25.6 C
Jakarta
Friday, April 26, 2024

Profil Pelajar Pancasila Lahirkan Pemuda Unggul

DI pundak pemuda ada tanggung
jawab besar untuk negeri tercinta. Pemuda harapan bangsa haus akan aktualisasi
diri yang positif dan konstruktif dan membutuhkan wahana untuk bergerak. Sebuah
gerakan civil society. Sejarah
mencatat dengan tinta emas bahwa pemuda adalah pengawal perubahan yang siap
dengan pelatuk dan tombak perjuangan.

Berbekal nilai cendekiawan formal yang melekat jelas
dalam jiwa para pemuda, mereka bergerak dan bertransformasi dalam menyongsong
era society 5.0. Para pelajar Indonesia bisa menjadi generasi muda yang unggul
dan berdaya saing asalkan memiliki semangat dan iktikad mengembangkan diri
menjadi Pelajar Pancasila. Profil Pelajar Pancasila adalah pelajar yang beriman,
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia, berkebinekaan global,
menjunjung tinggi gotong-royong, mandiri, bernalar kritis dan kreatif.

Pelajar Pancasila akan melahirkan pemuda-pemuda unggul
dengan nafas perjuangan yaitu komitmen untuk membuat gerakan revolusioner dalam
siklus dialektika sebagai motor berbahan bakar semangat pengabdian untuk
negeri. Kita semakin menyadari betapa pentingnya peran generasi unggul sebagai agent of control atas hal-hal yang
berada di sekitar kita.

Indonesia memiliki komposisi penduduk dari berbagai
latar belakang atau lintas budaya, agama, suku dan daerah. Meski memiliki
ikatan primordial yang berbeda, kita harus tetap bersatu karena berbekal
semangat yang tertuang dalam ikrar Sumpah Pemuda di Batavia tahun 1928 sehingga
kita mampu memoderasi ego masing-masing, bersikap tepa selira (tenggang rasa) dan saling mendukung.

Generasi berkebinekaan global tentu bisa menjaga
sekaligus melestarikan keragaman di Indonesia sebagai sebuah kekayaan. Kita
perlu berkaca pada sejarah perjuangan bangsa Kongres Pemuda II menjadi saksi
persatuan dan kesatuan perkumpulan pemuda di Indonesia dari berbagai latar
belakang seperti Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Celebes, Jong Bataks
Bond, Jong Ambon, Studerenden Minahasaers, Jong Islamieten Bond, Katholikee
Jongelingen Bond, Pemuda Kaum Theosofi, Pemuda Kaum Betawi, dan Pemuda Etnis
Tionghoa. Sejarah telah mengukir pelangi yang indah. Pelangi yang indah itu
perlu dipertahankan hingga memasuki abad 21 ini dengan revitalisasi pemuda.

Ini adalah agenda yang mendesak. Seribu orang tua bisa
bermimpi, satu orang pemuda bisa mengubah dunia, begitu kata Soekarno. Oleh
karena itu, regenerasi pemuda seperti tersebut di atas dapat dilakukan dengan
internalisasi profil Pelajar Pancasila sejak dini di bangku-bangku sekolah. Soekarno
dengan gigih telah mendidik kita dengan nation
and character building
. Pusat Penguatan Karakter atau Puspeka sebagai unit
organisasi baru di Kementerian Pendidikan dan kebudayaan (Kemendikbud) ikut
menunjang pelaksanaan program Penguatan Pendidikan Karakter sebagai program
prioritas.

Baca Juga :  Dampak Vaksinasi Covid-19 Ketiga di Amerika Serikat

Karakter yang baik tumbuh dari hati nurani yang baik
pula. Itulah mengapa kehidupan yang mulia dan luhur harus dimulai dari hati
nurani manusia. Pemuda maju dengan pemikiran yang visioner adalah kompas untuk
menggalang kekuatan pemersatu bangsa dan membuat keputusan-keputusan untuk
kemajuan bangsa. Kemajuan bangsa sangat ditentukan oleh kualitas pendidikan dan
masa depan bangsa berada di tangan para pemuda. Enam puluh delapan bapak bangsa Indonesia (the founding fathers) telah merintis cita-cita bangsa dengan cara
memajukan pendidikan. Kebodohan hanya bisa diberantas dengan pendidikan. Sejak
zaman pergerakan nasional Indonesia, peran pemuda sangat signifikan. Bahkan flag off geliat pemuda maju telah
dimulai oleh ksatria muda Mahapatih Gadjah Mada yang bercita-cita menyatukan
Nusantara lewat Sumpah Palapa.

