26.7 C
Jakarta
Saturday, April 20, 2024

Public Distrust Menggerogoti Institusi Hukum

PEKAN lalu publik dihebohkan peristiwa wafatnya wakil bupati (Wabup) Sangihe. Kehebohan terjadi karena sebelumnya Wabup tersebut sempat mengirimkan surat penolakan izin pertambangan emas di Sangihe kepada Kementerian ESDM. Publik merespons di media sosial bahwa kematian sang Wabup merupakan peristiwa ganjil. Banyak yang berspekulasi bahwa peristiwa kematian ini merupakan tragedi Munir jilid II.

Kepolisian telah melakukan otopsi. Hasilnya, tidak ditemukan racun di dalam tubuh jenazah. Kematian itu terjadi akibat penyakit komplikasi. Namun, respons netizen-netizen di media sosial banyak yang meragukan hasil tersebut. Hasil otopsi dianggap sebagai rekayasa untuk menutupi kedok misteri kematian Wabup yang dianggap memiliki korelasi dengan penolakan izin pertambangan di Sangihe.

Peristiwa di atas dapat dipahami bahwa telah terjadi public distrust terhadap institusi penegak hukum. Apabila melihat survei yang dirilis Indikator tentang kepuasan kinerja institusi negara, institusi penegak hukum ternyata memiliki nilai yang minim. KPK menduduki peringkat ketiga dengan nilai 74 persen, Polri menduduki peringkat keempat dengan nilai 71 persen, kemudian disusul kejaksaan yang menduduki peringkat kelima dengan nilai 66 persen.

Fenomena public distrust kepada penegak hukum jelas bukan terjadi kali ini saja. Contohnya, kasus penyiraman air keras terhadap penyidik KPK Novel Baswedan yang penanganannya dianggap kurang serius. Kemudian, tragedi penembakan anggota FPI. Perkara ini sampai diperiksa Komnas HAM dan menghasilkan kesimpulan unlawfull killing yang membuat dua oknum polisi menjadi tersangka. Namun, penindakannya juga dianggap kurang serius karena keterbukaan dan transparansi perkara sangat minim.

Belum lagi apabila membahas kontroversi alih pegawai KPK menjadi ASN. Ataupun kasus korupsi raksasa lain seperti Jiwasraya, ASABRI, bansos, dan benur yang saat ini belum mendapatkan titik temu. Krisis kepercayaan akhirnya menimpa penegak hukum dan bahkan muncul isu diskriminasi penegakan hukum seperti tajam ke atas tumpul ke bawah, atau mungkin tajam ke koalisi tumpul ke oposisi.

Baca Juga :  Memo Meja

 

Reformasi Institusi

Krisis kepercayaan kepada penegak hukum mengakibatkan perlu segera ada reformasi institusi. Apabila dibiarkan, atau setidaknya ketidakseriusan masih menjadi budaya penegak hukum, hukum tak dapat lagi digunakan masyarakat sebagai instrumen interaksi sosial. Sedikit demi sedikit masyarakat akan abai terhadap aturan yang dibuat. Sebagaimana kata Von Feuerbach berdasar ajaran psikologinya, ”agar rakyat menurut hukum, setiap pelanggar harus sungguh-sungguh ditindak”. Ini mengajarkan bahwa cerminan kepatuhan hukum dari masyarakat bergantung kinerja penegak hukum di lapangan.

Van Bemmelen mengatakan bahwa penegak hukum adalah roh dari kewibawaan negara. Artinya, kualitas kewibawaan negara ditentukan kualitas penegakan hukumnya. Apabila rakyat tidak percaya kepada penegak hukum, kewibawaan negara bisa terkupas. Ketidakpercayaan yang sudah tertanam di benak rakyat mengakibatkan munculnya sikap tak acuh terhadap perintah dari negara.

Tak acuhnya rakyat terhadap hukum menjadi dilematis bagi penegak hukum. Di satu sisi, penegak hukum memiliki peran untuk menegakkan UU. Namun, di sisi lain, penegakan hukum menjadi canggung karena harus berhadapan dengan rakyat yang sudah tidak peduli dengan hukum.

Fenomena ini sesuai dengan pandangan J.J. Von Schmid mengenai dinamika kesadaran hukum masyarakat di era modern. Kesadaran hukum bukan hanya soal budaya kepatuhan hukum. Saat ini masyarakat sudah cerdas menilai hukum, baik itu norma hukum maupun penegak hukum yang menjadi kesatuan. Apabila terjadi krisis kepercayaan, sulit menyalahkan masyarakat karena citra penegak hukum telah dinilai dengan buruk.

Distrust terhadap penegak hukum merupakan hal yang sangat serius karena dapat mengancam keutuhan negara. Mahfud MD menjelaskan bahwa negara dapat bubar kapan saja karena fenomena disorientasi penegakan hukum yang mengakibatkan munculnya distrust dari masyarakat melalui pembangkangan. Apabila itu terjadi terus-menerus, akan terjadi disintegrasi bangsa yang bisa membubarkan suatu negara. Kata Gelgel, penyebab disorientasi muncul akibat masyarakat menilai penegakan hukum terjadi karena ada unsur diskriminasi, inkonsistensi, dan mengedepankan kelompok tertentu.

