28.8 C
Jakarta
Saturday, April 20, 2024

Mencari Alternatif Sumber Pertumbuhan Ekonomi

RILIS Badan Pusat Statistik (BPS) tentang ekonomi Indonesia kuartal II 2021 yang tumbuh 7,07 persen (YoY) melegakan. Ini setidaknya mengonfirmasi Indonesia sudah lepas dari resesi atau meninggalkan zona kontraksi. Semua komponen pembentuk produk domestik bruto (PDB) tumbuh positif dengan kontribusi lebih baik dibanding kuartal-kuartal sebelumnya.

Memang, perekonomian negara-negara lain juga tumbuh lebih baik dibanding kuartal sebelumnya. Hal ini dikenal dengan istilah low based effect. Secara tahunan (YoY), ekonomi Tiongkok tumbuh 7,9 persen; Amerika Serikat 12,2 persen; Singapura 14,3 persen; Korea Selatan 5,9 persen; Vietnam 6,6 persen; Hongkong 7,5 persen; dan Uni Eropa 13,2 persen.

Bagi negara-negara yang menjadi mitra dagang utama Indonesia, perbaikan ekonomi mereka berdampak positif karena bisa meningkatkan surplus neraca dagang Indonesia. Terbukti, sudah delapan bulan terakhir di masa pandemi Covid-19 Indonesia terus mengalami surplus.

Pada kuartal II 2021, komponen ekspor barang dan jasa tumbuh tertinggi, yakni 31,78 persen (YoY). Peningkatan itu seiring melonjaknya permintaan barang ekspor nonmigas (hasil pertanian dan pengolahan/manufaktur) dipicu membaiknya ekonomi negara-negara mitra dagang utama Indonesia.

Alhasil, komponen ekspor barang dan jasa menjadi sumber pertumbuhan PDB sebesar 5,81 persen (YoY) dengan kontribusi terhadap PDB setara 20,31 persen. Sementara komponen impor barang dan jasa tumbuh tinggi sebesar 31,22 persen (YoY) dan menjadi sumber pertumbuhan PDB sebesar 4,83 persen. Namun, karena komponen impor menjadi faktor pengurang pembentukan PDB, maka komponen impor barang dan jasa mengurangi PDB setara 19,00 persen.

Kenaikan impor ini tak perlu digaduhkan karena mayoritas komponen impor terdiri atas bahan baku/penolong dan barang modal. Komponen ini mengindikasikan kenaikan permintaan dari industri manufaktur. Kegiatan industri pengolahan bergerak ditopang pasokan bahan baku/penolong impor, juga barang modal impor berupa mesin-mesin. Konfirmasi ini terlihat dari posisi purchasing manager index (PMI) manufaktur pada kuartal II 2021 yang berada di atas 50, artinya berada di zona ekspansi.

Baca Juga :  Rasa Keadilan

Melanjutkan Fase Ekspansi

Komponen konsumsi pemerintah dan investasi (pembentukan modal tetap bruto/PMTB) yang juga tumbuh baik, masing-masing 8,06 persen (YoY) dan 7,54 persen (yoy), mampu menjadi sumber pertumbuhan PDB masing-masing 0,61 persen (YoY) dan 2,30 (YoY). Alhasil, masing-masing mampu berkontribusi terhadap pembentukan PDB sebesar 8,51 persen dan 29,86 persen.

Perlu dicermati, pertumbuhan pengeluaran konsumsi rumah tangga (KRT) sebesar 5,93 persen (YoY) berkontribusi terbesar pada pertumbuhan ekonomi sebesar 3,17 persen (YoY) dengan kontribusi 55,07 persen terhadap total PDB. Lantaran inilah pertumbuhan tahunan KRT harus diupayakan minimal 5 persen (YoY) karena kontribusi terbesarnya terhadap total PDB sehingga mampu menjaga kestabilan

Upaya menjaga daya beli masyarakat menjadi variabel vital untuk menjaga konsistensi pertumbuhan KRT sehingga kontribusinya terhadap total PDB tetap optimal. Mobilitas orang dengan disiplin protokol kesehatan (prokes) ketat menjadi faktor kunci mendongkrak KRT.