Praktis, sejarah Indonesia adalah sejarah yang diukir
oleh pemuda. Ben Anderson menyebut dengan istilah “revolusi pemuda”. Chaerul
Saleh, sebagai pemuda berseru kepada Soekarno. “Sekarang, Bung! Malam ini juga
kita kobarkan revolusi.” Pemuda Wikana dengan penuh keberanian lalu mengancam
Soekarno. “Revolusi di tangan kami sekarang dan kami memerintahkan Bung. Kalau
Bung tidak memulai revolusi malam ini, maka…”. Soekarno diculik dan dibawa ke
Kecamatan Rengasdengklok, Kabupaten Karawang.

Itulah kisah nyata tentang kiprah pemuda. Tercatat dengan
tinta emas betapa peristiwa Rengasdengklok, Perhimpunan Indonesia dan Sumpah
Pemuda menjadi tombak perjuangan nasional. Catatan monumental lain yang dapat
menjadi suri teladan para pemuda adalah bagaimana ekspedisi pemuda Stovia pada
tahun 1908 yang menyerukan bahwa perjuangan fisik harus disertai dengan
perjuangan pemikiran. Aksi demonstrasi yang anarkis yang terjadi akhir-akhir
ini seharusnya tak terjadi apabila pemuda mampu membedakan fakta dan hoaks, menyerasikan
antara kebebasan berdemokrasi dan hak asasi manusia (HAM) dengan kepentingan
pembangunan sehingga kedamaian dan stabilitas serta rule of law dapat terjaga. 

Mereka para pemuda bukan sekadar anak muda. Tidak
semua anak muda bisa disebut pemuda. Menurut draft Rancangan Undang-Undang
(RUU) kepemudaan, pemuda adalah mereka yang berusia antara 18 (delapan belas)
tahun hingga 35 (tiga puluh lima) tahun. Namun, pemuda sejatinya berbeda dengan
anak muda yang hanya dipandang dari usia, sifat biologis dan kultur. Pemuda adalah
yang di dalam dirinya ada idealisme dan intervensi pemikiran visioner atau akademis.

Baca Juga :  Sisik Melik Merdeka Melintasi Pandemi Covid-19

Idealisme pada pemuda adalah harta paling otentik yang
akan melecut dedikasi untuk berkarya. Warisan berharga berupa semangat angkatan
45, angkatan 65-66 atau angkatan 98 dapat menjadi modal para pemuda untuk
mengubah nasib masa depan bangsa. Pemuda berada di garda terdepan dalam
mendobrak sistem pendidikan yang masih konvensional, berani melakukan advokasi
kepada pembuat kebijakan melalui gagasa-gagasan yang bernas dan produktif di community education (komunitas
pendidikan). 

Produktivitas dalam menelorkan karya-karya inovatif
yang banyak lahir dari pemikiran pemuda akan melukis masa depan bangsa yang
maju. Sementara itu kemajuan suatu bangsa akan ditentukan oleh kualitas
pendidikannya. Maka akan muncul keterkaitan yang saling berkelindan antar
pemuda dan pendidikan. Perkumpulan Budi Utomo di Jakarta tahun 1908 dan Taman
Siswa di Jogjakarta tahun 1922 adalah bukti bahwa para pemuda telah sejak
awal  berjibaku untuk negeri melalui
pendidikan. Upaya para pendidik menanamkan profil Pelajar Pancasila akan secara
otomatis meningkatkan kualitas pendidikan di wilayah prasejahtera sekalipun di
tanah air sehingga sekolah-sekolah swapraja dapat bertransformasi menjadi
sekolah-sekolah unggul dan maju.

Pemuda
saat ini adalah bagian komunitas dunia yang berbasis digital
(artificial intelligent). Namun inovasi-inovasi dalam pendidikan 4.0 harus tetap berlandaskan nilai-nilai kemanusiaan. Oleh karena itu sangat penting
bagi kita sebagai guru untuk mencetak pemuda-pemuda unggul melalui
internalisasi profil Pelajar Pancasila di sekolah. Hal ini dapat dilakukan
melalui langkah konkrit seperti mengajak Pelajar Pancasila terlibat dalam
kegiatan ibadah di sekolah, bakti sosial di panti asuhan, panti wreda serta memberi
ruang kelas inspirasi dan pengembangan minat dan bakat mereka di bidang olahraga,
seni budaya atau kegiatan positif lainnya.

