26.1 C
Jakarta
Friday, April 26, 2024

Tersandera Sistem yang Korup

PROKALTENG.CO – Di pengujung Februari 2021, kita dikejutkan oleh
berita operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap
Gubernur Sulawesi Selatan Nurdin Abdullah (26/2/2021) di rumah jabatannya. Ia
terseret kasus suap serta gratifikasi pengadaan barang dan jasa, perizinan, dan
pembangunan infrastruktur di lingkungan Pemprov Sulsel tahun anggaran
2020–2021.

Sungguh tak disangka, Nurdin
selama ini memiliki reputasi moncer. Peraih gelar tokoh perubahan pada 2015 itu
mengawali karir politiknya sebagai bupati Bantaeng dua periode (2008–2018). Di
masa itu, ia sukses mengubah nasib Kabupaten Bantaeng dari daerah tertinggal
menjadi salah satu pusat ekonomi baru di Sulsel. Pertumbuhan ekonomi naik dari
4,7 persen menjadi 9,2 persen.

Ia juga pernah menyabet
penghargaan Bung Hatta Anti-Corruption Award (BHACA) 2017 sebagai pemimpin yang
berintegritas dan antikorupsi. Pada 15 Agustus 2016, Nurdin dianugerahi Tanda
Kehormatan Bintang Jasa Utama dari Presiden Joko Widodo karena dianggap
berkontribusi dalam bidang sosial kemanusiaan (JawaPos.com, 27/2/2021). Sayang,
semua prestasi yang diraih bertahun-tahun itu remuk seketika oleh borgol KPK
yang melilit tangan gubernur peraih 100 penghargaan tersebut.

Kejahatan yang Dimaklumi

Ada yang mengatakan kasus Nurdin
tak lepas dari lubang sistem (birokrasi kekuasaan lokal) yang masif, dalam, dan
rusak. Lubang itu menyandera orang-orang bersih dan berkinerja baik yang
telanjur terperosok ke dalamnya. Di sini korupsi dilihat secara struktural
sebagai ruang bagi habitus eksploitatif para aktor politik birokrasi yang
beroperasi untuk memperoleh keuntungan kapital. Mereka merusak aturan, sistem,
dan respons sekitar melalui jejaring mutualisme politik-ekonomi.

Dengan situasi seperti itu,
perbuatan korupsi hanya dilihat sebagai –meminjam teori kejahatannya Hannah
Arendt (1906–1975) – anality of evil. Sebuah kejahatan yang mudah untuk
dimaklumi para elite dan kelompoknya, termasuk masyarakat luas. Banyak orang
–yang dianggap– baik dan bersih tersedot dalam ”vacum cleaner” sistem yang
koruptif sehingga dekat pada berbagai pengambilan keputusan dan kebijakan
publik niretis yang mencederai nilai-nilai kepublikan.

Baca Juga :  Tersandera Sistem yang Korup

Menurut KPK, sejak pilkada
langsung dimulai (2005) sampai sekarang, sudah tiga ratusan kepala daerah yang
terjerat kasus korupsi. Mereka di antaranya dikendalikan oleh sistem yang
menjadikan jabatan maupun posisi struktural birokrasi sebagai kavling
pengembalian modal politik dengan membangun dan merawat relasi patron-client
atau yang disebut exchange of resources (Agustino, Fitriani, 2017).

Banalitas itu juga tecermin dari
derasnya lelehan ”air liur” investor politik (pengusaha) untuk menanam saham
bagi kemenangan jagoan politiknya di gelanggang pilkada demi balas jasa politik
(proyek). Di sinilah praktik resiprokal politik ekonomi saling bercumbu di atas
ranjang demokrasi dengan dampaknya pada monetisasi pilkada (Aspinal &
Barenschot, 2019).

Proyek infrastruktur, misalnya,
menurut KPK menjadi modus paling ”gemuk” yang menjerat 12 kepala daerah
(bupati, wali kota, gubernur) dalam jurang korupsi sepanjang 2018–2019. Karena
itulah, meskipun pembangunan insfrastruktur oleh pemerintah belakangan
sedemikian masif, kualitas tetap rendah jika dibandingkan dengan negara ASEAN
lainnya (Sumandar, 2020).

Ironisnya, pola atau sistem destruktif
tersebut terus terpelihara di dalam ekosistem politik. Bak tuyul yang sengaja
dipelihara, disusui oleh pemiliknya untuk bekerja mencuri uang demi
mengumpulkan kekayaan majikannya. Guru Besar Manajemen Universitas Indonesia
Rhenald Kasali beberapa waktu lalu pernah mengajukan tesis bahwa tuyul si
pencuri uang akan terdisrupsi oleh perkembangan teknologi informasi yang
membuat pelayanan publik semakin transparan dan bersih.

Tesis tersebut layak sebagai
optimisme meskipun faktanya tak segampang itu. Kekuatan halus tuyul kini sudah
menghipnotis sekaligus mencengkeram kian masif sejak dari hulu sampai hilir
bangunan sistem politik kita. Regulasi dan segala pranata etik yang memagari
praktik kongkalikong dan korupsi tidak mempan memberikan sinyal kewaspadaan
bagi para elite dari berbagai kompromi dan transaksi gelap dalam membancak
sumber daya dan keuangan daerah.

