32.6 C
Jakarta
Thursday, April 25, 2024

Menjegal Pemudik Nakal

PEMERINTAH telah final memutuskan tahun ini
melarang mudik Lebaran. Surat Edaran (SE) Satgas Covid-19 Nomor 13 Tahun 2021
meniadakan mudik Hari Raya Idul Fitri dan upaya pengendalian persebaran
Covid-19 selama bulan suci Ramadan 1442 H. Walaupun mobilitas mudik 6 hingga 17
Mei 2021 dilarang, banyak pemudik nakal yang curi start pulang sebelum awal
pelarangan mudik dimulai.

Tak mudah menjegal para pemudik nakal. Aturan
memang telah dibuat superketat. Namun, seperti halnya aturan-aturan sebelumnya,
selalu muncul upaya masyarakat menyiasati aturan. Misalnya, saat ini telah
terjadi arus mudik di sejumlah stasiun, terminal bus, dan bandara. Secara
regulasi memang tak diharamkan mudik sebelum tanggal dimulainya pelarangan.
Namun, esensi dari pelarangan mudik untuk mencegah transmisi virus dari kota
besar ke daerah menjadi tak terhadang.

Pelarangan mudik dalam rentang waktu 12 hari
sepertinya hanya akan efektif untuk pegawai negeri sipil (PNS). Apalagi, cuti
bersama Lebaran dipangkas menjadi sehari saja. Di sejumlah daerah, mekanisme
pemantauan para PNS sangat ketat. Mereka diwajibkan melaporkan keberadaan
terkini (share location). Sanksi berat atas pelanggaran aturan pelarangan mudik
juga tak main-main.

Bagi mereka yang non-PNS, pegawai swasta, dan
pekerja sektor nonformal lainnya, mudik sangat mungkin dilakukan. Apalagi,
pelarangan mudik Lebaran kali ini merupakan pelarangan kali kedua. Kalau tahun
lalu sudah tak mudik, tahun ini sepertinya sulit ditahan. Mudik Lebaran sudah
menjadi tradisi yang punya dimensi sosial, kultural, dan spiritual bagi
masyarakat Indonesia.

Dalam upaya menghadang mudik, pemerintah
tampaknya mengedepankan pesan yang sifatnya paksaan (koersif). Pilihan kata
yang digunakan adalah pelarangan. Pesan lain yang ditonjolkan adalah sanksi
berat atas pelanggaran. Tak banyak yang berwujud pesan-pesan edukasi dan
penyadaran tentang potensi melonjaknya persebaran virus. Padahal, pesan koersif
hanya akan menjadikan masyarakat bersikap tak simpatik.

Baca Juga :  Bandara: Konektivitas Memperkuat Bangsa

Beragam pesan komunikasi yang dikeluarkan
sejumlah pejabat publik di daerah juga dapat memperburuk keadaan. Penerapan
aturan yang terkesan tak konsisten, seperti diperbolehkannya tempat wisata
tetap beroperasi sementara mudik dilarang, juga bisa memengaruhi kredibilitas
pemerintah di mata masyarakat. Lemahnya wibawa pemerintah bisa berujung pada
sikap pembangkangan masyarakat dan tak menggubris sejumlah aturan yang
dikeluarkan pemerintah.

Saat ini memang ada yang berpikir bahwa
pandemi Covid-19 sudah dapat dikendalikan. Disiplin penerapan protokol
kesehatan juga terlihat mulai kendur. Bahkan, di sejumlah daerah, banyak orang
yang sudah tak percaya bahwa Covid-19 masih ada. Situasi inilah yang menjadikan
tak sedikit masyarakat yang lengah dan abai pada disiplin menjalankan protokol
kesehatan.

Vaksinasi yang sedang berjalan juga menjadi
faktor yang dapat memicu kendurnya penegakan disiplin. Sejumlah orang yang
telah divaksin merasa lebih pede dan cenderung bebas beraktivitas di luar
rumah. Efek vaksinasi telah menimbulkan euforia di kalangan masyarakat. Tak sedikit
masyarakat yang menganggap vaksinasi menjadi garansi orang tak akan tersentuh
virus lagi.

Melihat kenyataan ini, semestinya pesan-pesan
komunikasi tentang pandemi yang belum berakhir harus terus dimasifkan.
Munculnya tiga varian virus baru, yakni B117, D164G, dan N439K, juga belum
banyak diketahui masyarakat. Ancaman munculnya gelombang ketiga (third wave)
Covid-19 perlu dinarasikan terus-menerus. Semua kanal dan media komunikasi
perlu digunakan untuk menggemakan pesan agar masyarakat tetap waspada. Jangan
sampai ada yang lengah hingga angka Covid-19 melonjak. Kita semua tentu tak mau
kerja keras penanganan pandemi selama ini sia-sia.