Student now is leader tomorrow. Pelajar Pancasila sekarang
adalah pemimpin masa depan. Akhirnya tulisan ini penulis tutup dengan kutipan
dari Benjamin Disraeli, Perdana Menteri Inggris “Almost everything that is great has been done by youth”. (***)

(YOGYANTORO. Pendidik, Peserta Diskusi Kelompok
Terpumpun (DKT) Pusat Penguatan Karakter 2020, Kemendikbud)

DI pundak pemuda ada tanggung
jawab besar untuk negeri tercinta. Pemuda harapan bangsa haus akan aktualisasi
diri yang positif dan konstruktif dan membutuhkan wahana untuk bergerak. Sebuah
gerakan civil society. Sejarah
mencatat dengan tinta emas bahwa pemuda adalah pengawal perubahan yang siap
dengan pelatuk dan tombak perjuangan.

Berbekal nilai cendekiawan formal yang melekat jelas
dalam jiwa para pemuda, mereka bergerak dan bertransformasi dalam menyongsong
era society 5.0. Para pelajar Indonesia bisa menjadi generasi muda yang unggul
dan berdaya saing asalkan memiliki semangat dan iktikad mengembangkan diri
menjadi Pelajar Pancasila. Profil Pelajar Pancasila adalah pelajar yang beriman,
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia, berkebinekaan global,
menjunjung tinggi gotong-royong, mandiri, bernalar kritis dan kreatif.

Pelajar Pancasila akan melahirkan pemuda-pemuda unggul
dengan nafas perjuangan yaitu komitmen untuk membuat gerakan revolusioner dalam
siklus dialektika sebagai motor berbahan bakar semangat pengabdian untuk
negeri. Kita semakin menyadari betapa pentingnya peran generasi unggul sebagai agent of control atas hal-hal yang
berada di sekitar kita.

Indonesia memiliki komposisi penduduk dari berbagai
latar belakang atau lintas budaya, agama, suku dan daerah. Meski memiliki
ikatan primordial yang berbeda, kita harus tetap bersatu karena berbekal
semangat yang tertuang dalam ikrar Sumpah Pemuda di Batavia tahun 1928 sehingga
kita mampu memoderasi ego masing-masing, bersikap tepa selira (tenggang rasa) dan saling mendukung.

Generasi berkebinekaan global tentu bisa menjaga
sekaligus melestarikan keragaman di Indonesia sebagai sebuah kekayaan. Kita
perlu berkaca pada sejarah perjuangan bangsa Kongres Pemuda II menjadi saksi
persatuan dan kesatuan perkumpulan pemuda di Indonesia dari berbagai latar
belakang seperti Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Celebes, Jong Bataks
Bond, Jong Ambon, Studerenden Minahasaers, Jong Islamieten Bond, Katholikee
Jongelingen Bond, Pemuda Kaum Theosofi, Pemuda Kaum Betawi, dan Pemuda Etnis
Tionghoa. Sejarah telah mengukir pelangi yang indah. Pelangi yang indah itu
perlu dipertahankan hingga memasuki abad 21 ini dengan revitalisasi pemuda.

Ini adalah agenda yang mendesak. Seribu orang tua bisa
bermimpi, satu orang pemuda bisa mengubah dunia, begitu kata Soekarno. Oleh
karena itu, regenerasi pemuda seperti tersebut di atas dapat dilakukan dengan
internalisasi profil Pelajar Pancasila sejak dini di bangku-bangku sekolah. Soekarno
dengan gigih telah mendidik kita dengan nation
and character building
. Pusat Penguatan Karakter atau Puspeka sebagai unit
organisasi baru di Kementerian Pendidikan dan kebudayaan (Kemendikbud) ikut
menunjang pelaksanaan program Penguatan Pendidikan Karakter sebagai program
prioritas.

Baca Juga :  Dampak Vaksinasi Covid-19 Ketiga di Amerika Serikat

Karakter yang baik tumbuh dari hati nurani yang baik
pula. Itulah mengapa kehidupan yang mulia dan luhur harus dimulai dari hati
nurani manusia. Pemuda maju dengan pemikiran yang visioner adalah kompas untuk
menggalang kekuatan pemersatu bangsa dan membuat keputusan-keputusan untuk
kemajuan bangsa. Kemajuan bangsa sangat ditentukan oleh kualitas pendidikan dan
masa depan bangsa berada di tangan para pemuda. Enam puluh delapan bapak bangsa Indonesia (the founding fathers) telah merintis cita-cita bangsa dengan cara
memajukan pendidikan. Kebodohan hanya bisa diberantas dengan pendidikan. Sejak
zaman pergerakan nasional Indonesia, peran pemuda sangat signifikan. Bahkan flag off geliat pemuda maju telah
dimulai oleh ksatria muda Mahapatih Gadjah Mada yang bercita-cita menyatukan
Nusantara lewat Sumpah Palapa.