Upaya menimbang kebijakan sektoral terkait KRT menjadi penting dipertimbangkan. Contohnya, kebijakan stimulus di sektor properti dan kendaraan bermotor yang masuk kategori KRT memiliki multiplier effect tinggi berhasil mendorong KRT, tecermin dari lonjakan penjualan mobil dan sepeda motor yang signifikan.

 

Pertumbuhan yang Merata

Secara spasial, menarik mencermati angka pertumbuhan produk domestik regional bruto (PDRB) di setiap kawasan/provinsi yang belum merata. Memang perbaikan ekonomi mulai terjadi di semua kawasan/kepulauan, tetapi dengan level yang berbeda-beda.

Pada kuartal II 2021, perekonomian Pulau Maluku dan Papua tumbuh tertinggi 8,75 persen (YoY); diikuti Pulau Sulawesi 8,51 persen (YoY); Pulau Jawa 7,88 persen (YoY); Pulau Kalimantan 6,28 persen (YoY); Pulau Sumatera 5,27 persen (YoY); serta Pulau Bali dan Nusa Tenggara (Nusra) 3,70 persen (YoY).

Perlu juga dicermati struktur perekonomian Indonesia pada kuartal II 2021 yang tetap didominasi kelompok provinsi di Pulau Jawa dengan kontribusi terhadap PDB sebesar 57,92 persen; disusul Pulau Sumatera 21,73 persen; Pulau Kalimantan 8,21 persen; Pulau Sulawesi 6,88 persen; Pulau Bali dan Nusa Tenggara 2,85 persen; serta Pulau Maluku dan Papua 2,41 persen. Komposisi seperti ini nyaris tidak berubah dari waktu ke waktu!

Baca Juga :  Nobel Ekonomi dan Kenaikan Upah Minimum

Ke depan, perlu dilakukan pemerataan PDB secara regional/spasial, di mana untuk kawasan yang perekonomiannya tumbuh di bawah pertumbuhan nasional harus diberi perhatian khusus. Terutama kawasan Bali dan Nusra sebagai daerah dengan sumber pendapatan utama berasal dari sektor pariwisata.

Selain program vaksinasi massal di daerah-daerah tujuan wisata (DTW), kebijakan stimulus dan insentif tertentu bisa dipertimbangkan untuk diberikan, supaya sektor pariwisata (mencakup hotel, restoran, kafe, agen perjalanan, transportasi, komunikasi, dan hiburan) dapat segera bangkit. Sumber pertumbuhan ekonomi baru dari sektor pariwisata layak didorong mengingat Indonesia memiliki potensi besar di sektor ini.

Contoh lainnya di kawasan Sumatera. Sebagai daerah penghasil komoditas pertanian, Sumatera memerlukan dukungan pertumbuhan yang lebih baik melalui serapan pasar domestik dan ekspor. Hilirisasi produk pertanian berorientrasi ekspor untuk meningkatkan nilai tambah penting diprioritaskan sehingga proceed ekspor akan berlipat ganda dan bisa memperkuat cadangan devisa. Pembentukan klaster sektor pertanian dengan skim pembiayaan khusus dalam sebuah ekosistem juga patut dipertimbangkan.

Langkah inovatif mendorong perekonomian daerah yang dikreasikan di Pulau Sumatera bisa diadopsi untuk Pulau Kalimantan sebagai daerah penghasil pertambangan. Pembentukan klaster sektor pertambangan dalam sebuah ekosistem dengan konsep value chain patut dipertimbangkan. Skim pembiayaan dengan model supply chain financing juga bisa menjadi opsi pembiayaan yang tepat dan menguntungkan para pihak.