Baca Juga :  Polisi: Antara Kekerasan dan Citra Humanis

Harus Keluar

Mulusnya situasi korup tersebut
jelas berkaitan dengan transformasi model korupsi dari kategori official moguls
(menyalahgunakan kekuasaan) ke karakter korupsi masa kini yang bercorak kartel
elite dan oligarki (Indriati, 2014). Terjadi konsentrasi kekuasaan dan kekayaan
pada sekelompok elite tertentu.

Seperti dalam kasus Nurdin,
konsentrasi kekayaan dilakukan dengan memberikan prioritas kepada pengusaha di
lingkaran dekat sebagai pemenang sejumah tender proyek di era kepemimpinan
Nurdin. Bahkan, salah satu NGO lokal di Sulawesi juga pernah melaporkan
indikasi KKN di dalam pengelolaan sebuah proyek yang melibatkan keluarga Nurdin
(Palopo Pos, 27/2/2021).

Demokrasi dan pelayanan publik
lokal akan terus terancam jika korupsi dan segala anasirnya dibiarkan terus
mendarah daging dan sistemik. Kita harus keluar dari jebakan apologi ”orang
baik korup karena sistem” karena justru menjadi pembenaran baru bagi praktik
korupsi. Caranya, merombak secara radikal kultur dan sistem politik yang
merawat korupsi dengan memperkuat pengawasan moral dan hukum secara internal
maupun eksternal (masyarakat).

Sistem politik, terutama di
parpol, semestinya menghadirkan instrumen dan mekanisme tetap yang mampu
mereformasi mentalitas viking (mencuri, merusak) bagi para kadernya sebagai
sebuah norma fundamental. Itu perlu dilakukan dengan mengacu pada deklarasi
etika global: ”Kita harus hidup tidak hanya bagi diri sendiri, tetapi juga
harus melayani orang lain… Menolak setiap bentuk egoisme dan berusaha menuntun
hidup yang tidak ditentukan oleh egoisme, tetapi oleh komitmen pada sesama
manusia” (World Parliament of Religious 1993: Declaration of Global Ethic,
Representative of the Ethic Shares by the World’s Religion).

Jika tidak, tanggul moral bangsa
ini lama-lama akan jebol oleh lebatnya curah ”hujan korupsi” para elite yang
ikut menenggelamkan akal sehat dan peradaban bernegara. (*)

(UMBU T.W PARIANGU, Dosen FISIP
Universitas Nusa Cendana, Kupang)

PROKALTENG.CO – Di pengujung Februari 2021, kita dikejutkan oleh
berita operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap
Gubernur Sulawesi Selatan Nurdin Abdullah (26/2/2021) di rumah jabatannya. Ia
terseret kasus suap serta gratifikasi pengadaan barang dan jasa, perizinan, dan
pembangunan infrastruktur di lingkungan Pemprov Sulsel tahun anggaran
2020–2021.

Sungguh tak disangka, Nurdin
selama ini memiliki reputasi moncer. Peraih gelar tokoh perubahan pada 2015 itu
mengawali karir politiknya sebagai bupati Bantaeng dua periode (2008–2018). Di
masa itu, ia sukses mengubah nasib Kabupaten Bantaeng dari daerah tertinggal
menjadi salah satu pusat ekonomi baru di Sulsel. Pertumbuhan ekonomi naik dari
4,7 persen menjadi 9,2 persen.

Ia juga pernah menyabet
penghargaan Bung Hatta Anti-Corruption Award (BHACA) 2017 sebagai pemimpin yang
berintegritas dan antikorupsi. Pada 15 Agustus 2016, Nurdin dianugerahi Tanda
Kehormatan Bintang Jasa Utama dari Presiden Joko Widodo karena dianggap
berkontribusi dalam bidang sosial kemanusiaan (JawaPos.com, 27/2/2021). Sayang,
semua prestasi yang diraih bertahun-tahun itu remuk seketika oleh borgol KPK
yang melilit tangan gubernur peraih 100 penghargaan tersebut.

Kejahatan yang Dimaklumi

Ada yang mengatakan kasus Nurdin
tak lepas dari lubang sistem (birokrasi kekuasaan lokal) yang masif, dalam, dan
rusak. Lubang itu menyandera orang-orang bersih dan berkinerja baik yang
telanjur terperosok ke dalamnya. Di sini korupsi dilihat secara struktural
sebagai ruang bagi habitus eksploitatif para aktor politik birokrasi yang
beroperasi untuk memperoleh keuntungan kapital. Mereka merusak aturan, sistem,
dan respons sekitar melalui jejaring mutualisme politik-ekonomi.

Dengan situasi seperti itu,
perbuatan korupsi hanya dilihat sebagai –meminjam teori kejahatannya Hannah
Arendt (1906–1975) – anality of evil. Sebuah kejahatan yang mudah untuk
dimaklumi para elite dan kelompoknya, termasuk masyarakat luas. Banyak orang
–yang dianggap– baik dan bersih tersedot dalam ”vacum cleaner” sistem yang
koruptif sehingga dekat pada berbagai pengambilan keputusan dan kebijakan
publik niretis yang mencederai nilai-nilai kepublikan.

