28.8 C
Jakarta
Thursday, April 25, 2024

NU dan Muhammadiyah Mundur dari Program Organisasi Penggerak, Ini Alas

KALTENGPOS.CO – Lembaga Pendidikan Maarif NU dan Majelis Pendidikan
Muhammadiyah menyatakan mundur dari Program Organisasi Penggerak (POP).

NU maupun Muhammadiyah sebelumnya
memandang POP yang digagas Kemendikbud merupakan program serius dalam
peningkatan kualitas pendidikan dan penguatan sumber daya manusia, terutama
para aktor-aktor pendidikan.

Melihat permasalahan dan
tantangan serta harapan masa depan pendidikan di Indonesia, sebagai salah satu
garda terdepan bangsa LP Maarif dan Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah
Pimpinan Pusat Muhammadiyah terpanggil ikut bersama dalam mewujudkan perubahan
pendidikan tersebut dengan melatih kepala sekolah dan guru penggerak mewujudkan
perubahan pendidikan.

Setelah mengikuti proses dalam
program organisasi penggerak Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan
(GTK) Kemdikbud RI, maka Maarif dan Majelis Pendidikan Muhammadiyah menyatakan
menarik diri dalam keikutsertaan program Kemdikbud tersebut.

Ketua PP LP Maarif, Arifin
Junaidi menyatakan keputusan tersebut diambil setelah berkonsultasi dan
mendapat pengarahan dari Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj. “PBNU
menyayangkan program organisasi penggerak pendidikan, tapi seleksinya dilakukan
secara serampangan,” kata Arifin, Rabu 22 Desember 2020.

Menurut  Arifin, sejak awal program ini aneh. LP
Maarif  ditelepon untuk mengajukan
proposal dua hari sebelum penutupan.

“Kami nyatakan tidak bisa
bikin proposal dengan berbagai macam syarat dalam waktu singkat, tapi kami
diminta ajukan saja, syarat-syaratnya menyusul. Kemudian pada 5 Maret 2020,
lewat website mereka proposal kami dinyatakan ditolak. Kami dihubungi lagi
untuk melengkapi syarat syarat, kami diminta pakai badan hukum sendiri, bukan
badan hukum NU, kami menolak dan kami jelaskan badan hukum kami NU,”
katanya.

Baca Juga :  Bamsoet Dorong Pemerintah Siapkan Rp 1.600 T untuk Tangani Covid-19

Pada keesokannya, Arifin
menambahkan, bahwa Arifin diminta menyerahkan surat kuasa dari PBNU, dia pun
menolak karena sesuai AD/ART tidak perlu surat kuasa. Tapi terus didesak,
akhirnya minta surat kuasa dan memasukkannya di detik-detik terakhir.

“Rabu 22 Juli 2020  tadi pagi kami dihubungi untuk ikut rakor
POP. Padahal kami belum dapat SK peserta POP,” kata orang dekat Gus Dur
yang dipanggil Arjuna ini.

LP Maarif maupun Muhammadiyah
menyatakan mundur setelah melihat banyak sekali organisasi/yayasan yang tidak
jelas ditetapkan sebagai penerima POP.

Disamping alasan tersebut, LP
Maarif sedang menyelenggarakan program pelatihan sebanyak 21.000 kepala
sekolah. “Meski kami tidak ikut POP, kami tetap melaksanakan program
penggerak secara mandiri,” kata Arjuna.

Sementara itu, surat pengunduran
diri Majelis Pendidikan Muhammadiyah yang ditandatangani Ketua, Kasiyarno,
menyebutkan bahwa Muhammadiyah mundur setelah penerima POP dinilai campur aduk.

Baca Juga :  Beginilah Peta Aliran Dana Jaringan ISIS di Indonesia

“Tidak ada pemisahan antara
lembaga pendidikan, yayasan, LSM, dan CSR. CSR yang seharusnya memberikan
bantuan malah menerima bantuan dari pemerintah,”kata Kasiyarno.

Tidak jelasnya penerima POP itu,
maka Muhammadiyah berpendirian lebih baik fokus mengurusi 30.000 satuan
pendidikanya sendiri.

Menanggapi hal itu, Ketua Komisi
X DPR RI, Syaiful Huda sebelumnya mempertanyakan masuknya Sampoerna Foundation
dan Tanoto Foundation sebagai mitra Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
(Kemendikbud) dalam Program Organisasi Penggerak (POP).  Dua entitas bisnis ini masuk dalam kategori
Gajah yang bisa mendapatkan hibah hingga Rp20 miliar per tahun.

“Dengan demikian Sampoerna
Foundation maupun Tanoto Foundation masing-masing bisa mendapatkan anggaran
hingga Rp20 miliar untuk menyelenggarakan pelatihan bagi para guru penggerak di
lebih 100 sekolah,” kata Huda kepada wartawan, Rabu 22 Juli 2020.

Politikus PKB ini merasa aneh,
ketika yayasan dari perusahaan raksasa bisa menerima anggaran dari pemerintah
untuk menyelenggarakan pelatihan guru. Padahal, kata Huda, yayasan tersebut
didirikan sebagai bagian dari tanggung jawab sosial perusahaan corporate social
responsibility (CSR).

“Ini Mereka malah menerima dana
atau anggaran negara untuk membiayai aktivitas melatih para guru. Logikanya
sebagai CSR, yayasan perusahaan tersebut justru bisa memberikan pelatihan guru
dengan biaya mandiri,” ujarnya.

