini sering muncul dari perasaan tidak aman atau kecemasan sosial, di mana seseorang merasa bahwa hubungan mereka dengan orang lain bergantung pada seberapa banyak mereka berupaya demi membuat orang tersebut merasa bahagia atau puas.

Mereka mungkin merasa bahwa jika mereka tidak terus berusaha dalam menyenangkan orang lain, mereka akan kehilangan perhatian atau bahkan dihukum dengan penolakan, di mana kondisi ini dapat memperburuk rasa tidak diterima atau tidak dihargai.

  1. Perfeksionis

Terkadang, seseorang merasa dorongan kuat untuk mencapai kesempurnaan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam cara mereka memandang dan mengatur perasaan, pemikiran, atau penilaian orang lain terhadap situasi tertentu.

Keinginan agar segala sesuatunya menjadi sempurna ini biasanya melibatkan usaha dalam memenuhi ekspektasi orang lain, dengan tujuan memastikan bahwa orang-orang di sekitar mereka merasa senang, puas, atau bahkan terkesan dengan tindakan dan perilaku yang mereka tunjukkan.

Orang dengan kecenderungan ini sering merasa bahwa apabila mereka tidak bisa mengendalikan cara orang lain berpikir atau merasakan, hubungan mereka dapat terganggu atau sesuatu yang buruk akan terjadi. Keinginan akan kesempurnaan ini membuat mereka terus berupaya menyenangkan orang lain, walau itu berarti mengabaikan kebutuhan dan perasaan mereka sendiri.

  1. Pengalaman masa lalu

Pengalaman masa lalu yang menyakitkan, penuh tantangan, atau bahkan traumatis umumnya memiliki peran penting dalam membentuk perilaku seseorang, termasuk kecenderungan dalam menjadi people pleaser. Seperti halnya orang yang pernah mengalami kekerasan atau perlakuan buruk di masa lalu.

Selain itu, perasaan terdorong untuk selalu berusaha menyenangkan orang lain sebagai cara menghindari situasi yang bisa memicu perilaku kasar atau agresif dari orang lain. Mereka mungkin berupaya bersikap sebaik mungkin, bahkan terlalu ramah atau terlalu perhatian, dengan harapan bisa menjaga kedamaian dan menghindari konfrontasi atau ketegangan yang dapat memicu reaksi negatif.

Dalam kasus seperti ini, perilaku menyenangkan orang lain biasanya menjadi cara dalam merasa aman dan mengontrol lingkungan sosial mereka, terutama apabila mereka pernah merasakan bahaya atau kekerasan akibat ketidakmampuan dalam mengendalikan dinamika hubungan di masa lalu.

Motivasi untuk membantu orang lain dapat berasal dari niat altruistik, di mana seseorang benar-benar ingin memastikan bahwa orang lain memperoleh bantuan yang mereka perlukan. Dalam situasi lain, kebiasaan menyenangkan orang lain bisa menjadi cara meraih rasa diterima atau dihargai.

Dengan berfokus pada kebahagiaan orang lain, orang tersebut merasa lebih bermanfaat dan memperoleh pengakuan yang memberi mereka rasa dihargai dan disukai. Jadi, walaupun niat awal mungkin untuk membantu, bagi sebagian orang, tindakan tersebut juga dapat menjadi cara guna memenuhi kebutuhan emosional mereka sendiri. (pri/jawapos.com)

Exit mobile version