Baca Juga :  Tersandera Sistem yang Korup

Menurut KPK, sejak pilkada
langsung dimulai (2005) sampai sekarang, sudah tiga ratusan kepala daerah yang
terjerat kasus korupsi. Mereka di antaranya dikendalikan oleh sistem yang
menjadikan jabatan maupun posisi struktural birokrasi sebagai kavling
pengembalian modal politik dengan membangun dan merawat relasi patron-client
atau yang disebut exchange of resources (Agustino, Fitriani, 2017).

Banalitas itu juga tecermin dari
derasnya lelehan ”air liur” investor politik (pengusaha) untuk menanam saham
bagi kemenangan jagoan politiknya di gelanggang pilkada demi balas jasa politik
(proyek). Di sinilah praktik resiprokal politik ekonomi saling bercumbu di atas
ranjang demokrasi dengan dampaknya pada monetisasi pilkada (Aspinal &
Barenschot, 2019).

Proyek infrastruktur, misalnya,
menurut KPK menjadi modus paling ”gemuk” yang menjerat 12 kepala daerah
(bupati, wali kota, gubernur) dalam jurang korupsi sepanjang 2018–2019. Karena
itulah, meskipun pembangunan insfrastruktur oleh pemerintah belakangan
sedemikian masif, kualitas tetap rendah jika dibandingkan dengan negara ASEAN
lainnya (Sumandar, 2020).

Ironisnya, pola atau sistem destruktif
tersebut terus terpelihara di dalam ekosistem politik. Bak tuyul yang sengaja
dipelihara, disusui oleh pemiliknya untuk bekerja mencuri uang demi
mengumpulkan kekayaan majikannya. Guru Besar Manajemen Universitas Indonesia
Rhenald Kasali beberapa waktu lalu pernah mengajukan tesis bahwa tuyul si
pencuri uang akan terdisrupsi oleh perkembangan teknologi informasi yang
membuat pelayanan publik semakin transparan dan bersih.

Tesis tersebut layak sebagai
optimisme meskipun faktanya tak segampang itu. Kekuatan halus tuyul kini sudah
menghipnotis sekaligus mencengkeram kian masif sejak dari hulu sampai hilir
bangunan sistem politik kita. Regulasi dan segala pranata etik yang memagari
praktik kongkalikong dan korupsi tidak mempan memberikan sinyal kewaspadaan
bagi para elite dari berbagai kompromi dan transaksi gelap dalam membancak
sumber daya dan keuangan daerah.

Baca Juga :  Polisi: Antara Kekerasan dan Citra Humanis

Harus Keluar

Mulusnya situasi korup tersebut
jelas berkaitan dengan transformasi model korupsi dari kategori official moguls
(menyalahgunakan kekuasaan) ke karakter korupsi masa kini yang bercorak kartel
elite dan oligarki (Indriati, 2014). Terjadi konsentrasi kekuasaan dan kekayaan
pada sekelompok elite tertentu.

Seperti dalam kasus Nurdin,
konsentrasi kekayaan dilakukan dengan memberikan prioritas kepada pengusaha di
lingkaran dekat sebagai pemenang sejumah tender proyek di era kepemimpinan
Nurdin. Bahkan, salah satu NGO lokal di Sulawesi juga pernah melaporkan
indikasi KKN di dalam pengelolaan sebuah proyek yang melibatkan keluarga Nurdin
(Palopo Pos, 27/2/2021).

Demokrasi dan pelayanan publik
lokal akan terus terancam jika korupsi dan segala anasirnya dibiarkan terus
mendarah daging dan sistemik. Kita harus keluar dari jebakan apologi ”orang
baik korup karena sistem” karena justru menjadi pembenaran baru bagi praktik
korupsi. Caranya, merombak secara radikal kultur dan sistem politik yang
merawat korupsi dengan memperkuat pengawasan moral dan hukum secara internal
maupun eksternal (masyarakat).

Sistem politik, terutama di
parpol, semestinya menghadirkan instrumen dan mekanisme tetap yang mampu
mereformasi mentalitas viking (mencuri, merusak) bagi para kadernya sebagai
sebuah norma fundamental. Itu perlu dilakukan dengan mengacu pada deklarasi
etika global: ”Kita harus hidup tidak hanya bagi diri sendiri, tetapi juga
harus melayani orang lain… Menolak setiap bentuk egoisme dan berusaha menuntun
hidup yang tidak ditentukan oleh egoisme, tetapi oleh komitmen pada sesama
manusia” (World Parliament of Religious 1993: Declaration of Global Ethic,
Representative of the Ethic Shares by the World’s Religion).

Jika tidak, tanggul moral bangsa
ini lama-lama akan jebol oleh lebatnya curah ”hujan korupsi” para elite yang
ikut menenggelamkan akal sehat dan peradaban bernegara. (*)

(UMBU T.W PARIANGU, Dosen FISIP
Universitas Nusa Cendana, Kupang)

Terpopuler

Artikel Terbaru