Pada 29 Januari lalu, saya berkesempatan berbincang santai dengan Ketua Banggar DPR M.H. Said Abdullah di kediaman asalnya, Sumenep, Madura. Dia mengaku sedang memutar otak bersama pihak terkait untuk memperbaiki fiskal negeri ini.
Disadari, ekonomi republik ini tidak sedang baik-baik saja. Tidak disebutkan putar otak seperti apa guna memperbaiki kondisi keuangan negeri tercinta ini. Namun, substansinya, kondisi keuangan sedang berada pada posisi kurang fit, semacam kepepet happiness.
Tentu, otak (saya) ini tidak seencer ketua Banggar DPR dalam memotret negeri ini dari perspektif fiskal. Meskipun, sebagai warga negara, saya tetaplah harus optimistis bahwa Indonesia akan baik-baik saja, pada akhirnya. Sebab, menciptakan pribadi yang pesimistis tentulah tak ada guna.
Di luar itu, sebagai warga yang bernenek moyang pelaut, leluhur membesarkan anak-cucunya untuk tetap berani berhadapan dengan gelombang, badai, dan angin topan. Nenek moyang tidak takut pada kematian. Nenek moyang hanya mendedahkan untuk khawatir apabila kelaparan.
Gaduh Elpiji 3 Kg
Hanya, keputusan Menteri ESDM Bahlil Lahadalia yang menegaskan bahwa rakyat tidak bisa lagi membeli elpiji 3 kg kepada pengecer membuat dahi rakyat mengernyit.
Situasi itu membuat rakyat panik. Terutama para penjual gorengan, bakso, dan bakmi keliling (untuk sekadar menyebut contoh) serta ibu rumah tangga yang sejauh ini mendapatkan gas dari pengecer yang domisilinya tidak jauh dari rumah warga.
Para penjual keliling sejauh ini membeli gas di titik di mana gas itu habis di tengah jalan, mereka bisa langsung membeli gas dari pengecer.
Dalam ramai penataan gas ala Bahlil, warga Pamulang Barat, Yonih, 62, meninggal karena lelah mengantre membeli gas. Akhirnya, Presiden Prabowo menganulir keputusan menterinya sehingga agak melegakan rakyat. Kini rakyat kembali bisa mendapatkan elpiji 3 kg (melon) seperti sedia kala.
Kelegaan juga muncul karena tidak ada lagi rakyat yang mati akibat letih mengantre gas di pangkalan. Bagaimanapun, beribu pangkalan gas elpiji bersubsidi tidak pernah bisa seharga nyawa.
Hakikatnya, kondisi rakyat menyesuaikan dengan situasi bangsa. Jika kondisi negara, sebagaimana disampaikan ketua Banggar DPR dan banyak tokoh lainnya, tidak baik-baik saja, di suasana itulah rakyat berada. Ketika negara meminta rakyat sabar, rakyat melakukan itu.
Tetap sabar dan bersyukur, masih bisa bertahan hidup, seberapa pun rumitnya. Bahwa terjadi gap yang sangat menganga dari pendapatan yang terendah hingga income tertinggi pada sebagian warga lainnya, rakyat tabah karena memang berbeda antara alit dan elite. Rakyat hanya butuh tenang dan tidak dikorbankan pada pertarungan makhluk kelas atas.
Muatan Terselubung
Rakyat alit tidak berkenan dibuat sulit untuk kebijakan dan keputusan yang tidak bisa dijangkau pikiran awam-rakyat. Jangan pernah berpikir rakyat tidak tahu bahwa keputusan menteri ESDM tidak memiliki muatan yang tidak bisa dijangkau rakyat.
Hampir semua keputusan pemerintah yang dibuat para pihak terkait pasti mengandung sesuatu yang lain sebagaimana hukum Newton I: sebuah benda bergerak karena ada benda lain yang menggerakkannya. Meski begitu, pemerintah tidak perlu amnesia dengan hukum Newton IV: ada aksi pasti ada reaksi.
Sejatinya, rakyat tidak menyalahkan Bahlil. Rakyat meyakini, menteri itu pernah aktif di Pramuka sehingga merupakan orang yang baik hati, tidak sombong, suka menolong, dan rajin menabung.
Namun, dalam membuat keputusan, rakyat ingin ada kajian yang benar-benar deep (mendalam). Dikaji, dikalkulasi, dan dipikirkan kapan hal yang dimaksud diberlakukan.
Jepang saja, pada era 1940-an, ketika hendak mencuri harta warga Indonesia, mengumumkan melalui apa yang disebut cumarit (Madura). Ketika cumarit dibunyikan, rakyat bersembunyi ke dalam lubang. Saat rakyat masuk ke lubang (sejenis bungker), tentara Jepang leluasa mengambil apa saja dari rakyat Nusantara ketika itu.
Sekali lagi, rakyat tahu dan tidak bodoh-bodoh amat terhadap apa yang terjadi pada bangsa ini. Misalnya, adanya oknum yang menjual laut untuk kepentingan pribadi. Lalu, siapa yang membeli laut dan siapa yang bekerja kepada pembeli laut (bahkan hutan dan seisinya), rakyat tahu dan tidak bisa berbuat banyak.
Sebab, rakyat paham, negara dikendalikan para bandit (meminjam istilah Mahfud MD). Rakyat teringat puisi W.S. Rendra, Sajak Sebatang Lisong:
Aku bertanya, tetapi pertanyaan-pertanyaanku, membentur meja kekuasaan yang macet…
Begitulah. Narasi ini tidak sedang bermaksud menyindir siapa untuk kebijakan yang bahkan tidak populis sekalipun. Bagaimanapun, rakyat alias publik sudah seharusnya dirawat sebagaimana para punggawa meruwat republik untuk manusia Indonesia hari ini dan generasi bangsa masa depan. (*)
*) ABRARI ALZAEL, BUDAYAWAN; kandidat doktor psikologi pendidikan UN Malang