25.2 C
Jakarta
Friday, March 29, 2024

Realisasi Pajak Karbon Perlu Perhatikan Sektor Industri Manufaktur

PALANGKA RAYA, PROKALTENG.CO – Anggota Badan Anggaran DPR RI, Mukhtarudin menilai rencana implementasi pajak karbon harus dipertimbangkan secara komprehensif, supaya tidak kontraproduktif dengan misi pemerintahan Jokowi – Ma'aruf Amin untuk mempercepat pemulihan ekonomi nasional.

Itu disampaikan Mukhtarudin menyikapi rancangan undang-undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan yang disahkan dalam Sidang Paripurna DPR RI pada Kamis (7/10), mengatur tarif karbon minimal Rp30 per kilogram karbon CO2 akan ditetapkan mulai 1 April 2022 mendatang.

Mukhtrudin mengatakan, pungutan atas emisi karbon memiliki efek berganda yang signifikan. Sebab, kebijakan tersebut memiliki konsekuensi berupa meningkatnya ongkos produksi sejumlah produk manufaktur.

Menurut Politisi Golkar Dapil Kalimantan Tengah ini, iklim usaha di sektor industri manufaktur baru akan bangkit setelah terdampak akibat pandemi Covid-19. "Jadi, jangan sampai terganggu karena penerapan pajak karbon ini ya," tegas Muktharudin, Senin (11/10).

Baca Juga :  Mukhtarudin Usulkan UU Tentang Bahan Kimia

Mukhtarudin mengatakan, kebijakan ini juga berpotensi menghambat ekspansi bisnis pelaku usaha di dalam negeri, karena biaya yang dikeluarkan jauh lebih mahal.  Untuk itu, Anggota Komisi VII DPR ini meminta pemerintah berhati-hati dan perlu mengkaji secara komprehensif dalam menerapkan pajak karbon tersebut, karena sektor utama yang membentuk produk domestik bruto (PDB) Indonesia memiliki karakter padat energi.

"Reformasi struktural di bidang perpajakan ini jangan sampai kontraproduktif terhadap pertumbuhan ekonomi. Jadi saya kira perlu ada masa transisi untuk penerapan pajak karbon ini," tukasnya.

Pria kelahiran Pangkalan Bun, Kalteng ini mengingatkan Industri manufaktur menjadi salah satu sektor yang diandalkan dalam upaya pemulihan ekonomi nasional setelah tertekan akibat pandemi Covid-19 melanda NKRI. "Oleh karena itu, saya kira perlu ada masa transisi untuk penerapan pajak karbon ini," ucapnya.

Baca Juga :  Krisis Energi Eropa, Pemerintah Hati-hati Kejar Realisasi EBT

Kendati demikian, Mukhtarudin mendukung pengenaan pajak karbon yang berkaitan dengan upaya Indonesia untuk memperkuat ketahanan perekonomian Indonesia dari ancaman risiko perubahan iklim sesuai Paris Agreement, Indonesia yang berkomitmen untuk mencapai target Nationally Determined Contribution (NDC) sebesar 41% pada 2030 dalam penanganan perubahan iklim global.

"Pada prinsipnya kita mendukung terhadap target penurunan emisi sebagaimana yang diamanatkan dalam Paris Agreement, tapi perlu memperhatikan keseimbangannya dengan pertumbuhan ekonomi dan daya dukung sumber daya alam yang kita punya," pungkasnya.

PALANGKA RAYA, PROKALTENG.CO – Anggota Badan Anggaran DPR RI, Mukhtarudin menilai rencana implementasi pajak karbon harus dipertimbangkan secara komprehensif, supaya tidak kontraproduktif dengan misi pemerintahan Jokowi – Ma'aruf Amin untuk mempercepat pemulihan ekonomi nasional.

Itu disampaikan Mukhtarudin menyikapi rancangan undang-undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan yang disahkan dalam Sidang Paripurna DPR RI pada Kamis (7/10), mengatur tarif karbon minimal Rp30 per kilogram karbon CO2 akan ditetapkan mulai 1 April 2022 mendatang.

Mukhtrudin mengatakan, pungutan atas emisi karbon memiliki efek berganda yang signifikan. Sebab, kebijakan tersebut memiliki konsekuensi berupa meningkatnya ongkos produksi sejumlah produk manufaktur.

Menurut Politisi Golkar Dapil Kalimantan Tengah ini, iklim usaha di sektor industri manufaktur baru akan bangkit setelah terdampak akibat pandemi Covid-19. "Jadi, jangan sampai terganggu karena penerapan pajak karbon ini ya," tegas Muktharudin, Senin (11/10).

Baca Juga :  Mukhtarudin Usulkan UU Tentang Bahan Kimia

Mukhtarudin mengatakan, kebijakan ini juga berpotensi menghambat ekspansi bisnis pelaku usaha di dalam negeri, karena biaya yang dikeluarkan jauh lebih mahal.  Untuk itu, Anggota Komisi VII DPR ini meminta pemerintah berhati-hati dan perlu mengkaji secara komprehensif dalam menerapkan pajak karbon tersebut, karena sektor utama yang membentuk produk domestik bruto (PDB) Indonesia memiliki karakter padat energi.

"Reformasi struktural di bidang perpajakan ini jangan sampai kontraproduktif terhadap pertumbuhan ekonomi. Jadi saya kira perlu ada masa transisi untuk penerapan pajak karbon ini," tukasnya.

Pria kelahiran Pangkalan Bun, Kalteng ini mengingatkan Industri manufaktur menjadi salah satu sektor yang diandalkan dalam upaya pemulihan ekonomi nasional setelah tertekan akibat pandemi Covid-19 melanda NKRI. "Oleh karena itu, saya kira perlu ada masa transisi untuk penerapan pajak karbon ini," ucapnya.

Baca Juga :  Krisis Energi Eropa, Pemerintah Hati-hati Kejar Realisasi EBT

Kendati demikian, Mukhtarudin mendukung pengenaan pajak karbon yang berkaitan dengan upaya Indonesia untuk memperkuat ketahanan perekonomian Indonesia dari ancaman risiko perubahan iklim sesuai Paris Agreement, Indonesia yang berkomitmen untuk mencapai target Nationally Determined Contribution (NDC) sebesar 41% pada 2030 dalam penanganan perubahan iklim global.

"Pada prinsipnya kita mendukung terhadap target penurunan emisi sebagaimana yang diamanatkan dalam Paris Agreement, tapi perlu memperhatikan keseimbangannya dengan pertumbuhan ekonomi dan daya dukung sumber daya alam yang kita punya," pungkasnya.

Terpopuler

Artikel Terbaru