27.3 C
Jakarta
Wednesday, April 17, 2024

Ketakutan Tak Bisa Cari Makan di Kota Picu Penyebaran Wabah ke Daerah

Ketua Pengurus
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi mengatakan, penyebaran
wabah virus korona atau Covid-19 makin masif. Bahkan bukan hanya di Jakarta dan
Jabodetabek saja yang menjadi zona merah, tetapi sudah menjalar ke 29 provinsi
di Indonesia.

Artinya, persebaran Covid-19 sudah melingkupi skala nasional.
Tercatat, data pasien pasitif Covid-19 mencapai 1.155 orang, korban meninggal
102 orang, dan sembuh 59 orang. Jumlah pasien positif diduga kuat jauh lebih
banyak dari yang dilaporkan saat ini.

Upaya pengendalian yang dilakukan pemerintah dinilai sudah
benar, seperti bekerja di rumah, tetap tinggal di rumah, jaga jarak, jaga
kesehatan, sering cuci tangan, dan lain-lain. Namun faktanya kepatuhan
masyarakat terhadap imbauan ini masih lemah.

“Akibatnya, persebaran Covid-19 makin eskalatif. Apalagi kini
makin banyak warga kota, khususnya Jabodetabek yang migrasi alias pulang
kampung dengan alasan di kota sudah tidak ada pekerjaan, tidak ada income,” ujar
Tulus Abadi dalam keterangan tertulis yang diterima JawaPos.com, Sabtu
(28/3).

Banyaknya migrasi ke kampung halaman berpotensi besar untuk
menyebarluaskan virus di daerahnya. Merespons fenomena ini, banyak daerah
memberlakukan orang dalam pemantauan (ODP) bagi pemudik, dan kewajiban isolasi
mandiri 14 hari.

Baca Juga :  Mentan dan Gubernur Tinjau Lahan Food Estate

“Bahkan beberapa kota, seperti Kota Tegal, bahkan Papua,
melakukan lockdown untuk daerahnya. Ini langkah
antisipatif yang sangat bagus untuk memutus mata rantai persebaran, agar tak
mengokupasi daerahnya,” katanya.

Jabodetabek Harus
Di-Lockdown

Oleh karena itu, menurut Tulus, hal yang sangat mendesak adalah pemerintah
pusat membebaskan setiap pimpinan daerah untuk melakukan karantina wilayah, lockdown. Apalagi
untuk Jakarta dan Bodetabek, karantina wilayah adalah suatu keharusan.

“Mengingat Jakarta dan Bodetabek adalah zona merah, terutama
Kota Jakarta. Pemerintah Pusat seharusnya membebaskan dan bahkan mendorong agar
Jabodetabek segera dikarantina,” ungkapnya.

Menurutnya jika tidak dikarantina alias sebatas imbauan, maka
bukan hanya warga Jakarta dan sekitarnya yang makin banyak terinfeksi. Akan
tetapi, menyebar ke seluruh Indonesia, mengingat akan makin banyak warga
Jakarta bermigrasi ke daerah, untuk ‘mudik’.

“Jadi tak cukup hanya imbauan tapi perlu kebijakan yang tegas,
dan bahkan perlu sanksi bagi yang melanggarnya,” tuturnya.

Masalah lain yang muncul jika Jabodetabek tidak lockdown yaitu
sistem kesehatan nasional akan semakin kedodoran, karena tak mampu menampung
lonjakan pasien. Apalagi sudah banyak tenaga medis tumbang karena terinfeksi
Covid-19. Ada tujuh orang dokter meninggal dunia karena virus tersebut.

Baca Juga :  Antrean Mengular, Pelaksanaan Vaksinasi di GOR Ciracas Nyaris Ricuh

Tulus juga melihat, sudah banyak kasus pasien Covid-19 meninggal
dunia di tengah jalan akibat rumah sakit rujukan tak mampu lagi menampung
banyaknya pasien. “Bahkan efeknya banyak pasien dan calon pasien nonCovid-19
yang terbengkalai dan akhirnya meninggal dunia, karena tenaga medis di rumah
sakit energinya terkuras untuk menangani pasien,” katanya.

Keberadaan tenaga medis juga makin tersudutkan manakala
ketersediaan APD (Alat Pelindung Diri) makin terbatas. Dan tenaga medis tak mungkin
merawat pasien Covid-19 tanpa dilindungi dengan APD yang standar, bukan jas
hujan.

“Jika tenaga medis tertular karena minimnya APD, maka risikonya:
bisa menularkan ke pasien lain, menularkan ke keluarganya, dan tidak bisa
menolong pasien. Dan akhirnya korban pasien Covid-19 makin tak terbendung,
makin eskalatif,” tuturnya.

Karantina wilayah (lockdown) memang
pilihan sulit dan bahkan pahit. Tetapi jika tak dilakukan lockdown, dampak
ekonominya pun akan lebih pahit.
 

