29 C
Jakarta
Wednesday, April 24, 2024

Harga Pasaran Rp150 Juta, Dijual Hanya Rp25 Juta

Setelah dikebut selama
95 hari, ventilator bikinan Universitas Indonesia (UI) akhirnya selesai juga.
Siap dimanfaatkan untuk membantu penanganan pasien Covid-19. Kendati jauh lebih
murah, kualitas dan fungsinya tak kalah dengan produk luar negeri.

M. HILMI SETIAWAN, Jakarta

AWAL proyek
pembuatan ventilator, Basari benar-benar harus meluangkan waktunya. Pada Sabtu
dan Minggu sekalipun, dia tetap pergi ke kampus untuk mengerjakan ventilator
itu. ”Dari jam 9 pagi sampai jam 12 malam. Saya tinggal di Depok, ke kampus
sekitar 15–20 menit,” kata pria yang menjadi ketua tim ventilator UI itu, Jumat
(26/6).

Basari menceritakan,
pembuatan ventilator dimulai 20 Maret lalu. Saat itu ada tantangan atau
permintaan dari pimpinan UI. ”Sumbangsih apa yang bisa diberikan untuk
(penanganan, red) Covid-19,” ujar Basari mengulang tantangan yang dia terima
saat itu. Akhirnya jajaran Fakultas Teknik (FT) UI menyambut tantangan
tersebut. Mereka bertekad membuat alat kesehatan yang dapat mendukung
penanganan Covid-19.

Kemudian, tim mengkaji
dan memilih alat apa yang bakal mereka garap. Setelah melalui beberapa kajian,
mereka memutuskan akan membuat ventilator. Pertimbangannya, ventilator adalah
alat kesehatan yang sangat dibutuhkan untuk penanganan pandemi Covid-19.

Basari mulai
mengumpulkan anggota tim. Tidak hanya dari FT UI, tetapi juga dari rumpun ilmu
lainnya. Termasuk dari kalangan dokter di Fakultas Kedokteran (FK) UI. Dalam
waktu dua pekan pertama, mereka fokus membuat rancang bangun ventilator. Masuk
pekan ketiga, mereka berhasil menyelesaikan prototipe ventilator dengan bentuk
yang cukup bagus. Dimensinya 340 x 280 x 180 mm dengan bobot sekitar 3,5 kg.

Basari mengisahkan,
ventilator beragam jenisnya. Ada ventilator untuk kondisi darurat yang
ditempatkan di ICU rumah sakit (RS). Ventilator jenis itu umumnya dilengkapi
peralatan yang kompleks. Harganya mahal, bahkan sampai miliaran rupiah per
unit.

Kemudian, ada
ventilator transport darurat. Ventilator jenis ini dipakai untuk membantu
pernapasan pasien ketika berada di mobil ambulans. Misalnya saat dijemput dari
rumah ke RS. Atau dari RS ke RS rujukan. Bisa juga dimiliki sendiri untuk home
care. Ventilator jenis inilah yang akan dibuat Basari bersama timnya.

Pria kelahiran Tegal,
November 1979 itu menjelaskan, setelah prototipe jadi, masuk proses uji produk
di Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Proses tersebut dimulai 20 April sampai 29
April. ”Pada 29 April itu lolos uji. Meskipun secara legalnya 4 Mei,” terang
ketua Prodi Teknik Biomedik FT UI tersebut.

Baca Juga :  IDAI Sarankan Anak 12 Tahun ke Bawah Tak Ikut PTM

Sebelum menjalani uji
produk, ada pendampingan dari tim Kemenkes. Karena itu, saat uji produk, tidak
ada revisi atau perbaikan yang mendasar. Meskipun begitu, ada sejumlah masukan
agar ventilator tersebut memiliki hasil optimal.

Ventilator karya UI itu
memiliki dua fungsi atau multimode. Pertama, fungsi continuous positive airway
pressure (CPAP). Fungsi tersebut biasanya bermanfaat bagi pasien yang masih
sadar. Gunanya untuk membantu mengalirkan oksigen ke paru-paru.

Fungsi kedua adalah
mode continuous mandatory ventilation (CMV). Mode itu digunakan pada pasien
pneumonia berat yang tidak dapat mengatur pernapasannya sendiri, sehingga perlu
dikontrol dengan mode CMV. ”Napasnya diambil alih oleh mesin (ventilator,
red),” ucapnya. Pengujian dua mode tersebut tidak bisa paralel. Harus dilakukan
satu per satu.

Tahap berikutnya adalah
uji ke hewan. Hewan yang digunakan adalah babi. Diambil paru-parunya saja.
Diuji apakah alat tersebut bisa memompa atau mengembangkempiskan paru-paru
babi. Babi dipilih karena paru-parunya mendekati manusia. Baik dari sisi volume
maupun struktur. Pengujian pada babi ini cukup satu hari.