Pemerintah harus belajar dari kasus India dan
Eropa yang telah mengalami lonjakan kasus positif dari klaster perayaan hari
besar keagamaan dan liburan. India yang awalnya dipuji banyak negara karena
berhasil dengan drastis menurunkan angka kasus kini justru mengalami tsunami
Covid-19. Pengalaman buruk lonjakan kasus positif Indonesia pada libur Idul
Fitri 2020, libur panjang 20–23 Agustus 2020, libur 28 Oktober–1 November 2020,
serta libur Natal dan tahun baru 24 Desember 2020–3 Januari 2021 jangan sampai
terulang.

Baca Juga :  Sistem dan Upaya Memperkuat Ketahanan Pangan

Pekan lalu Presiden Joko Widodo, melalui
kanal YouTube Sekretariat Presiden, telah menyampaikan pelarangan mudik.
Pemerintah juga berencana menutup jalan-jalan perbatasan antarkota
antarprovinsi. Petugas Polri mulai memelototi arus kendaraan pemudik di
sejumlah kota. Di pintu-pintu tol, bandara, stasiun, dan terminal bus
disiagakan sejumlah petugas pemantau. Jalan-jalan tikus juga dipastikan dijaga
ketat. Di sejumlah titik sudah dipersiapkan skema penyekatan dan skrining
pemudik.

Masalahnya, banyak pemudik nakal yang saat
ini sudah berada di kampung halaman masing-masing. Mereka sudah bertemu sanak
saudara, handai tolan, dan keluarga besarnya. Para pemudik yang on the way
(OTW) saat ini juga terus bertambah. Bisa jadi saat pelarangan mudik nanti
diberlakukan, banyak pemudik yang sudah benar-benar sampai di kampung halaman
masing-masing.

Membuat regulasi mudik memang urusan yang
rumit. Antara pemerintah dan masyarakat perlu satu frekuensi. Kalau pemerintah
menganggap situasi saat ini belum aman, sementara masyarakat justru memahami
sebaliknya, regulasi pelarangan mudik pasti bertepuk sebelah tangan. Tak
tertutup kemungkinan justru banyak orang nekat dengan tetap mudik walaupun
dilarang.

Salah satu upaya yang perlu dilakukan untuk
menjegal para pemudik nakal adalah pengaturan yang keras terhadap para pemudik
yang balik ke kota setelah 17 Mei. Tak ada alasan. Para pemudik yang telah
balik dari daerah harus dikarantina ketat dengan sanksi yang tegas bila ada
yang melanggar. Cara ini juga perlu untuk membuat para pemudik yang coba-coba
curi start agar mengurungkan niat. (*)



Sugeng Winarno, Dosen Ilmu Komunikasi FISIP
Universitas Muhammadiyah Malang (UMM)

PEMERINTAH telah final memutuskan tahun ini
melarang mudik Lebaran. Surat Edaran (SE) Satgas Covid-19 Nomor 13 Tahun 2021
meniadakan mudik Hari Raya Idul Fitri dan upaya pengendalian persebaran
Covid-19 selama bulan suci Ramadan 1442 H. Walaupun mobilitas mudik 6 hingga 17
Mei 2021 dilarang, banyak pemudik nakal yang curi start pulang sebelum awal
pelarangan mudik dimulai.

Tak mudah menjegal para pemudik nakal. Aturan
memang telah dibuat superketat. Namun, seperti halnya aturan-aturan sebelumnya,
selalu muncul upaya masyarakat menyiasati aturan. Misalnya, saat ini telah
terjadi arus mudik di sejumlah stasiun, terminal bus, dan bandara. Secara
regulasi memang tak diharamkan mudik sebelum tanggal dimulainya pelarangan.
Namun, esensi dari pelarangan mudik untuk mencegah transmisi virus dari kota
besar ke daerah menjadi tak terhadang.

Pelarangan mudik dalam rentang waktu 12 hari
sepertinya hanya akan efektif untuk pegawai negeri sipil (PNS). Apalagi, cuti
bersama Lebaran dipangkas menjadi sehari saja. Di sejumlah daerah, mekanisme
pemantauan para PNS sangat ketat. Mereka diwajibkan melaporkan keberadaan
terkini (share location). Sanksi berat atas pelanggaran aturan pelarangan mudik
juga tak main-main.

Bagi mereka yang non-PNS, pegawai swasta, dan
pekerja sektor nonformal lainnya, mudik sangat mungkin dilakukan. Apalagi,
pelarangan mudik Lebaran kali ini merupakan pelarangan kali kedua. Kalau tahun
lalu sudah tak mudik, tahun ini sepertinya sulit ditahan. Mudik Lebaran sudah
menjadi tradisi yang punya dimensi sosial, kultural, dan spiritual bagi
masyarakat Indonesia.

Dalam upaya menghadang mudik, pemerintah
tampaknya mengedepankan pesan yang sifatnya paksaan (koersif). Pilihan kata
yang digunakan adalah pelarangan. Pesan lain yang ditonjolkan adalah sanksi
berat atas pelanggaran. Tak banyak yang berwujud pesan-pesan edukasi dan
penyadaran tentang potensi melonjaknya persebaran virus. Padahal, pesan koersif
hanya akan menjadikan masyarakat bersikap tak simpatik.