Secara teknis ekonomis, upaya mencari alternatif sumber pertumbuhan ekonomi baru dengan memprioritaskan sektor-sektor penyerap banyak tenaga kerja, berorientasi ekspor, inklusif, dan ramah lingkungan sejalan dengan arah kebijakan climate change dan sustainable development goals (SDGs) perlu dikerjakan segera. (*)

RYAN KIRYANTO, Ekonom

RILIS Badan Pusat Statistik (BPS) tentang ekonomi Indonesia kuartal II 2021 yang tumbuh 7,07 persen (YoY) melegakan. Ini setidaknya mengonfirmasi Indonesia sudah lepas dari resesi atau meninggalkan zona kontraksi. Semua komponen pembentuk produk domestik bruto (PDB) tumbuh positif dengan kontribusi lebih baik dibanding kuartal-kuartal sebelumnya.

Memang, perekonomian negara-negara lain juga tumbuh lebih baik dibanding kuartal sebelumnya. Hal ini dikenal dengan istilah low based effect. Secara tahunan (YoY), ekonomi Tiongkok tumbuh 7,9 persen; Amerika Serikat 12,2 persen; Singapura 14,3 persen; Korea Selatan 5,9 persen; Vietnam 6,6 persen; Hongkong 7,5 persen; dan Uni Eropa 13,2 persen.

Bagi negara-negara yang menjadi mitra dagang utama Indonesia, perbaikan ekonomi mereka berdampak positif karena bisa meningkatkan surplus neraca dagang Indonesia. Terbukti, sudah delapan bulan terakhir di masa pandemi Covid-19 Indonesia terus mengalami surplus.

Pada kuartal II 2021, komponen ekspor barang dan jasa tumbuh tertinggi, yakni 31,78 persen (YoY). Peningkatan itu seiring melonjaknya permintaan barang ekspor nonmigas (hasil pertanian dan pengolahan/manufaktur) dipicu membaiknya ekonomi negara-negara mitra dagang utama Indonesia.

Alhasil, komponen ekspor barang dan jasa menjadi sumber pertumbuhan PDB sebesar 5,81 persen (YoY) dengan kontribusi terhadap PDB setara 20,31 persen. Sementara komponen impor barang dan jasa tumbuh tinggi sebesar 31,22 persen (YoY) dan menjadi sumber pertumbuhan PDB sebesar 4,83 persen. Namun, karena komponen impor menjadi faktor pengurang pembentukan PDB, maka komponen impor barang dan jasa mengurangi PDB setara 19,00 persen.

Kenaikan impor ini tak perlu digaduhkan karena mayoritas komponen impor terdiri atas bahan baku/penolong dan barang modal. Komponen ini mengindikasikan kenaikan permintaan dari industri manufaktur. Kegiatan industri pengolahan bergerak ditopang pasokan bahan baku/penolong impor, juga barang modal impor berupa mesin-mesin. Konfirmasi ini terlihat dari posisi purchasing manager index (PMI) manufaktur pada kuartal II 2021 yang berada di atas 50, artinya berada di zona ekspansi.

Baca Juga :  Rasa Keadilan

Melanjutkan Fase Ekspansi

Komponen konsumsi pemerintah dan investasi (pembentukan modal tetap bruto/PMTB) yang juga tumbuh baik, masing-masing 8,06 persen (YoY) dan 7,54 persen (yoy), mampu menjadi sumber pertumbuhan PDB masing-masing 0,61 persen (YoY) dan 2,30 (YoY). Alhasil, masing-masing mampu berkontribusi terhadap pembentukan PDB sebesar 8,51 persen dan 29,86 persen.

Perlu dicermati, pertumbuhan pengeluaran konsumsi rumah tangga (KRT) sebesar 5,93 persen (YoY) berkontribusi terbesar pada pertumbuhan ekonomi sebesar 3,17 persen (YoY) dengan kontribusi 55,07 persen terhadap total PDB. Lantaran inilah pertumbuhan tahunan KRT harus diupayakan minimal 5 persen (YoY) karena kontribusi terbesarnya terhadap total PDB sehingga mampu menjaga kestabilan

Upaya menjaga daya beli masyarakat menjadi variabel vital untuk menjaga konsistensi pertumbuhan KRT sehingga kontribusinya terhadap total PDB tetap optimal. Mobilitas orang dengan disiplin protokol kesehatan (prokes) ketat menjadi faktor kunci mendongkrak KRT.

