TIDAK pernah henti saya mengagumi keberanian
Siddharta Gautama meninggalkan gemerlap keduniawian bahkan tahta kerajaan
setelah menyaksikan tiga amanat penderitaan manusia.
Ramalan
Pangeran Siddharta dilahirkan pada tahun 623 SM di Taman Lumbini, saat Ratu
Maha Maya berdiri memegang dahan pohon sala.
Oleh para peramal dinubuatkan sang Pangeran kelak akan menjadi seorang
Chakrawartin (Maharaja Dunia).
Namun peramal Kondañña meramalkan bahwa Siddharta kelak akan menjadi
pertapa.
Mendengar ramalan tersebut Sri Baginda Raja Suddhodana menjadi cemas, karena
apabila sang putra mahkota menjadi pertapa, tidak ada yang akan mewarisi tahta
kerajaannya.
Kondanna menjelaskan agar Pangeran tidak menjadi pertapa maka jangan sampai melihat tiga amanat penderitaan
manusia yaitu sakit, tua dan mati.
Kenikmatan Duniawi
Maka Suddhodana menugaskan banyak pelayan untuk memanjakan Pangeran
Siddharta, agar sang putra mahkota dapat menikmati hidup keduniawian.
Segala bentuk penderitaan manusia disingkirkan dari kehidupan Pangeran
Siddharta sehingga Pangeran hanya mengetahui kenikmatan duniawi.
Suatu hari Pangeran Siddharta diam-diam berjalan ke luar istana, di mana
pada kesempatan yang berbeda dilihatnya orang sakit, orang tua, orang mati.
Pangeran Siddhartha prihatin dan menanyakan kepada dirinya sendiri,
“Apa arti kehidupan ini, kalau semuanya akan menderita sakit, menjadi tua
dan kemudian mati?”
Pergolakan batin Pangeran Siddharta berjalan terus sampai berusia 29 tahun,
tepat pada saat putra tunggalnya Rahula lahir.
Akhirnya pada suatu malam, Pangeran Siddharta memutuskan untuk meninggalkan
istananya ditemani oleh kusirnya, Channa.
Tekadnya telah bulat untuk melakukan Pelepasan Agung dengan menjalani hidup
sebagai pertapa.
Aneka Ragam
Siddharta melihat tiga APM (Amanat Penderitaan Manusia) yaitu sakit, tua
dan mati, padahal sebenarnya masih lebih banyak lagi ragam penderitaan di
planet bumi ini.
Misalnya derita tidak mampu membayar biaya iuran asuransi kesehatan yang
makin mahal, derita tidak bisa sekolah akibat tidak mampu bayar uang gedung,
uang wisata sampai uang seragam, atau derita menjadi tua tanpa ada yang sudi
merawat padahal memiliki sanak-keluarga bahkan anak-anak kandung.
Mati bisa ditunda saatnya oleh teknologi kedokteran yang makin canggih
sambil makin mahal yang berarti memperpanjang masa penderitaan.
Masih begitu banyak manusia termasuk anak-anak menderita akibat dianiaya
dan/atau diperkosa oleh sesama manusia.
APM juga bisa bersifat politik seperti dilaporkan ke polisi atas berbagai
macam dugaan mulai dari pencemaran nama baik sampai makar.
Senantiasa ada yang sedemikian iri dan dengki sehingga tega memfitnah
sampai menyelakakan sesama manusia.
Kemelut politik dan ekonomi bisa menyebabkan manusia mengungsi dari suatu
negara ke negara lain.
Bahkan rakyat miskin yang sudah cukup menderita lahir-batin akibat
kemiskinan masih harus ikhlas digusur atas nama pembangunan sambil alih-alih
dibantu atau dihibur malah dicemooh, dihujat, difitnah, distigmasisasi sebagai
sampah masyarakat oleh sesama manusia yang kebetulan tidak mengalami nasib
digusur.
Ajakan
Memang tidak semua insan manusia (termasuk saya) memiliki keberanian
meninggalkan kenikmatan duniawi seperti Siddharta Gautama.
Sebenarnya tidak ada kewajiban bagi siapa pun untuk meniru keberanian
Siddharta Gautama.
Namun pada hakikatnya kisah perjalanan Siddharta Gautama mencari makna
kehidupan merupakan ajakan bagi seluruh umat manusia (termasuk saya) agar peka
makna welas-asih yang terkandung di dalam sila Kemanusiaan Adil dan Beradab
serta bela-rasa penderitaan sesama manusia.
Memang tidak semua insan manusia (apalagi saya) dapat membantu sesama
manusia membebaskan diri dari berbagai ragam belenggu penderitaan.
Namun kisah Siddharta Gautama dapat didayagunakan sebagai pedoman demi
menyadarkan seluruh umat manusia (terutama saya) agar apabila tidak bisa
membantu seyogianya jangan mendukung atau malah ikut melakukan perilaku
membenci, menghujat, memfitnah, menstigmasisasi, menggusur, menyelakakan,
menganiaya, menyengsarakan apalagi membinasakan sesama manusia. (rmol/kpc)