28.8 C
Jakarta
Saturday, April 20, 2024

Sudahkah Lima Sila Itu Terimplementasi dengan Benar?

SAMPAI kapan Pancasila terus eksis? Hingga hampir 76 tahun usia formal bangsa ini, Pancasila masih kukuh sebagai ideologi pemersatu. Selama kurun tersebut, diakui atau tidak, riak-riak untuk mengganti ideologi negara beberapa kali terjadi di sejumlah daerah. Kalaupun dasar negara yang kita sepakati bersama sejak 1945 itu tidak diganti, sebagian saudara kita hendak melepaskan diri dari pangkuan ibu pertiwi.

Secara kultural, bangsa kita yang terdiri atas beragam suku dan agama rupanya telah ber-Pancasila tanpa nama dan tanpa formalitas selama berabad-abad lampau. Sampai akhirnya, para tokoh bangsa merumuskannya dengan nama Pancasila. Keniscayaan sejarah itu merupakan modal berharga sekaligus bukti bahwa sampai kapan pun Pancasila adalah darah daging yang menyatu dalam jiwa masyarakat kita. Karena itu, Pancasila boleh dikata mustahil bisa dihilangkan dan terganti.

Lantas, mengapa hal tersebut bisa terjadi? Salah satu musabab (baca: hikmah) adalah perlunya kita senantiasa memaknai Pancasila dan lebih penting mengamalkan prinsip-prinsipnya secara konsekuen. Laku dan ucap mesti sinkron. Kita tidak menafikan, rangkaian gugatan Pancasila boleh jadi disebabkan penjarakan (gap) antara komitmen kita ber-Pancasila dan tindakan sehari-hari yang justru melenceng dan menjauhi lima silanya.

Aksi sebagian saudara kita, misalnya mengkritik Pancasila dengan coba-coba berniat menggantinya atau ingin mendirikan negara sendiri (separatisme), seyogianya mesti dilihat sebagai ikhtiar mereka yang meletakkan cermin besar di hadapan wajah kita sembari menyodorkan pernyataan gugatan reflektif: apakah kita benar-benar sudah ber-Pancasila? Apakah kita benar-benar mengimplementasikan lima sila itu secara benar? Jangan-jangan kita hanya bertahan pada simbolitas dan telah lama meninggalkan pelaksanaan Pancasila dalam laku keseharian.

Beberapa upaya penentangan terhadap pemerintahan yang sah pada waktu-waktu silam lebih disebabkan kurang adilnya porsi pembagian ekonomi. Daerahku kaya. Menyumbangkan pajak besar kepada ”Jakarta”. Namun, kenapa daerahku tetap miskin? Lantas, di manakah sila kelima, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, benar-benar hadir? Bangsaku kaya raya sumber daya alam. Tetapi, mengapa dominasi kepunyaan asing begitu kentara. Apakah kita benar-benar berdaulat atas tanah dan air kita sendiri?

Baca Juga :  Varian Delta dan Anak-Anak Kita

Dalam laku sehari-hari, narasi kemanusiaan kita masih mewedarkan anomali. Pernah suatu waktu, hanya gegara mencuri alat elektronik yang nominal rupiahnya kecil, aksi itu dibalas dengan pembakaran pada diri seorang yang tentu belum selesai dengan urusan perutnya. Mengapa sebegitu ganas dan banal jiwa manusia kita? Lantas, di manakah sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab yang konon telah terpatri? Kita juga sering mendengar dan melihat kejadian main hakim sendiri seolah sebagai kelaziman.

Dalam kehidupan sosial masyarakat perkotaan, relasi antara aku dan kamu lebih banyak tentang urusan materi. Timbul kemudian sikap-sikap antipati terhadap lingkungan sosial. Bahkan, ketidaktahuan nama tetangga depan rumah sudah teranggap kewajaran. Pagar rumah-rumah dibuat sangat tinggi. Aktivitas saling sapa dan kumpul-kumpul tereliminasi otomatis. Dan, bahkan fenomena ini sedikit banyak sudah menggejala kuat dalam kultur masyarakat pedesaan. Padahal, relasi kuat antartetangga bakal memastikan kesolidan suatu masyarakat. Sistem relasi sosial ini mengantarkan sikap kewaspadaan dan meminimalkan masuknya ideologi bahaya maupun orang asing seperti teroris.

