31.5 C
Jakarta
Friday, April 19, 2024

Siapkan Strategi untuk Mengedukasi Warga yang Takut dan Menolak Rapid

PALANGKA RAYA-  Juru Bicara Tim Gugus Tugas Percepatan
Penanganan Covid-19 Palangka Raya Supriyanto
menyebut, ketakukan warga
untuk ikut rapid test dinilainya cukup
wajar.
Pola pikir masyarakat soal rapid
tes
t tentunya berbeda. Ada yang
menanggapi secara positif
, tapi tak sedikit pula yang menanggapinya
secara negatif.
Maka dari itu, tim akan
bekerja keras

untuk menghilangkan rasa takut
warga ini. Pihaknya semaksimal mungkin akan menjelaskan kepa da masyarakat soal kegunaan atau manfaat
mengikuti rapid tes
t.

Ia mengakui,
untuk mengubah atau menyamakan pola pikir
soal rapid test
bukanlah hal mudah. Butuh waktu
dan  kesabaran. Karena itu, tim gugus
tugas akan berupaya memberikan edukasi soal rapid test dan protokol kesehatan.
Pelaksanaan
rapid
tes
t massal di permukiman
ini
mungkin merupakan hal baru di mata
masyarakat
, sehingga menuai respons
berbeda.

Karena itu, strategi untuk
mengedukasi warga
yang takut dan menolak rapid test
sudah disiapkan tim. Ada kemungkinan akan dilakukan
dengan tatap muka dan tanya jawab.

Baca Juga :  Sidak Supermakert, Wabup Temukan Mamin Kedaluwarsa di Parcel

“Tadi saya sempat bertanya dan
berdiskusi ringan dengan teman saya
yang merupakan dokter dan
psikolog
, tentang bagaimana cara mengubah pola pikir
masyarakat
. Ia menjawab bahwa ini cukup berat
dan diperlukan waktu bertahap
. Meski demikian, kami akan
berusaha
mengubah
pandangan
warga bahwa rapid test
itu
tidak menakutkan,” ucapnya
kepada Kalteng Pos di ruang kerjanya
.

Sesuai Undang-Undang
RI Nomor 4
tahun 1984 tentang Wabah Penyakit
Menular dan Undang-Undang RI Nomor 6 Tahun 2018, pihaknya
bisa saja menerapkan sanksi tegas kepada masyarakat
yang menolak. Dalam undang-undang tersebut tertuang sanksi pidana
kurungan penjara paling lama satu tahun atau dikenakan denda paling tinggi
sebesar Rp100
juta. Hanya saja,
se
bagaiaman yang dikatakan Wakil Wali Kota Palangka Raya
Hj Umi Mastikah
, pemerintah akan meminimalkan dampak
kepada masyarakat. Maka dari itu
, penerapan
sanksi tegas
dianggap belum perlu karena masih bisa menempuh cara
humanis melalui edukasi.

Melihat adanya
penolakan warga, a
kademisi Fakultas Hukum Universitas Palangka Raya (UPR)
Fransisco berpendapat,
pemko perlu melakukan pendekatan
yang berbeda kepada masyarakat. Misal saja, pendekatan dengan melibatkan tokoh
masyarakat
, tokoh adat, atau tokoh
agama.

Baca Juga :  204 Pejabat Dilantik

“Dengan demikian, para tokoh ini dapat
memberikan pemahaman dan sosialisasi kepada
masyarakat, karena
masyarakat pada umumnya masih awam soal rapid test ini,”
ungkapnya
kepada Kalteng Pos melalui pesan
WhatsApp.

Ketidaktahuan masyarakat akan menimbulkan stigma negatif sehingga berujung pada ketakutan. Ada beberapa
faktor yang me
mbuat masyarakat takut atau kurang mengetahui
informasi terkait Covid-19 atau rapid test ini.

“Misal saja, banyaknya
berita hoa
ks tentang virus yang dapat menular melalui
alat rapid test
atau kurangnya tingkat kepercayaan masyarakat
terhadap hasil tes yang menunjukkan reaktif,” ucapnya.

Bahkan, lanjut dia, bisa saja
masyarakat mengonsumsi teori konspirasi dan lain sebagainya. Hal ini yang
kemudian menyebabkan enggannya masyarakat
untuk ikut
pemeriksaan yang di
gagas pemerintah.

“Yang
perlu ditingkatkan lagi adalah sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat dengan
pendekatan yang berbeda
, sehingga pesan yang ingin disampaikan dapat
diterima dengan baik,” tegas dia.

