Site icon Prokalteng

Serangan terhadap Polisi, lantas?

serangan-terhadap-polisi-lantas

KEKERASAN, apalagi serangan bersenjata,
terhadap polisi sesungguhnya ”tidak terlalu luar biasa”. Itu adalah risiko
tugas. Setiap orang yang memilih menjadi polisi, sejak awal menjejakkan kakinya
di lembaga kepolisian, tentu sudah tahu risiko maut yang bisa dihadapinya
sewaktu-waktu.

Tentu, kalimat sedemikian rupa tidak bermakna
bahwa aksi teror pantas dipandang sebelah mata. Kelangsungan hidup personel
kepolisian juga harus dijaga dengan sebaik-baiknya. Apalagi jika lingkungan
Mabes Polri saja diteror, risiko lebih fatal bisa saja berlangsung di luar
situ. Ketika keamanan aparat penegak hukum terusik, masyarakat biasa lebih
rentan lagi mengalami viktimisasi. Intinya, ungkapan ”negara hadir” tidak hanya
berlaku bagi warga sipil, tapi juga bagi seluruh personel penegak hukum.

Pada kejadian aksi penembakan di Mabes Polri
(31/3), dalam waktu singkat seluruh media menyebutnya sebagai aksi teror. Sosok
pemegang senjata yang tertangkap kamera juga dijuluki sebagai terduga teroris.
Dramatis. Namun, patut dipertanyakan, pada fase kegentingan itu, seberapa jauh
ketepatan penggunaan sebutan-sebutan yang berasosiasi dengan terorisme
tersebut. Apakah setiap serangan terhadap polisi serta-merta bisa dikatakan
sebagai serangan teror?

Perlu ditelisik, berapa sesungguhnya jumlah
kejadian serangan terhadap polisi. Demikian pula, bagaimana respons kepolisian
terhadap laporan-laporan tentang kekerasan yang diarahkan ke institusi
Tribrata, baik terhadap personelnya maupun propertinya.

Ekspose data tentang hal tersebut barangkali
bisa memunculkan kesan negatif. Sesedikit apa pun serangan terhadap polisi,
apalagi yang sampai menjatuhkan korban jiwa dari pihak kepolisian, bisa
mengesankan polisi sebagai lembaga atau personel yang rapuh. Namun, itu sebatas
masalah tafsiran. Pastinya, data atau jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di
atas meletakkan dasar bagi seberapa jauh penguatan perlu dilakukan dalam rangka
meningkatkan jaminan keselamatan bagi personel kepolisian.

Selanjutnya, kapankah serangan terhadap
polisi layak dikategorikan sebagai aksi teror. Pertanyaan ini sekaligus kritik
terhadap banyak pihak yang langsung menyebut aksi penembakan pada 31 Maret
sebagai aksi teror dan pelakunya adalah (terduga) teroris.

 

Siapa Peduli?

Menyimak pemberitaan media, tidak hanya
sekali dua kali terjadi peristiwa serangan terhadap personel kepolisian. Baik
ketika mereka sedang bertugas maupun tidak sedang bertugas. Sayangnya, walau
profesi sebagai personel Polri beratnya bukan alang kepalang, tidak ada satu
pasal pun di dalam UU Polri yang memuat atensi negara terhadap vitalnya
keselamatan mereka.

 

Sudah saatnya kepedulian pada sisi humanis
personel Polri –selaku manusia yang juga bisa kehilangan nyawa– dituangkan ke
dalam legislasi. KUHP, tepatnya pasal 212, pada dasarnya memuat keberpihakan
terhadap aparat. Yakni, ”Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan
melawan kepada seseorang pegawai negeri yang melakukan pekerjaannya yang sah,
atau melawan kepada orang yang waktu membantu pegawai negeri itu karena
kewajibannya menurut undang-undang atau karena permintaan pegawai negeri itu,
dihukum karena perlawanan, dengan hukuman penjara selama-lamanya satu tahun
empat bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 4.500.”

Namun, seiring dengan kian kompleksnya kerja
aparat penegak hukum dan semakin nyatanya risiko bahaya yang dapat mereka
hadapi saat menjalankan tugas, apalagi karena undang-undang khusus (lex
specialis) tentang Polri telah tersedia, akan sangat baik jika penguatan
dimasukkan ke legislasi yang dimaksud.

Sebagai perbandingan, di Amerika Serikat ada
Law Enforcement Officers Safety Act. Juga, beberapa tahun lalu dirilis The
Serve and Protection Act. Legislasi itu memberikan jaminan keselamatan tidak
hanya bagi aparat penegak hukum yang tengah menjalankan tugas kepolisian, tapi
juga kepada keluarga mereka.

Kekerasan terhadap aparat disejajarkan dengan
kejahatan karena kebencian (hate crime). Ancaman hukuman bagi pelakunya sampai
penjara seumur hidup. Perhatian yang tertuang dalam sejumlah legislasi tersebut
didasarkan, antara lain, pada banyaknya data yang menunjukkan bahwa secara
persentase personel kepolisian menghadapi serangan kebencian lebih jauh banyak
daripada yang terjadi di kalangan masyarakat biasa.

Keberadaan UU semacam itu mencerminkan
beberapa hal. Pertama, kepedulian pada keselamatan personel lembaga penegak
hukum merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari etika kerja. Manajemen
risiko oleh institusi penegak hukum menemukan titik pijakannya berupa UU yang
dimaksud. Artinya, institusi penegak hukum, misalnya kepolisian, harus memberikan
perhatian lebih besar lagi pada keseimbangan antara tugas dan keselamatan.
Kiasannya, menjadi patriot memang mulia. Tapi, patriot yang tetap bernyawa akan
memberikan manfaat lebih besar bagi warga.

Kedua, UU itu pula salah satu safeguard yang
berangkat dari kesadaran bahwa terkorbankannya keamanan aparat niscaya berimbas
ke kolega aparat di satu institusi, masyarakat luas, dan sesama otoritas
penegak hukum. Dengan kata lain, hal ihwal terkait keselamatan nyawa personel
kepolisian tidak berhenti sampai di situ. Melainkan tetap ditinjau dalam
konteks pelayanan dan perlindungan bagi masyarakat.

Ketiga, ada kemafhuman bahwa tidak setiap
serangan terhadap polisi dapat dikategori sebagai aksi teror. Butuh pendalaman
spesifik kejadian per kejadian agar penanganan atas kejadian yang berlangsung
dan pencegahan terjadinya serangan berikutnya dapat benar-benar tepat sasaran.
Allahu a’lam. (*)

Reza Indragiri Amriel, Alumnus Psikologi
Forensik The University of Melbourne

Exit mobile version