Mematri sila Persatuan Indonesia berarti tidak membeda-bedakan perlakuan tetangga hanya gegara beda etnis dan agama. Sila ketiga tersebut mengalami tantangan yang tidak mudah dilaksanakan di pola kehidupan sosial pedesaan. Kita tahu bersama, tipe kehidupan desa yang serba seragam dalam kesatuan etnis maupun agama dalam kenyataannya tidak sedikit berbuah polemik. Belum siap menerima perbedaan. Sementara, masyarakat perkotaan juga seturut sedemikian dengan munculnya politik identitas.

Kita masih melihat persekusi terhadap kelompok minoritas keyakinan dan sekte. Menguatnya gairah keberagamaan rupanya tidak sejurus dengan meningkatnya toleransi. Justru sebaliknya; pemahaman agama versi dirinya lebih sering menguarkan vonis sesat, bidah, dan kafir kepada saudara seagama. Bahkan, problem mendasar terletak pada menciptakan kerukunan intra pemeluk agama. Ketuhanan yang Maha Esa sebagai sila pertama menyiratkan seharusnya agama dan prinsip-prinsip ketuhanan bisa menjadi fondasi dalam menciptakan kerukunan dan kedamaian.

Baca Juga :  Mutasi Sel Terorisme

Pancasila bukan sekadar ideologi yang hanya terus diuar-uarkan sedemikian rupa. Tapi juga seyogianya dimaknai sebagai kata kerja, dilaksanakan. Dilakukan segenap rakyat Indonesia dalam laku keseharian. Bila mulut mengucap: Saya Pancasila, Saya Indonesia, konsekuensinya dilanjutkan dengan melaksanakan hal-hal berikut: lebih mengakrabi tetangga, toleran terhadap kelompok berbeda paham keagamaan, serta tidak memilih calon anggota legislatif yang menggunakan politik uang dan buruk rekam jejak.

Pancasila yang Menyatukan

 

Ragam komunitas kesukuan-kedaerahan telah bersepakat untuk duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi. Tak ada nuansa superioritas untuk mengklaim kesukuannya lebih unggul ketimbang pihak lain. Daulat ini terbentuk secara formal dalam memulai ikatan kebangsaan kita sebagai sebuah wadah dalam negara bersebut Indonesia pada 1945. Ikatan formal ini secara lebih konkret meneguhkan jalinan erat untuk kemudian secara bersama memanggul aneka beban permasalahan kebangsaan di kemudian hari.

Tenun kebangsaan itulah sebagai pucuk kesetiakawanan. Bersetia kepada pihak lain sebagai sesama saudara sebangsa. Dengan sikap kesetiakawanan, segala anasir negatif yang dapat mengoyak persatuan bangsa dapat dideteksi dini untuk kemudian dipangkas.

Kita menyadari, dewasa kini bangsa Indonesia sedikit banyak sudah terliputi oleh fragmentasi sosial yang menjurus konflik dan perpecahan. Bila dibiarkan, bukan tidak mungkin eskalasi akan meningkat menjadi ruang beradu tarung dengan ganas. Padahal, polarisasi sosial seperti itu telah menisbikan kesadaran memorial kebangsaan.

Bila dicermati, sila ketiga Pancasila, Persatuan Indonesia, telah memberikan artian atas keniscayaan perbedaan dalam tubuh bangsa Indonesia. Perbedaan adalah semacam gen yang pembentukannya bermacam-macam. Karena itu, selain dirawat, perbedaan mesti menjadi perekat. Tanpa rekatan dan sekatan erat, mustahil perbedaan akan berfaedah. Justru, bila perbedaan dijadikan alat pemecah, pelangi keberbedaan menjadi warna tunggal yang menjemukan. Keindahan warna pelangi keberbedaan baru bisa dinikmati saat warna-warna itu berjejer bersederajat. (*)

Muhammad Itsbatun Najih, Alumnus Madrasah Ibtidaul Falah, Kudus

SAMPAI kapan Pancasila terus eksis? Hingga hampir 76 tahun usia formal bangsa ini, Pancasila masih kukuh sebagai ideologi pemersatu. Selama kurun tersebut, diakui atau tidak, riak-riak untuk mengganti ideologi negara beberapa kali terjadi di sejumlah daerah. Kalaupun dasar negara yang kita sepakati bersama sejak 1945 itu tidak diganti, sebagian saudara kita hendak melepaskan diri dari pangkuan ibu pertiwi.