PALANGKA RAYA-  Juru Bicara Tim Gugus Tugas Percepatan
Penanganan Covid-19 Palangka Raya Supriyanto
menyebut, ketakukan warga
untuk ikut rapid test dinilainya cukup
wajar.
Pola pikir masyarakat soal rapid
tes
t tentunya berbeda. Ada yang
menanggapi secara positif
, tapi tak sedikit pula yang menanggapinya
secara negatif.
Maka dari itu, tim akan
bekerja keras

untuk menghilangkan rasa takut
warga ini. Pihaknya semaksimal mungkin akan menjelaskan kepa da masyarakat soal kegunaan atau manfaat
mengikuti rapid tes
t.

Ia mengakui,
untuk mengubah atau menyamakan pola pikir
soal rapid test
bukanlah hal mudah. Butuh waktu
dan  kesabaran. Karena itu, tim gugus
tugas akan berupaya memberikan edukasi soal rapid test dan protokol kesehatan.
Pelaksanaan
rapid
tes
t massal di permukiman
ini
mungkin merupakan hal baru di mata
masyarakat
, sehingga menuai respons
berbeda.

Karena itu, strategi untuk
mengedukasi warga
yang takut dan menolak rapid test
sudah disiapkan tim. Ada kemungkinan akan dilakukan
dengan tatap muka dan tanya jawab.

Baca Juga :  Sidak Supermakert, Wabup Temukan Mamin Kedaluwarsa di Parcel

“Tadi saya sempat bertanya dan
berdiskusi ringan dengan teman saya
yang merupakan dokter dan
psikolog
, tentang bagaimana cara mengubah pola pikir
masyarakat
. Ia menjawab bahwa ini cukup berat
dan diperlukan waktu bertahap
. Meski demikian, kami akan
berusaha
mengubah
pandangan
warga bahwa rapid test
itu
tidak menakutkan,” ucapnya
kepada Kalteng Pos di ruang kerjanya
.

Sesuai Undang-Undang
RI Nomor 4
tahun 1984 tentang Wabah Penyakit
Menular dan Undang-Undang RI Nomor 6 Tahun 2018, pihaknya
bisa saja menerapkan sanksi tegas kepada masyarakat
yang menolak. Dalam undang-undang tersebut tertuang sanksi pidana
kurungan penjara paling lama satu tahun atau dikenakan denda paling tinggi
sebesar Rp100
juta. Hanya saja,
se
bagaiaman yang dikatakan Wakil Wali Kota Palangka Raya
Hj Umi Mastikah
, pemerintah akan meminimalkan dampak
kepada masyarakat. Maka dari itu
, penerapan
sanksi tegas
dianggap belum perlu karena masih bisa menempuh cara
humanis melalui edukasi.

Melihat adanya
penolakan warga, a
kademisi Fakultas Hukum Universitas Palangka Raya (UPR)
Fransisco berpendapat,
pemko perlu melakukan pendekatan
yang berbeda kepada masyarakat. Misal saja, pendekatan dengan melibatkan tokoh
masyarakat
, tokoh adat, atau tokoh
agama.

Baca Juga :  204 Pejabat Dilantik

“Dengan demikian, para tokoh ini dapat
memberikan pemahaman dan sosialisasi kepada
masyarakat, karena
masyarakat pada umumnya masih awam soal rapid test ini,”
ungkapnya
kepada Kalteng Pos melalui pesan
WhatsApp.

Ketidaktahuan masyarakat akan menimbulkan stigma negatif sehingga berujung pada ketakutan. Ada beberapa
faktor yang me
mbuat masyarakat takut atau kurang mengetahui
informasi terkait Covid-19 atau rapid test ini.

“Misal saja, banyaknya
berita hoa
ks tentang virus yang dapat menular melalui
alat rapid test
atau kurangnya tingkat kepercayaan masyarakat
terhadap hasil tes yang menunjukkan reaktif,” ucapnya.

Bahkan, lanjut dia, bisa saja
masyarakat mengonsumsi teori konspirasi dan lain sebagainya. Hal ini yang
kemudian menyebabkan enggannya masyarakat
untuk ikut
pemeriksaan yang di
gagas pemerintah.

“Yang
perlu ditingkatkan lagi adalah sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat dengan
pendekatan yang berbeda
, sehingga pesan yang ingin disampaikan dapat
diterima dengan baik,” tegas dia.

Terpopuler

Artikel Terbaru