Upaya menimbang kebijakan sektoral terkait KRT menjadi penting dipertimbangkan. Contohnya, kebijakan stimulus di sektor properti dan kendaraan bermotor yang masuk kategori KRT memiliki multiplier effect tinggi berhasil mendorong KRT, tecermin dari lonjakan penjualan mobil dan sepeda motor yang signifikan.

 

Pertumbuhan yang Merata

Secara spasial, menarik mencermati angka pertumbuhan produk domestik regional bruto (PDRB) di setiap kawasan/provinsi yang belum merata. Memang perbaikan ekonomi mulai terjadi di semua kawasan/kepulauan, tetapi dengan level yang berbeda-beda.

Pada kuartal II 2021, perekonomian Pulau Maluku dan Papua tumbuh tertinggi 8,75 persen (YoY); diikuti Pulau Sulawesi 8,51 persen (YoY); Pulau Jawa 7,88 persen (YoY); Pulau Kalimantan 6,28 persen (YoY); Pulau Sumatera 5,27 persen (YoY); serta Pulau Bali dan Nusa Tenggara (Nusra) 3,70 persen (YoY).

Perlu juga dicermati struktur perekonomian Indonesia pada kuartal II 2021 yang tetap didominasi kelompok provinsi di Pulau Jawa dengan kontribusi terhadap PDB sebesar 57,92 persen; disusul Pulau Sumatera 21,73 persen; Pulau Kalimantan 8,21 persen; Pulau Sulawesi 6,88 persen; Pulau Bali dan Nusa Tenggara 2,85 persen; serta Pulau Maluku dan Papua 2,41 persen. Komposisi seperti ini nyaris tidak berubah dari waktu ke waktu!

Baca Juga :  Nobel Ekonomi dan Kenaikan Upah Minimum

Ke depan, perlu dilakukan pemerataan PDB secara regional/spasial, di mana untuk kawasan yang perekonomiannya tumbuh di bawah pertumbuhan nasional harus diberi perhatian khusus. Terutama kawasan Bali dan Nusra sebagai daerah dengan sumber pendapatan utama berasal dari sektor pariwisata.

Selain program vaksinasi massal di daerah-daerah tujuan wisata (DTW), kebijakan stimulus dan insentif tertentu bisa dipertimbangkan untuk diberikan, supaya sektor pariwisata (mencakup hotel, restoran, kafe, agen perjalanan, transportasi, komunikasi, dan hiburan) dapat segera bangkit. Sumber pertumbuhan ekonomi baru dari sektor pariwisata layak didorong mengingat Indonesia memiliki potensi besar di sektor ini.

Contoh lainnya di kawasan Sumatera. Sebagai daerah penghasil komoditas pertanian, Sumatera memerlukan dukungan pertumbuhan yang lebih baik melalui serapan pasar domestik dan ekspor. Hilirisasi produk pertanian berorientrasi ekspor untuk meningkatkan nilai tambah penting diprioritaskan sehingga proceed ekspor akan berlipat ganda dan bisa memperkuat cadangan devisa. Pembentukan klaster sektor pertanian dengan skim pembiayaan khusus dalam sebuah ekosistem juga patut dipertimbangkan.

Langkah inovatif mendorong perekonomian daerah yang dikreasikan di Pulau Sumatera bisa diadopsi untuk Pulau Kalimantan sebagai daerah penghasil pertambangan. Pembentukan klaster sektor pertambangan dalam sebuah ekosistem dengan konsep value chain patut dipertimbangkan. Skim pembiayaan dengan model supply chain financing juga bisa menjadi opsi pembiayaan yang tepat dan menguntungkan para pihak.

Secara teknis ekonomis, upaya mencari alternatif sumber pertumbuhan ekonomi baru dengan memprioritaskan sektor-sektor penyerap banyak tenaga kerja, berorientasi ekspor, inklusif, dan ramah lingkungan sejalan dengan arah kebijakan climate change dan sustainable development goals (SDGs) perlu dikerjakan segera. (*)

RYAN KIRYANTO, Ekonom

Terpopuler

Artikel Terbaru