Secara kultural, bangsa kita yang terdiri atas beragam suku dan agama rupanya telah ber-Pancasila tanpa nama dan tanpa formalitas selama berabad-abad lampau. Sampai akhirnya, para tokoh bangsa merumuskannya dengan nama Pancasila. Keniscayaan sejarah itu merupakan modal berharga sekaligus bukti bahwa sampai kapan pun Pancasila adalah darah daging yang menyatu dalam jiwa masyarakat kita. Karena itu, Pancasila boleh dikata mustahil bisa dihilangkan dan terganti.

Lantas, mengapa hal tersebut bisa terjadi? Salah satu musabab (baca: hikmah) adalah perlunya kita senantiasa memaknai Pancasila dan lebih penting mengamalkan prinsip-prinsipnya secara konsekuen. Laku dan ucap mesti sinkron. Kita tidak menafikan, rangkaian gugatan Pancasila boleh jadi disebabkan penjarakan (gap) antara komitmen kita ber-Pancasila dan tindakan sehari-hari yang justru melenceng dan menjauhi lima silanya.

Aksi sebagian saudara kita, misalnya mengkritik Pancasila dengan coba-coba berniat menggantinya atau ingin mendirikan negara sendiri (separatisme), seyogianya mesti dilihat sebagai ikhtiar mereka yang meletakkan cermin besar di hadapan wajah kita sembari menyodorkan pernyataan gugatan reflektif: apakah kita benar-benar sudah ber-Pancasila? Apakah kita benar-benar mengimplementasikan lima sila itu secara benar? Jangan-jangan kita hanya bertahan pada simbolitas dan telah lama meninggalkan pelaksanaan Pancasila dalam laku keseharian.

Beberapa upaya penentangan terhadap pemerintahan yang sah pada waktu-waktu silam lebih disebabkan kurang adilnya porsi pembagian ekonomi. Daerahku kaya. Menyumbangkan pajak besar kepada ”Jakarta”. Namun, kenapa daerahku tetap miskin? Lantas, di manakah sila kelima, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, benar-benar hadir? Bangsaku kaya raya sumber daya alam. Tetapi, mengapa dominasi kepunyaan asing begitu kentara. Apakah kita benar-benar berdaulat atas tanah dan air kita sendiri?

Baca Juga :  Varian Delta dan Anak-Anak Kita

Dalam laku sehari-hari, narasi kemanusiaan kita masih mewedarkan anomali. Pernah suatu waktu, hanya gegara mencuri alat elektronik yang nominal rupiahnya kecil, aksi itu dibalas dengan pembakaran pada diri seorang yang tentu belum selesai dengan urusan perutnya. Mengapa sebegitu ganas dan banal jiwa manusia kita? Lantas, di manakah sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab yang konon telah terpatri? Kita juga sering mendengar dan melihat kejadian main hakim sendiri seolah sebagai kelaziman.

Dalam kehidupan sosial masyarakat perkotaan, relasi antara aku dan kamu lebih banyak tentang urusan materi. Timbul kemudian sikap-sikap antipati terhadap lingkungan sosial. Bahkan, ketidaktahuan nama tetangga depan rumah sudah teranggap kewajaran. Pagar rumah-rumah dibuat sangat tinggi. Aktivitas saling sapa dan kumpul-kumpul tereliminasi otomatis. Dan, bahkan fenomena ini sedikit banyak sudah menggejala kuat dalam kultur masyarakat pedesaan. Padahal, relasi kuat antartetangga bakal memastikan kesolidan suatu masyarakat. Sistem relasi sosial ini mengantarkan sikap kewaspadaan dan meminimalkan masuknya ideologi bahaya maupun orang asing seperti teroris.