Baca Juga :  Bandara: Konektivitas Memperkuat Bangsa

Beragam pesan komunikasi yang dikeluarkan
sejumlah pejabat publik di daerah juga dapat memperburuk keadaan. Penerapan
aturan yang terkesan tak konsisten, seperti diperbolehkannya tempat wisata
tetap beroperasi sementara mudik dilarang, juga bisa memengaruhi kredibilitas
pemerintah di mata masyarakat. Lemahnya wibawa pemerintah bisa berujung pada
sikap pembangkangan masyarakat dan tak menggubris sejumlah aturan yang
dikeluarkan pemerintah.

Saat ini memang ada yang berpikir bahwa
pandemi Covid-19 sudah dapat dikendalikan. Disiplin penerapan protokol
kesehatan juga terlihat mulai kendur. Bahkan, di sejumlah daerah, banyak orang
yang sudah tak percaya bahwa Covid-19 masih ada. Situasi inilah yang menjadikan
tak sedikit masyarakat yang lengah dan abai pada disiplin menjalankan protokol
kesehatan.

Vaksinasi yang sedang berjalan juga menjadi
faktor yang dapat memicu kendurnya penegakan disiplin. Sejumlah orang yang
telah divaksin merasa lebih pede dan cenderung bebas beraktivitas di luar
rumah. Efek vaksinasi telah menimbulkan euforia di kalangan masyarakat. Tak sedikit
masyarakat yang menganggap vaksinasi menjadi garansi orang tak akan tersentuh
virus lagi.

Melihat kenyataan ini, semestinya pesan-pesan
komunikasi tentang pandemi yang belum berakhir harus terus dimasifkan.
Munculnya tiga varian virus baru, yakni B117, D164G, dan N439K, juga belum
banyak diketahui masyarakat. Ancaman munculnya gelombang ketiga (third wave)
Covid-19 perlu dinarasikan terus-menerus. Semua kanal dan media komunikasi
perlu digunakan untuk menggemakan pesan agar masyarakat tetap waspada. Jangan
sampai ada yang lengah hingga angka Covid-19 melonjak. Kita semua tentu tak mau
kerja keras penanganan pandemi selama ini sia-sia.

Pemerintah harus belajar dari kasus India dan
Eropa yang telah mengalami lonjakan kasus positif dari klaster perayaan hari
besar keagamaan dan liburan. India yang awalnya dipuji banyak negara karena
berhasil dengan drastis menurunkan angka kasus kini justru mengalami tsunami
Covid-19. Pengalaman buruk lonjakan kasus positif Indonesia pada libur Idul
Fitri 2020, libur panjang 20–23 Agustus 2020, libur 28 Oktober–1 November 2020,
serta libur Natal dan tahun baru 24 Desember 2020–3 Januari 2021 jangan sampai
terulang.

Baca Juga :  Sistem dan Upaya Memperkuat Ketahanan Pangan

Pekan lalu Presiden Joko Widodo, melalui
kanal YouTube Sekretariat Presiden, telah menyampaikan pelarangan mudik.
Pemerintah juga berencana menutup jalan-jalan perbatasan antarkota
antarprovinsi. Petugas Polri mulai memelototi arus kendaraan pemudik di
sejumlah kota. Di pintu-pintu tol, bandara, stasiun, dan terminal bus
disiagakan sejumlah petugas pemantau. Jalan-jalan tikus juga dipastikan dijaga
ketat. Di sejumlah titik sudah dipersiapkan skema penyekatan dan skrining
pemudik.

Masalahnya, banyak pemudik nakal yang saat
ini sudah berada di kampung halaman masing-masing. Mereka sudah bertemu sanak
saudara, handai tolan, dan keluarga besarnya. Para pemudik yang on the way
(OTW) saat ini juga terus bertambah. Bisa jadi saat pelarangan mudik nanti
diberlakukan, banyak pemudik yang sudah benar-benar sampai di kampung halaman
masing-masing.

Membuat regulasi mudik memang urusan yang
rumit. Antara pemerintah dan masyarakat perlu satu frekuensi. Kalau pemerintah
menganggap situasi saat ini belum aman, sementara masyarakat justru memahami
sebaliknya, regulasi pelarangan mudik pasti bertepuk sebelah tangan. Tak
tertutup kemungkinan justru banyak orang nekat dengan tetap mudik walaupun
dilarang.

Salah satu upaya yang perlu dilakukan untuk
menjegal para pemudik nakal adalah pengaturan yang keras terhadap para pemudik
yang balik ke kota setelah 17 Mei. Tak ada alasan. Para pemudik yang telah
balik dari daerah harus dikarantina ketat dengan sanksi yang tegas bila ada
yang melanggar. Cara ini juga perlu untuk membuat para pemudik yang coba-coba
curi start agar mengurungkan niat. (*)



Sugeng Winarno, Dosen Ilmu Komunikasi FISIP
Universitas Muhammadiyah Malang (UMM)

Terpopuler

Artikel Terbaru