Baca Juga :  Renungan Idul Adha 1442 Hijriah: Hari Penyembelihan Ego Diri

Citra baik perlu dibangun penegak hukum kepada masyarakat. Caranya, segera mereformasi sistem penegakan hukum yang berintegritas. Menurut Lawrence M. Friedman, membangun sistem dalam hukum harus memperhatikan struktur, substansi, dan budaya. Struktur (penegak hukum) dan substansi (hukum) sudah tersedia. Namun, yang menjadi permasalahan adalah bagaimana membangun budaya penegakan hukum yang berintegritas.

Budaya hukum berintegritas penting dalam membangun SDM penegak hukum dengan kinerja terbaik. Seperti kata Traverne, ”berikan kepada saya hakim-hakim yang baik, hakim-hakim komisaris yang baik, jaksa-jaksa yang baik, dan petugas-petugas polisi yang baik, dan walaupun saya dibekali dengan kitab undang-undang pidana yang buruk, (namun) saya akan dapat melaksanakan tugas dengan baik.”

Pemahaman nilai-nilai kepastian, keadilan, dan kebermanfaatan hukum dari Gustav Radbruch menjadi hal yang penting dalam membangun SDM penegak hukum berbudaya integritas. Nilai-nilai integritas yang tertanam akan membentuk penegak hukum yang bersih, berwibawa, jujur, bermoral, tidak korupsi, dan dapat dipercaya menegakkan hukum tanpa harus terganggu oleh berbagai kepentingan tertentu, kecuali kepentingan terhadap kebenaran dan keadilan sehingga hukum dalam penegakannya mendatangkan kemanfaatan bagi masyarakat luas.

Akhirnya, institusi penegak hukum memiliki PR besar untuk segera bisa mereformasi SDM yang berintegritas. Interaksi kepada masyarakat juga harus sering dilakukan dalam rangka membangun rasa simpati secara luas. Rasa kepercayaan bisa diraih kembali oleh penegak hukum atas integritas yang dimiliki. Mindset tentang penegakan hukum yang tebang pilih, diskriminatif, tumpul ke atas tajam ke bawah, maupun tajam ke oposisi tumpul ke koalisi perlahan-lahan akan musnah di masyarakat. Dan respons ketidakpercayaan masyarakat saat pengusutan kematian Wabup Sangihe tidak terjadi kembali di perkara yang akan datang. (*)

 

*) Aditya Prastian Supriyadi, Dosen Hukum Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

PEKAN lalu publik dihebohkan peristiwa wafatnya wakil bupati (Wabup) Sangihe. Kehebohan terjadi karena sebelumnya Wabup tersebut sempat mengirimkan surat penolakan izin pertambangan emas di Sangihe kepada Kementerian ESDM. Publik merespons di media sosial bahwa kematian sang Wabup merupakan peristiwa ganjil. Banyak yang berspekulasi bahwa peristiwa kematian ini merupakan tragedi Munir jilid II.

Kepolisian telah melakukan otopsi. Hasilnya, tidak ditemukan racun di dalam tubuh jenazah. Kematian itu terjadi akibat penyakit komplikasi. Namun, respons netizen-netizen di media sosial banyak yang meragukan hasil tersebut. Hasil otopsi dianggap sebagai rekayasa untuk menutupi kedok misteri kematian Wabup yang dianggap memiliki korelasi dengan penolakan izin pertambangan di Sangihe.

Peristiwa di atas dapat dipahami bahwa telah terjadi public distrust terhadap institusi penegak hukum. Apabila melihat survei yang dirilis Indikator tentang kepuasan kinerja institusi negara, institusi penegak hukum ternyata memiliki nilai yang minim. KPK menduduki peringkat ketiga dengan nilai 74 persen, Polri menduduki peringkat keempat dengan nilai 71 persen, kemudian disusul kejaksaan yang menduduki peringkat kelima dengan nilai 66 persen.

Fenomena public distrust kepada penegak hukum jelas bukan terjadi kali ini saja. Contohnya, kasus penyiraman air keras terhadap penyidik KPK Novel Baswedan yang penanganannya dianggap kurang serius. Kemudian, tragedi penembakan anggota FPI. Perkara ini sampai diperiksa Komnas HAM dan menghasilkan kesimpulan unlawfull killing yang membuat dua oknum polisi menjadi tersangka. Namun, penindakannya juga dianggap kurang serius karena keterbukaan dan transparansi perkara sangat minim.

Belum lagi apabila membahas kontroversi alih pegawai KPK menjadi ASN. Ataupun kasus korupsi raksasa lain seperti Jiwasraya, ASABRI, bansos, dan benur yang saat ini belum mendapatkan titik temu. Krisis kepercayaan akhirnya menimpa penegak hukum dan bahkan muncul isu diskriminasi penegakan hukum seperti tajam ke atas tumpul ke bawah, atau mungkin tajam ke koalisi tumpul ke oposisi.