Setelah itu baru diuji
pada manusia. Tempat pengujiannya di RS Cipto Mangunkusumo (RSCM) dan RS UI di
Depok. Proses pengujian pada manusia ini digelar Mei dan Juni. ”Baru selesai 15
Juni lalu,” katanya. Prosesnya cukup lama. Sebab, Basari dan tim harus mencari
pasien yang kondisinya sesuai dengan indikator pada penelitian. Hasil uji itu
lalu dipresentasikan ke tim uji klinis Kemenkes. Karya Basari dan tim
dinyatakan lolos.

Saat uji klinis itu,
ada tiga unit ventilator yang digunakan. Syarat dari Kemenkes saat itu, pasien
cukup lima orang saja. Pada 19 Juni Basari sudah mengantongi izin edar. Kini
tinggal masuk pada tahap produksi. Untuk merealisasikannya, UI menggandeng PT
Graha Teknomedika, PT Enesers Mitra Berkah, dan PT Pindad.

Ventilator bernama
Covent-20 itu dibanderol dengan harga Rp25 juta. Basari mengatakan, harga
tersebut sudah mempertimbangkan biaya produksi dan ongkos pengiriman ke RS.
Harga itu sebenarnya termasuk skema donasi. ”Kalau skema komersial,
perhitungannya berbeda lagi,” ujarnya.

Namun, sampai sekarang
skema yang digunakan masih skema donasi. Harga tersebut jauh lebih murah
daripada ventilator sejenis yang beredar di pasaran. Biasanya harga pasaran
berkisar Rp100 juta sampai Rp150 juta. Untuk ventilator yang digunakan di ICU,
ungkap Basari, harganya bisa lebih dari Rp500 juta per unit.

Baca Juga :  Dinilai Sulit Diterima Akal Sehat, KPK Kecewa Tuntutan Jaksa Kasus Nov

 

Meskipun mulai
diproduksi massal, ventilator itu belum dipasarkan secara bebas. Pemasarannya
berbasis pemesanan melalui skema donasi. Uangnya dikelola Ikatan Alumni (Iluni)
UI. Jadi, dana dari para donatur atau lembaga masuk ke Iluni UI dahulu.
”Targetnya 300 unit (sampai akhir Juni, red),” katanya.

Basari menambahkan,
sudah ada sekitar 180 RS yang meminta ventilator buatan UI tersebut.
Rencananya, ventilator itu akan disebar ke seluruh Indonesia, sesuai pesanan.
Namun, dia mengakui bahwa kebutuhan terbanyak ada di Pulau Jawa.

Tim ventilator UI juga
memberikan layanan training pengoperasian. Biasanya dilakukan setiap Sabtu dan
Minggu. Dilakukan secara online maupun tatap muka langsung oleh tim khusus.
Dari perangkat ventilator itu, sudah didaftarkan empat paten dan hak cipta ke
Kementerian Hukum dan HAM.

Rabu (24/6) lalu,
secara simbolis keluarga besar UI menyerahkan ventilator itu ke Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB). Menteri Riset dan Teknologi (Menristek) Bambang
Brodjonegoro menyampaikan apresiasi kepada tim ventilator UI. ”Covent-20
merupakan bukti kerja keras peneliti dan inovator UI,” pujinya. Dalam tempo
tiga bulan terakhir, berhasil membuat inovasi ventilator sekaligus produksinya.
Dia juga menjelaskan, saat ini sudah ada lima ventilator yang memiliki izin
edar dari Kemenkes.

Bambang mengatakan,
yang dikerjakan tim UI itu tidak bisa dibayangkan sebelumnya. Dia menegaskan
kembali, dalam waktu yang relatif singkat, mampu menghasilkan ventilator. Apalagi,
selama ini belum pernah ada pembuatan ventilator dari dalam negeri.

Bambang juga menyambut
baik kandungan lokal komponen Covent-20 yang mencapai 70 persen. Sistem
pemasaran yang melibatkan alumni sekaligus pada filantropi, menurut Bambang,
adalah skema kolaborasi yang bagus. Dia berharap dengan metode crowd funding
tersebut, ventilator karya UI itu bisa menyebar ke segenap penjuru tanah air.

Rektor UI Prof Ari Kuncoro menuturkan, pandemi
Covid-19 memerlukan mitigasi dan adaptasi lintas ilmu untuk mencari solusinya.
Inovasi Covent-20 adalah contoh nyata penerapan kolaborasi yang dinamis
melibatkan dua fakultas di UI, yakni fakultas teknik dan fakultas kedokteran.

