SATU di antara banyak ritual yang selalu menarik diperbincangkan tatkala Ramadan adalah tradisi makan. Baik waktu berbuka puasa maupun santap sahur. Wabil khusus momentum menjelang berbuka puasa. Yakni ketika kadar hormon grelin (ghrelin), ”hormon lapar” yang bertugas memberi sinyal lapar ke otak saat perut kosong, tengah mencapai klimaksnya setelah belasan jam berpuasa, dari terbit fajar hingga azan Magrib terdengar.
Situasi tersebut bisa mendorong orang yang berpuasa menjadi kalap, makan dengan terburu-buru dan berlebihan. Apalagi saat berbuka puasa disajikan banyak pilihan menu makanan yang tampak sangat nikmat menggoda. Pun dibebaskan untuk memilih sesuai selera sepuasnya.
Bisa terjadi di rumah sendiri, saat prasmanan, atau di tempat makan berkonsep buffet maupun all you can eat. Makan berlebihan tetaplah harus dihindari demi mampu menjalani Ramadan dengan lebih berkualitas dan sarat makna. Adakah langkah cerdas nan elegan untuk meraihnya?
Dalam khazanah Islam terdapat istilah tumakninah (tuma’ninah), yaitu jeda sejenak di antara rangkaian gerakan dalam ibadah salat. Ritual salat tak seharusnya dilakukan sambil terburu-buru, seolah sedang berkejaran dengan waktu.
Analogi tumakninah dapat menjelaskan betapa ritual makan di kala Ramadan sering malah menjadi paradoks. Musababnya, berbuka puasa sering kurang terkendali, terlalu tergesa-gesa, dan berlebihan.
Akibatnya, perut terlalu kenyang. Parahnya lagi, lambung dipenuhi makanan, yang meskipun lezat, tapi cenderung kurang nutrisi. Lantaran densitas kalorinya tinggi, kurang serat pangan dan protein, serta tinggi garam, gula, dan lemak.
Seruan untuk tidak berlebihan saat makan sebenarnya sudah ada. Bahkan sejak hampir 1.500 tahun yang lalu dari sebuah hadis Rasulullah SAW: ”Tidaklah seorang manusia memenuhi perutnya yang lebih buruk daripada memenuhi perut itu dengan makanan.
Cukuplah seorang manusia beberapa suap yang mampu mempertahankan kekuatannya. Jika tidak bisa, hendaklah membagi perutnya menjadi tiga bagian: sepertiga makanan, sepertiga minuman, dan sepertiga lagi untuk bernapas.” (HR Tirmidzi)
Ritual Berkesadaran
Adagium masyhur dari salah seorang legenda stoic Marcus Aurelius (121 M–180 M) menegaskan bahwa ”alam semesta ini tidak pernah terburu-buru, tetapi semuanya tercapai.” Matahari terbit dari timur, lalu bergerak ke barat dan akhirnya tenggelam, tidak perlu dan tidak pernah tergesa-gesa.
Tampaknya pesan moral dari petuah itu amat relevan dengan konteks ritual makan di bulan Ramadan. Makan yang dilakukan secara perlahan dan berkesadaran penuh atau mindful eating. Perilaku yang berperan sangat penting untuk meningkatkan kemampuan merasakan sinyal kenyang.
Makan harus dilakukan dengan tidak terburu-buru supaya saraf-saraf kenyang lebih sensitif. Makan dengan penuh kesadaran adalah menikmati makanan dengan memanfaatkan seluruh indra tanpa menghakimi.
Prinsip dasarnya mendengarkan isyarat internal tubuh, contohnya adalah rasa lapar dan kenyang, untuk menghindari konsumsi berlebihan. Selain itu, memperhatikan isyarat eksternal, misalnya mengurangi ukuran porsi dan gangguan saat makan.
Salah satu hikmah mindful eating adalah terjadinya penurunan jumlah kalori. Melanson et al (2008), melalui riset bertajuk Eating Slowly Led to Decreases in Energy Intake within Meals in Healthy Women, menyimpulkan bahwa makan perlahan dapat membantu memaksimalkan rasa kenyang dan mengurangi asupan energi dalam makanan.
Penelitian tersebut mengungkap bahwa responden yang diminta makan dengan cepat, kurang dari 9 menit, telah mengonsumsi lebih banyak kalori ketimbang responden yang sama yang diarahkan untuk jeda sejenak di antara gigitan, mengunyah makanan lebih banyak di setiap suapan, sebelum menelannya. Kesimpulan lain yang juga menarik, laki-laki makan lebih cepat secara signifikan dibandingkan perempuan.
Sebagian besar umat Islam pasti pernah menjalani ritual makan sambil melakukan aktivitas lain, seperti menonton televisi, mengobrol, bekerja, bermain gawai, dan sejenisnya.
Alhasil, kita tidak fokus lagi dalam menyantap makanan. Itulah yang disebut dengan mindless eating, yaitu makan tanpa kesadaran. Lebih buruknya lagi, mindless eating bisa menyebabkan kita tetap merasa lapar dan ingin makan lagi meskipun sebelumnya sudah makan.
Beberapa strategi dalam menjalankan mindful eating adalah dengan meminum air di sela-sela waktu makan, menikmati aroma dan rasa makanan, serta menggunakan piring dan mangkuk yang lebih kecil. Juga menjauhkan dari gangguan gawai, televisi, atau komputer saat makan serta menciptakan pengalaman yang menyenangkan di sekitar makanan dan makan.
Otak manusia membutuhkan waktu sekitar 20 menit untuk mengirim sinyal kenyang. Praktik dan kesimpulan tersebut dijelaskan oleh Monroe (2015) secara ilmiah dan amat terperinci dalam artikel bertajuk Mindful Eating: Principles and Practice yang terbit di American Journal of Lifestyle Medicine.
Ramadan semestinya menjadi ajang latihan mengendalikan diri. Makan seyogianya dilakukan dengan perlahan dan penuh kesadaran. Tanpa tumakninah, semacam jeda kecil di antara gigitan, makan laksana ritual kosong nirhikmah dan seakan hanya mengejar rasa kenyang belaka. Makan seharusnya juga menjadi bagian dari proses menikmati, mensyukuri, dan memuliakan makanan.
Semoga kita mampu merayakan sekaligus menghiasi Ramadan 1445 Hijriah ini dengan banyak beramal kebaikan serta menjauhi perilaku makan tanpa kesadaran, yang sejatinya dapat mengurangi nilai ibadah Ramadan.
Dengan demikian, setelah Ramadan nanti, kita akan terlahir kembali sebagai hamba yang lebih baik dan lebih bertakwa, capaian tertinggi dari seluruh rangkaian ibadah Ramadan. Selamat berpuasa dengan selaksa makna. (*)
*) SUNARDI SISWODIHARJO, Penulis Buku Narasi Nutrisidan Kesehatan di Zaman Pasca Kebenaran