Praktis, sejarah Indonesia adalah sejarah yang diukir
oleh pemuda. Ben Anderson menyebut dengan istilah “revolusi pemuda”. Chaerul
Saleh, sebagai pemuda berseru kepada Soekarno. “Sekarang, Bung! Malam ini juga
kita kobarkan revolusi.” Pemuda Wikana dengan penuh keberanian lalu mengancam
Soekarno. “Revolusi di tangan kami sekarang dan kami memerintahkan Bung. Kalau
Bung tidak memulai revolusi malam ini, maka…”. Soekarno diculik dan dibawa ke
Kecamatan Rengasdengklok, Kabupaten Karawang.

Itulah kisah nyata tentang kiprah pemuda. Tercatat dengan
tinta emas betapa peristiwa Rengasdengklok, Perhimpunan Indonesia dan Sumpah
Pemuda menjadi tombak perjuangan nasional. Catatan monumental lain yang dapat
menjadi suri teladan para pemuda adalah bagaimana ekspedisi pemuda Stovia pada
tahun 1908 yang menyerukan bahwa perjuangan fisik harus disertai dengan
perjuangan pemikiran. Aksi demonstrasi yang anarkis yang terjadi akhir-akhir
ini seharusnya tak terjadi apabila pemuda mampu membedakan fakta dan hoaks, menyerasikan
antara kebebasan berdemokrasi dan hak asasi manusia (HAM) dengan kepentingan
pembangunan sehingga kedamaian dan stabilitas serta rule of law dapat terjaga. 

Mereka para pemuda bukan sekadar anak muda. Tidak
semua anak muda bisa disebut pemuda. Menurut draft Rancangan Undang-Undang
(RUU) kepemudaan, pemuda adalah mereka yang berusia antara 18 (delapan belas)
tahun hingga 35 (tiga puluh lima) tahun. Namun, pemuda sejatinya berbeda dengan
anak muda yang hanya dipandang dari usia, sifat biologis dan kultur. Pemuda adalah
yang di dalam dirinya ada idealisme dan intervensi pemikiran visioner atau akademis.

Baca Juga :  Sisik Melik Merdeka Melintasi Pandemi Covid-19

Idealisme pada pemuda adalah harta paling otentik yang
akan melecut dedikasi untuk berkarya. Warisan berharga berupa semangat angkatan
45, angkatan 65-66 atau angkatan 98 dapat menjadi modal para pemuda untuk
mengubah nasib masa depan bangsa. Pemuda berada di garda terdepan dalam
mendobrak sistem pendidikan yang masih konvensional, berani melakukan advokasi
kepada pembuat kebijakan melalui gagasa-gagasan yang bernas dan produktif di community education (komunitas
pendidikan). 

Produktivitas dalam menelorkan karya-karya inovatif
yang banyak lahir dari pemikiran pemuda akan melukis masa depan bangsa yang
maju. Sementara itu kemajuan suatu bangsa akan ditentukan oleh kualitas
pendidikannya. Maka akan muncul keterkaitan yang saling berkelindan antar
pemuda dan pendidikan. Perkumpulan Budi Utomo di Jakarta tahun 1908 dan Taman
Siswa di Jogjakarta tahun 1922 adalah bukti bahwa para pemuda telah sejak
awal  berjibaku untuk negeri melalui
pendidikan. Upaya para pendidik menanamkan profil Pelajar Pancasila akan secara
otomatis meningkatkan kualitas pendidikan di wilayah prasejahtera sekalipun di
tanah air sehingga sekolah-sekolah swapraja dapat bertransformasi menjadi
sekolah-sekolah unggul dan maju.

Pemuda
saat ini adalah bagian komunitas dunia yang berbasis digital
(artificial intelligent). Namun inovasi-inovasi dalam pendidikan 4.0 harus tetap berlandaskan nilai-nilai kemanusiaan. Oleh karena itu sangat penting
bagi kita sebagai guru untuk mencetak pemuda-pemuda unggul melalui
internalisasi profil Pelajar Pancasila di sekolah. Hal ini dapat dilakukan
melalui langkah konkrit seperti mengajak Pelajar Pancasila terlibat dalam
kegiatan ibadah di sekolah, bakti sosial di panti asuhan, panti wreda serta memberi
ruang kelas inspirasi dan pengembangan minat dan bakat mereka di bidang olahraga,
seni budaya atau kegiatan positif lainnya.

Student now is leader tomorrow. Pelajar Pancasila sekarang
adalah pemimpin masa depan. Akhirnya tulisan ini penulis tutup dengan kutipan
dari Benjamin Disraeli, Perdana Menteri Inggris “Almost everything that is great has been done by youth”. (***)

(YOGYANTORO. Pendidik, Peserta Diskusi Kelompok
Terpumpun (DKT) Pusat Penguatan Karakter 2020, Kemendikbud)

Terpopuler

Artikel Terbaru