Mematri sila Persatuan Indonesia berarti tidak membeda-bedakan perlakuan tetangga hanya gegara beda etnis dan agama. Sila ketiga tersebut mengalami tantangan yang tidak mudah dilaksanakan di pola kehidupan sosial pedesaan. Kita tahu bersama, tipe kehidupan desa yang serba seragam dalam kesatuan etnis maupun agama dalam kenyataannya tidak sedikit berbuah polemik. Belum siap menerima perbedaan. Sementara, masyarakat perkotaan juga seturut sedemikian dengan munculnya politik identitas.

Kita masih melihat persekusi terhadap kelompok minoritas keyakinan dan sekte. Menguatnya gairah keberagamaan rupanya tidak sejurus dengan meningkatnya toleransi. Justru sebaliknya; pemahaman agama versi dirinya lebih sering menguarkan vonis sesat, bidah, dan kafir kepada saudara seagama. Bahkan, problem mendasar terletak pada menciptakan kerukunan intra pemeluk agama. Ketuhanan yang Maha Esa sebagai sila pertama menyiratkan seharusnya agama dan prinsip-prinsip ketuhanan bisa menjadi fondasi dalam menciptakan kerukunan dan kedamaian.

Baca Juga :  Mutasi Sel Terorisme

Pancasila bukan sekadar ideologi yang hanya terus diuar-uarkan sedemikian rupa. Tapi juga seyogianya dimaknai sebagai kata kerja, dilaksanakan. Dilakukan segenap rakyat Indonesia dalam laku keseharian. Bila mulut mengucap: Saya Pancasila, Saya Indonesia, konsekuensinya dilanjutkan dengan melaksanakan hal-hal berikut: lebih mengakrabi tetangga, toleran terhadap kelompok berbeda paham keagamaan, serta tidak memilih calon anggota legislatif yang menggunakan politik uang dan buruk rekam jejak.

Pancasila yang Menyatukan

 

Ragam komunitas kesukuan-kedaerahan telah bersepakat untuk duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi. Tak ada nuansa superioritas untuk mengklaim kesukuannya lebih unggul ketimbang pihak lain. Daulat ini terbentuk secara formal dalam memulai ikatan kebangsaan kita sebagai sebuah wadah dalam negara bersebut Indonesia pada 1945. Ikatan formal ini secara lebih konkret meneguhkan jalinan erat untuk kemudian secara bersama memanggul aneka beban permasalahan kebangsaan di kemudian hari.

Tenun kebangsaan itulah sebagai pucuk kesetiakawanan. Bersetia kepada pihak lain sebagai sesama saudara sebangsa. Dengan sikap kesetiakawanan, segala anasir negatif yang dapat mengoyak persatuan bangsa dapat dideteksi dini untuk kemudian dipangkas.

Kita menyadari, dewasa kini bangsa Indonesia sedikit banyak sudah terliputi oleh fragmentasi sosial yang menjurus konflik dan perpecahan. Bila dibiarkan, bukan tidak mungkin eskalasi akan meningkat menjadi ruang beradu tarung dengan ganas. Padahal, polarisasi sosial seperti itu telah menisbikan kesadaran memorial kebangsaan.

Bila dicermati, sila ketiga Pancasila, Persatuan Indonesia, telah memberikan artian atas keniscayaan perbedaan dalam tubuh bangsa Indonesia. Perbedaan adalah semacam gen yang pembentukannya bermacam-macam. Karena itu, selain dirawat, perbedaan mesti menjadi perekat. Tanpa rekatan dan sekatan erat, mustahil perbedaan akan berfaedah. Justru, bila perbedaan dijadikan alat pemecah, pelangi keberbedaan menjadi warna tunggal yang menjemukan. Keindahan warna pelangi keberbedaan baru bisa dinikmati saat warna-warna itu berjejer bersederajat. (*)

Muhammad Itsbatun Najih, Alumnus Madrasah Ibtidaul Falah, Kudus

Terpopuler

Artikel Terbaru