25.2 C
Jakarta
Saturday, April 20, 2024

Menristekdikti Ancam Sanksi Dosen dan Rektor Dinilai Mirip dengan Cara

DEMONSTRASI mahasiswa yang meluas di berbagai daerah
membuat pemerintah gerah. Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi
(Menristekdikti) M. Nasir meminta para rektor mencegah mahasiswa kembali turun
ke jalan. Jika gagal, dia mengancam akan memberikan sanksi.

Nasir menyampaikan hal itu setelah bertemu dengan Presiden Joko Widodo di
Istana Presiden Jakarta kemarin (26/9). Presiden memerintah Nasir untuk
mengajak mahasiswa mengedepankan dialog. “Arahannya adalah jangan sampai kita
menggerakkan massa, jangan sampai kita melakukan sesuatu yang tidak
diinginkan,” ujarnya.

Sanksi bagi rektor bergantung pada kondisinya. Jika terbukti melakukan
pengerahan, sanksinya akan keras. ”Sanksi keras ada dua, bisa SP (surat
peringatan) pertama, SP kedua. Kalau sampai menyebabkan kerugian pada negara
dan sebagainya, ini bisa tindakan hukum,” imbuhnya.

Dia beralasan, aksi demonstrasi mahasiswa bukan cara yang tepat. Sebab,
dikhawatirkan ada kelompok lain yang memanfaatkan. Menurut Nasir, tuntutan
mahasiswa sudah diakomodasi DPR melalui beberapa pertemuan. ”Jangan sampai ada
para penunggang gelap,” ujar mantan rektor Universitas Diponegoro itu.

Baca Juga :  Ingat, Penyeleweng Dana Wabah Covid-19 Bakal Dihukum Mati

Hari ini Nasir dijadwalkan mengisi kuliah umum di Universitas Negeri
Semarang. Dalam kesempatan itu, menteri berusia 59 tahun tersebut sekaligus
akan mengajak mahasiswa berdialog. Membahas dan menjelaskan RUU yang menjadi
kontroversi di masyarakat. Nasir tidak menutup kemungkinan akan melakukan road
show ke kampus-kampus.

Gerakan mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi BEM Mahasiswa melakukan
unjuk rasa di depan Kantor DPRD Jawa Timur, Surabaya, Rabu (25/9). Ribuan
mahasiswa yang datang menyampaikan enam tututan mahasiswa yang disuarakan yaitu
mendesak pemerintah menerbitkan Perppu pembatalan UU KPK,  (Ahmad Khusaini /Jawa Pos)

Pernyataan Menristekdikti tersebut menuai kritik. Dosen Fakultas Kehutanan
Institut Pertanian Bogor Basuki Wasis yang mewakili Kaukus Kebebasan Akademik
Indonesia menegaskan bahwa mahasiswa dan akademisi di kampus memiliki kebebasan
untuk menyampaikan pendapat. Kemudian, tradisi berpikir kritis merupakan upaya
pengembangan pengetahuan ilmu dan teknologi. Ancaman sanksi yang disampaikan
Menristekdikti, kata dia, bertentangan dengan Prinsip-Prinsip Surabaya untuk
Kebebasan Akademis yang digagas pada 2017.

Baca Juga :  Penembak Mahasiswa Demo Mulai Terungkap, Karo Provost: Ada Petugas Baw

“Mendesak kepada Presiden Jokowi dan Menristekdikti untuk meminta maaf,”
katanya.

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati juga
menilai kebijakan tersebut tak hanya tidak tepat, tapi juga inkonstitusional.
”Ini tindakan melanggar hukum UU No 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan
Menyampaikan Pendapat di Depan Umum,” ujarnya.

Menurut Asfin, kebijakan tersebut akan menambah rentetan kesalahan sikap
pemerintah dalam merespons aksi mahasiswa. Sebelumnya, negara justru menanggapi
aksi demo mahasiswa dengan kekerasan, pengejaran, dan penangkapan. ”Bahkan, ada
yang sedang makan saja ditangkap,” ungkapnya.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR) Ujang
Komarudin mengingatkan pemerintah agar tidak menggunakan cara-cara Orde Baru
untuk membungkam suara mahasiswa dengan menjatuhkan sanksi kepada rektor.
Sebab, itu adalah cermin kemunduran dalam berdemokrasi.