Ketua Pengurus
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi mengatakan, penyebaran
wabah virus korona atau Covid-19 makin masif. Bahkan bukan hanya di Jakarta dan
Jabodetabek saja yang menjadi zona merah, tetapi sudah menjalar ke 29 provinsi
di Indonesia.

Artinya, persebaran Covid-19 sudah melingkupi skala nasional.
Tercatat, data pasien pasitif Covid-19 mencapai 1.155 orang, korban meninggal
102 orang, dan sembuh 59 orang. Jumlah pasien positif diduga kuat jauh lebih
banyak dari yang dilaporkan saat ini.

Upaya pengendalian yang dilakukan pemerintah dinilai sudah
benar, seperti bekerja di rumah, tetap tinggal di rumah, jaga jarak, jaga
kesehatan, sering cuci tangan, dan lain-lain. Namun faktanya kepatuhan
masyarakat terhadap imbauan ini masih lemah.

“Akibatnya, persebaran Covid-19 makin eskalatif. Apalagi kini
makin banyak warga kota, khususnya Jabodetabek yang migrasi alias pulang
kampung dengan alasan di kota sudah tidak ada pekerjaan, tidak ada income,” ujar
Tulus Abadi dalam keterangan tertulis yang diterima JawaPos.com, Sabtu
(28/3).

Banyaknya migrasi ke kampung halaman berpotensi besar untuk
menyebarluaskan virus di daerahnya. Merespons fenomena ini, banyak daerah
memberlakukan orang dalam pemantauan (ODP) bagi pemudik, dan kewajiban isolasi
mandiri 14 hari.

Baca Juga :  Mentan dan Gubernur Tinjau Lahan Food Estate

“Bahkan beberapa kota, seperti Kota Tegal, bahkan Papua,
melakukan lockdown untuk daerahnya. Ini langkah
antisipatif yang sangat bagus untuk memutus mata rantai persebaran, agar tak
mengokupasi daerahnya,” katanya.

Jabodetabek Harus
Di-Lockdown

Oleh karena itu, menurut Tulus, hal yang sangat mendesak adalah pemerintah
pusat membebaskan setiap pimpinan daerah untuk melakukan karantina wilayah, lockdown. Apalagi
untuk Jakarta dan Bodetabek, karantina wilayah adalah suatu keharusan.

“Mengingat Jakarta dan Bodetabek adalah zona merah, terutama
Kota Jakarta. Pemerintah Pusat seharusnya membebaskan dan bahkan mendorong agar
Jabodetabek segera dikarantina,” ungkapnya.

Menurutnya jika tidak dikarantina alias sebatas imbauan, maka
bukan hanya warga Jakarta dan sekitarnya yang makin banyak terinfeksi. Akan
tetapi, menyebar ke seluruh Indonesia, mengingat akan makin banyak warga
Jakarta bermigrasi ke daerah, untuk ‘mudik’.

“Jadi tak cukup hanya imbauan tapi perlu kebijakan yang tegas,
dan bahkan perlu sanksi bagi yang melanggarnya,” tuturnya.

Masalah lain yang muncul jika Jabodetabek tidak lockdown yaitu
sistem kesehatan nasional akan semakin kedodoran, karena tak mampu menampung
lonjakan pasien. Apalagi sudah banyak tenaga medis tumbang karena terinfeksi
Covid-19. Ada tujuh orang dokter meninggal dunia karena virus tersebut.

Baca Juga :  Antrean Mengular, Pelaksanaan Vaksinasi di GOR Ciracas Nyaris Ricuh

Tulus juga melihat, sudah banyak kasus pasien Covid-19 meninggal
dunia di tengah jalan akibat rumah sakit rujukan tak mampu lagi menampung
banyaknya pasien. “Bahkan efeknya banyak pasien dan calon pasien nonCovid-19
yang terbengkalai dan akhirnya meninggal dunia, karena tenaga medis di rumah
sakit energinya terkuras untuk menangani pasien,” katanya.

Keberadaan tenaga medis juga makin tersudutkan manakala
ketersediaan APD (Alat Pelindung Diri) makin terbatas. Dan tenaga medis tak mungkin
merawat pasien Covid-19 tanpa dilindungi dengan APD yang standar, bukan jas
hujan.

“Jika tenaga medis tertular karena minimnya APD, maka risikonya:
bisa menularkan ke pasien lain, menularkan ke keluarganya, dan tidak bisa
menolong pasien. Dan akhirnya korban pasien Covid-19 makin tak terbendung,
makin eskalatif,” tuturnya.

Karantina wilayah (lockdown) memang
pilihan sulit dan bahkan pahit. Tetapi jika tak dilakukan lockdown, dampak
ekonominya pun akan lebih pahit.
 

Terpopuler

Artikel Terbaru