KALTENGPOS.CO – Lembaga Pendidikan Maarif NU dan Majelis Pendidikan
Muhammadiyah menyatakan mundur dari Program Organisasi Penggerak (POP).

NU maupun Muhammadiyah sebelumnya
memandang POP yang digagas Kemendikbud merupakan program serius dalam
peningkatan kualitas pendidikan dan penguatan sumber daya manusia, terutama
para aktor-aktor pendidikan.

Melihat permasalahan dan
tantangan serta harapan masa depan pendidikan di Indonesia, sebagai salah satu
garda terdepan bangsa LP Maarif dan Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah
Pimpinan Pusat Muhammadiyah terpanggil ikut bersama dalam mewujudkan perubahan
pendidikan tersebut dengan melatih kepala sekolah dan guru penggerak mewujudkan
perubahan pendidikan.

Setelah mengikuti proses dalam
program organisasi penggerak Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan
(GTK) Kemdikbud RI, maka Maarif dan Majelis Pendidikan Muhammadiyah menyatakan
menarik diri dalam keikutsertaan program Kemdikbud tersebut.

Ketua PP LP Maarif, Arifin
Junaidi menyatakan keputusan tersebut diambil setelah berkonsultasi dan
mendapat pengarahan dari Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj. “PBNU
menyayangkan program organisasi penggerak pendidikan, tapi seleksinya dilakukan
secara serampangan,” kata Arifin, Rabu 22 Desember 2020.

Menurut  Arifin, sejak awal program ini aneh. LP
Maarif  ditelepon untuk mengajukan
proposal dua hari sebelum penutupan.

“Kami nyatakan tidak bisa
bikin proposal dengan berbagai macam syarat dalam waktu singkat, tapi kami
diminta ajukan saja, syarat-syaratnya menyusul. Kemudian pada 5 Maret 2020,
lewat website mereka proposal kami dinyatakan ditolak. Kami dihubungi lagi
untuk melengkapi syarat syarat, kami diminta pakai badan hukum sendiri, bukan
badan hukum NU, kami menolak dan kami jelaskan badan hukum kami NU,”
katanya.

Baca Juga :  Bamsoet Dorong Pemerintah Siapkan Rp 1.600 T untuk Tangani Covid-19

Pada keesokannya, Arifin
menambahkan, bahwa Arifin diminta menyerahkan surat kuasa dari PBNU, dia pun
menolak karena sesuai AD/ART tidak perlu surat kuasa. Tapi terus didesak,
akhirnya minta surat kuasa dan memasukkannya di detik-detik terakhir.

“Rabu 22 Juli 2020  tadi pagi kami dihubungi untuk ikut rakor
POP. Padahal kami belum dapat SK peserta POP,” kata orang dekat Gus Dur
yang dipanggil Arjuna ini.

LP Maarif maupun Muhammadiyah
menyatakan mundur setelah melihat banyak sekali organisasi/yayasan yang tidak
jelas ditetapkan sebagai penerima POP.

Disamping alasan tersebut, LP
Maarif sedang menyelenggarakan program pelatihan sebanyak 21.000 kepala
sekolah. “Meski kami tidak ikut POP, kami tetap melaksanakan program
penggerak secara mandiri,” kata Arjuna.

Sementara itu, surat pengunduran
diri Majelis Pendidikan Muhammadiyah yang ditandatangani Ketua, Kasiyarno,
menyebutkan bahwa Muhammadiyah mundur setelah penerima POP dinilai campur aduk.

Baca Juga :  Beginilah Peta Aliran Dana Jaringan ISIS di Indonesia

“Tidak ada pemisahan antara
lembaga pendidikan, yayasan, LSM, dan CSR. CSR yang seharusnya memberikan
bantuan malah menerima bantuan dari pemerintah,”kata Kasiyarno.

Tidak jelasnya penerima POP itu,
maka Muhammadiyah berpendirian lebih baik fokus mengurusi 30.000 satuan
pendidikanya sendiri.

Menanggapi hal itu, Ketua Komisi
X DPR RI, Syaiful Huda sebelumnya mempertanyakan masuknya Sampoerna Foundation
dan Tanoto Foundation sebagai mitra Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
(Kemendikbud) dalam Program Organisasi Penggerak (POP).  Dua entitas bisnis ini masuk dalam kategori
Gajah yang bisa mendapatkan hibah hingga Rp20 miliar per tahun.

“Dengan demikian Sampoerna
Foundation maupun Tanoto Foundation masing-masing bisa mendapatkan anggaran
hingga Rp20 miliar untuk menyelenggarakan pelatihan bagi para guru penggerak di
lebih 100 sekolah,” kata Huda kepada wartawan, Rabu 22 Juli 2020.

Politikus PKB ini merasa aneh,
ketika yayasan dari perusahaan raksasa bisa menerima anggaran dari pemerintah
untuk menyelenggarakan pelatihan guru. Padahal, kata Huda, yayasan tersebut
didirikan sebagai bagian dari tanggung jawab sosial perusahaan corporate social
responsibility (CSR).

“Ini Mereka malah menerima dana
atau anggaran negara untuk membiayai aktivitas melatih para guru. Logikanya
sebagai CSR, yayasan perusahaan tersebut justru bisa memberikan pelatihan guru
dengan biaya mandiri,” ujarnya.

Terpopuler

Artikel Terbaru