Setelah dikebut selama
95 hari, ventilator bikinan Universitas Indonesia (UI) akhirnya selesai juga.
Siap dimanfaatkan untuk membantu penanganan pasien Covid-19. Kendati jauh lebih
murah, kualitas dan fungsinya tak kalah dengan produk luar negeri.

M. HILMI SETIAWAN, Jakarta

AWAL proyek
pembuatan ventilator, Basari benar-benar harus meluangkan waktunya. Pada Sabtu
dan Minggu sekalipun, dia tetap pergi ke kampus untuk mengerjakan ventilator
itu. ”Dari jam 9 pagi sampai jam 12 malam. Saya tinggal di Depok, ke kampus
sekitar 15–20 menit,” kata pria yang menjadi ketua tim ventilator UI itu, Jumat
(26/6).

Basari menceritakan,
pembuatan ventilator dimulai 20 Maret lalu. Saat itu ada tantangan atau
permintaan dari pimpinan UI. ”Sumbangsih apa yang bisa diberikan untuk
(penanganan, red) Covid-19,” ujar Basari mengulang tantangan yang dia terima
saat itu. Akhirnya jajaran Fakultas Teknik (FT) UI menyambut tantangan
tersebut. Mereka bertekad membuat alat kesehatan yang dapat mendukung
penanganan Covid-19.

Kemudian, tim mengkaji
dan memilih alat apa yang bakal mereka garap. Setelah melalui beberapa kajian,
mereka memutuskan akan membuat ventilator. Pertimbangannya, ventilator adalah
alat kesehatan yang sangat dibutuhkan untuk penanganan pandemi Covid-19.

Basari mulai
mengumpulkan anggota tim. Tidak hanya dari FT UI, tetapi juga dari rumpun ilmu
lainnya. Termasuk dari kalangan dokter di Fakultas Kedokteran (FK) UI. Dalam
waktu dua pekan pertama, mereka fokus membuat rancang bangun ventilator. Masuk
pekan ketiga, mereka berhasil menyelesaikan prototipe ventilator dengan bentuk
yang cukup bagus. Dimensinya 340 x 280 x 180 mm dengan bobot sekitar 3,5 kg.

Basari mengisahkan,
ventilator beragam jenisnya. Ada ventilator untuk kondisi darurat yang
ditempatkan di ICU rumah sakit (RS). Ventilator jenis itu umumnya dilengkapi
peralatan yang kompleks. Harganya mahal, bahkan sampai miliaran rupiah per
unit.

Kemudian, ada
ventilator transport darurat. Ventilator jenis ini dipakai untuk membantu
pernapasan pasien ketika berada di mobil ambulans. Misalnya saat dijemput dari
rumah ke RS. Atau dari RS ke RS rujukan. Bisa juga dimiliki sendiri untuk home
care. Ventilator jenis inilah yang akan dibuat Basari bersama timnya.

Pria kelahiran Tegal,
November 1979 itu menjelaskan, setelah prototipe jadi, masuk proses uji produk
di Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Proses tersebut dimulai 20 April sampai 29
April. ”Pada 29 April itu lolos uji. Meskipun secara legalnya 4 Mei,” terang
ketua Prodi Teknik Biomedik FT UI tersebut.

Baca Juga :  IDAI Sarankan Anak 12 Tahun ke Bawah Tak Ikut PTM

Sebelum menjalani uji
produk, ada pendampingan dari tim Kemenkes. Karena itu, saat uji produk, tidak
ada revisi atau perbaikan yang mendasar. Meskipun begitu, ada sejumlah masukan
agar ventilator tersebut memiliki hasil optimal.

Ventilator karya UI itu
memiliki dua fungsi atau multimode. Pertama, fungsi continuous positive airway
pressure (CPAP). Fungsi tersebut biasanya bermanfaat bagi pasien yang masih
sadar. Gunanya untuk membantu mengalirkan oksigen ke paru-paru.

Fungsi kedua adalah
mode continuous mandatory ventilation (CMV). Mode itu digunakan pada pasien
pneumonia berat yang tidak dapat mengatur pernapasannya sendiri, sehingga perlu
dikontrol dengan mode CMV. ”Napasnya diambil alih oleh mesin (ventilator,
red),” ucapnya. Pengujian dua mode tersebut tidak bisa paralel. Harus dilakukan
satu per satu.

Tahap berikutnya adalah
uji ke hewan. Hewan yang digunakan adalah babi. Diambil paru-parunya saja.
Diuji apakah alat tersebut bisa memompa atau mengembangkempiskan paru-paru
babi. Babi dipilih karena paru-parunya mendekati manusia. Baik dari sisi volume
maupun struktur. Pengujian pada babi ini cukup satu hari.