Baca Juga :  Memo Meja

 

Reformasi Institusi

Krisis kepercayaan kepada penegak hukum mengakibatkan perlu segera ada reformasi institusi. Apabila dibiarkan, atau setidaknya ketidakseriusan masih menjadi budaya penegak hukum, hukum tak dapat lagi digunakan masyarakat sebagai instrumen interaksi sosial. Sedikit demi sedikit masyarakat akan abai terhadap aturan yang dibuat. Sebagaimana kata Von Feuerbach berdasar ajaran psikologinya, ”agar rakyat menurut hukum, setiap pelanggar harus sungguh-sungguh ditindak”. Ini mengajarkan bahwa cerminan kepatuhan hukum dari masyarakat bergantung kinerja penegak hukum di lapangan.

Van Bemmelen mengatakan bahwa penegak hukum adalah roh dari kewibawaan negara. Artinya, kualitas kewibawaan negara ditentukan kualitas penegakan hukumnya. Apabila rakyat tidak percaya kepada penegak hukum, kewibawaan negara bisa terkupas. Ketidakpercayaan yang sudah tertanam di benak rakyat mengakibatkan munculnya sikap tak acuh terhadap perintah dari negara.

Tak acuhnya rakyat terhadap hukum menjadi dilematis bagi penegak hukum. Di satu sisi, penegak hukum memiliki peran untuk menegakkan UU. Namun, di sisi lain, penegakan hukum menjadi canggung karena harus berhadapan dengan rakyat yang sudah tidak peduli dengan hukum.

Fenomena ini sesuai dengan pandangan J.J. Von Schmid mengenai dinamika kesadaran hukum masyarakat di era modern. Kesadaran hukum bukan hanya soal budaya kepatuhan hukum. Saat ini masyarakat sudah cerdas menilai hukum, baik itu norma hukum maupun penegak hukum yang menjadi kesatuan. Apabila terjadi krisis kepercayaan, sulit menyalahkan masyarakat karena citra penegak hukum telah dinilai dengan buruk.

Distrust terhadap penegak hukum merupakan hal yang sangat serius karena dapat mengancam keutuhan negara. Mahfud MD menjelaskan bahwa negara dapat bubar kapan saja karena fenomena disorientasi penegakan hukum yang mengakibatkan munculnya distrust dari masyarakat melalui pembangkangan. Apabila itu terjadi terus-menerus, akan terjadi disintegrasi bangsa yang bisa membubarkan suatu negara. Kata Gelgel, penyebab disorientasi muncul akibat masyarakat menilai penegakan hukum terjadi karena ada unsur diskriminasi, inkonsistensi, dan mengedepankan kelompok tertentu.

Baca Juga :  Renungan Idul Adha 1442 Hijriah: Hari Penyembelihan Ego Diri

Citra baik perlu dibangun penegak hukum kepada masyarakat. Caranya, segera mereformasi sistem penegakan hukum yang berintegritas. Menurut Lawrence M. Friedman, membangun sistem dalam hukum harus memperhatikan struktur, substansi, dan budaya. Struktur (penegak hukum) dan substansi (hukum) sudah tersedia. Namun, yang menjadi permasalahan adalah bagaimana membangun budaya penegakan hukum yang berintegritas.

Budaya hukum berintegritas penting dalam membangun SDM penegak hukum dengan kinerja terbaik. Seperti kata Traverne, ”berikan kepada saya hakim-hakim yang baik, hakim-hakim komisaris yang baik, jaksa-jaksa yang baik, dan petugas-petugas polisi yang baik, dan walaupun saya dibekali dengan kitab undang-undang pidana yang buruk, (namun) saya akan dapat melaksanakan tugas dengan baik.”

Pemahaman nilai-nilai kepastian, keadilan, dan kebermanfaatan hukum dari Gustav Radbruch menjadi hal yang penting dalam membangun SDM penegak hukum berbudaya integritas. Nilai-nilai integritas yang tertanam akan membentuk penegak hukum yang bersih, berwibawa, jujur, bermoral, tidak korupsi, dan dapat dipercaya menegakkan hukum tanpa harus terganggu oleh berbagai kepentingan tertentu, kecuali kepentingan terhadap kebenaran dan keadilan sehingga hukum dalam penegakannya mendatangkan kemanfaatan bagi masyarakat luas.

Akhirnya, institusi penegak hukum memiliki PR besar untuk segera bisa mereformasi SDM yang berintegritas. Interaksi kepada masyarakat juga harus sering dilakukan dalam rangka membangun rasa simpati secara luas. Rasa kepercayaan bisa diraih kembali oleh penegak hukum atas integritas yang dimiliki. Mindset tentang penegakan hukum yang tebang pilih, diskriminatif, tumpul ke atas tajam ke bawah, maupun tajam ke oposisi tumpul ke koalisi perlahan-lahan akan musnah di masyarakat. Dan respons ketidakpercayaan masyarakat saat pengusutan kematian Wabup Sangihe tidak terjadi kembali di perkara yang akan datang. (*)

 

*) Aditya Prastian Supriyadi, Dosen Hukum Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

Terpopuler

Artikel Terbaru