“Jika Menristekdikti menekan mahasiswa melalui rektor, itu sudah keliru.
Menteri berlaku otoriter,” ujarnya. (JPC/KPC)

DEMONSTRASI mahasiswa yang meluas di berbagai daerah
membuat pemerintah gerah. Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi
(Menristekdikti) M. Nasir meminta para rektor mencegah mahasiswa kembali turun
ke jalan. Jika gagal, dia mengancam akan memberikan sanksi.

Nasir menyampaikan hal itu setelah bertemu dengan Presiden Joko Widodo di
Istana Presiden Jakarta kemarin (26/9). Presiden memerintah Nasir untuk
mengajak mahasiswa mengedepankan dialog. “Arahannya adalah jangan sampai kita
menggerakkan massa, jangan sampai kita melakukan sesuatu yang tidak
diinginkan,” ujarnya.

Sanksi bagi rektor bergantung pada kondisinya. Jika terbukti melakukan
pengerahan, sanksinya akan keras. ”Sanksi keras ada dua, bisa SP (surat
peringatan) pertama, SP kedua. Kalau sampai menyebabkan kerugian pada negara
dan sebagainya, ini bisa tindakan hukum,” imbuhnya.

Dia beralasan, aksi demonstrasi mahasiswa bukan cara yang tepat. Sebab,
dikhawatirkan ada kelompok lain yang memanfaatkan. Menurut Nasir, tuntutan
mahasiswa sudah diakomodasi DPR melalui beberapa pertemuan. ”Jangan sampai ada
para penunggang gelap,” ujar mantan rektor Universitas Diponegoro itu.

Baca Juga :  Ingat, Penyeleweng Dana Wabah Covid-19 Bakal Dihukum Mati

Hari ini Nasir dijadwalkan mengisi kuliah umum di Universitas Negeri
Semarang. Dalam kesempatan itu, menteri berusia 59 tahun tersebut sekaligus
akan mengajak mahasiswa berdialog. Membahas dan menjelaskan RUU yang menjadi
kontroversi di masyarakat. Nasir tidak menutup kemungkinan akan melakukan road
show ke kampus-kampus.

Gerakan mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi BEM Mahasiswa melakukan
unjuk rasa di depan Kantor DPRD Jawa Timur, Surabaya, Rabu (25/9). Ribuan
mahasiswa yang datang menyampaikan enam tututan mahasiswa yang disuarakan yaitu
mendesak pemerintah menerbitkan Perppu pembatalan UU KPK,  (Ahmad Khusaini /Jawa Pos)

Pernyataan Menristekdikti tersebut menuai kritik. Dosen Fakultas Kehutanan
Institut Pertanian Bogor Basuki Wasis yang mewakili Kaukus Kebebasan Akademik
Indonesia menegaskan bahwa mahasiswa dan akademisi di kampus memiliki kebebasan
untuk menyampaikan pendapat. Kemudian, tradisi berpikir kritis merupakan upaya
pengembangan pengetahuan ilmu dan teknologi. Ancaman sanksi yang disampaikan
Menristekdikti, kata dia, bertentangan dengan Prinsip-Prinsip Surabaya untuk
Kebebasan Akademis yang digagas pada 2017.

Baca Juga :  Penembak Mahasiswa Demo Mulai Terungkap, Karo Provost: Ada Petugas Baw

“Mendesak kepada Presiden Jokowi dan Menristekdikti untuk meminta maaf,”
katanya.

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati juga
menilai kebijakan tersebut tak hanya tidak tepat, tapi juga inkonstitusional.
”Ini tindakan melanggar hukum UU No 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan
Menyampaikan Pendapat di Depan Umum,” ujarnya.

Menurut Asfin, kebijakan tersebut akan menambah rentetan kesalahan sikap
pemerintah dalam merespons aksi mahasiswa. Sebelumnya, negara justru menanggapi
aksi demo mahasiswa dengan kekerasan, pengejaran, dan penangkapan. ”Bahkan, ada
yang sedang makan saja ditangkap,” ungkapnya.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR) Ujang
Komarudin mengingatkan pemerintah agar tidak menggunakan cara-cara Orde Baru
untuk membungkam suara mahasiswa dengan menjatuhkan sanksi kepada rektor.
Sebab, itu adalah cermin kemunduran dalam berdemokrasi.

“Jika Menristekdikti menekan mahasiswa melalui rektor, itu sudah keliru.
Menteri berlaku otoriter,” ujarnya. (JPC/KPC)

Terpopuler

Artikel Terbaru