Setelah itu baru diuji
pada manusia. Tempat pengujiannya di RS Cipto Mangunkusumo (RSCM) dan RS UI di
Depok. Proses pengujian pada manusia ini digelar Mei dan Juni. ”Baru selesai 15
Juni lalu,” katanya. Prosesnya cukup lama. Sebab, Basari dan tim harus mencari
pasien yang kondisinya sesuai dengan indikator pada penelitian. Hasil uji itu
lalu dipresentasikan ke tim uji klinis Kemenkes. Karya Basari dan tim
dinyatakan lolos.

Saat uji klinis itu,
ada tiga unit ventilator yang digunakan. Syarat dari Kemenkes saat itu, pasien
cukup lima orang saja. Pada 19 Juni Basari sudah mengantongi izin edar. Kini
tinggal masuk pada tahap produksi. Untuk merealisasikannya, UI menggandeng PT
Graha Teknomedika, PT Enesers Mitra Berkah, dan PT Pindad.

Ventilator bernama
Covent-20 itu dibanderol dengan harga Rp25 juta. Basari mengatakan, harga
tersebut sudah mempertimbangkan biaya produksi dan ongkos pengiriman ke RS.
Harga itu sebenarnya termasuk skema donasi. ”Kalau skema komersial,
perhitungannya berbeda lagi,” ujarnya.

Namun, sampai sekarang
skema yang digunakan masih skema donasi. Harga tersebut jauh lebih murah
daripada ventilator sejenis yang beredar di pasaran. Biasanya harga pasaran
berkisar Rp100 juta sampai Rp150 juta. Untuk ventilator yang digunakan di ICU,
ungkap Basari, harganya bisa lebih dari Rp500 juta per unit.

Baca Juga :  Dinilai Sulit Diterima Akal Sehat, KPK Kecewa Tuntutan Jaksa Kasus Nov

 

Meskipun mulai
diproduksi massal, ventilator itu belum dipasarkan secara bebas. Pemasarannya
berbasis pemesanan melalui skema donasi. Uangnya dikelola Ikatan Alumni (Iluni)
UI. Jadi, dana dari para donatur atau lembaga masuk ke Iluni UI dahulu.
”Targetnya 300 unit (sampai akhir Juni, red),” katanya.

Basari menambahkan,
sudah ada sekitar 180 RS yang meminta ventilator buatan UI tersebut.
Rencananya, ventilator itu akan disebar ke seluruh Indonesia, sesuai pesanan.
Namun, dia mengakui bahwa kebutuhan terbanyak ada di Pulau Jawa.

Tim ventilator UI juga
memberikan layanan training pengoperasian. Biasanya dilakukan setiap Sabtu dan
Minggu. Dilakukan secara online maupun tatap muka langsung oleh tim khusus.
Dari perangkat ventilator itu, sudah didaftarkan empat paten dan hak cipta ke
Kementerian Hukum dan HAM.

Rabu (24/6) lalu,
secara simbolis keluarga besar UI menyerahkan ventilator itu ke Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB). Menteri Riset dan Teknologi (Menristek) Bambang
Brodjonegoro menyampaikan apresiasi kepada tim ventilator UI. ”Covent-20
merupakan bukti kerja keras peneliti dan inovator UI,” pujinya. Dalam tempo
tiga bulan terakhir, berhasil membuat inovasi ventilator sekaligus produksinya.
Dia juga menjelaskan, saat ini sudah ada lima ventilator yang memiliki izin
edar dari Kemenkes.

Bambang mengatakan,
yang dikerjakan tim UI itu tidak bisa dibayangkan sebelumnya. Dia menegaskan
kembali, dalam waktu yang relatif singkat, mampu menghasilkan ventilator. Apalagi,
selama ini belum pernah ada pembuatan ventilator dari dalam negeri.

Bambang juga menyambut
baik kandungan lokal komponen Covent-20 yang mencapai 70 persen. Sistem
pemasaran yang melibatkan alumni sekaligus pada filantropi, menurut Bambang,
adalah skema kolaborasi yang bagus. Dia berharap dengan metode crowd funding
tersebut, ventilator karya UI itu bisa menyebar ke segenap penjuru tanah air.

Rektor UI Prof Ari Kuncoro menuturkan, pandemi
Covid-19 memerlukan mitigasi dan adaptasi lintas ilmu untuk mencari solusinya.
Inovasi Covent-20 adalah contoh nyata penerapan kolaborasi yang dinamis
melibatkan dua fakultas di UI, yakni fakultas teknik dan fakultas kedokteran.

Terpopuler

Artikel Terbaru