32.1 C
Jakarta
Wednesday, April 24, 2024

Pemerintah Diminta Penuhi Putusan MA terkait Karhutla di Kalteng

MAHKAMAH Agung akhirnya memenangkan warga dalam gugatan citizen lawsuit (CLS) Karhutla di Kalimantan Tengah, pada tingkat Kasasi. Putusan ini
tertuang dalam Nomor Perkara 3555 K/PDT/2018 yang diketok pada 16 Juli 2019.
Presiden dan para tergugat diminta mengeluarkan peraturan pelaksana dari Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU
PPLH).

Selain memutuskan bahwa
pemerintah telah melakukan perbuatan melawan hukum. Putusan perkara ini juga
menghukum Pemerintah Indonesia atau tergugat untuk memenuhi 10 tuntutan
penggugat.

Direktur Eksekutif Nasional
Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Nur Hidayati mengatakan, tuntutan yang diminta
penggugat memenuhi hak warga atas lingkungan yang baik dan bersih, serta
melaksanakan perundangan tentang PPLH yang disahkan sejak 2009 yang tidak
dibuatkan peraturan pelaksananya oleh pemerintah.

“Sehingga UU tersebut tidak
berlaku maksimal dalam mencegah kerusakan lingkungan hidup. Berkaitan dengan
Karhutla, ada 7 Peraturan Pemerintah (PP) yang harus dibuat pemerintah,”
ujar Direktur Eksekutif Walhi Nur Hidayati di Jakarta, Minggu (21/7).

Pemerintah Indonesia berkewajiban
membentuk tim gabungan melakukan evaluasi terhadap perizinan penyebab
kebakaran, penegakan hukum serta upaya pencegahan kebakaran. Membebaskan biaya
pengobatan korban asap, serta menyediakan tempat dan mekanisme evakuasi bagi
korban asap.

Baca Juga :  Ini Bocoran tentang Evaluasi UN dari Menteri Nadiem

“Tergugat melakukan upaya
yang menjamin keselamatan warga dari dampak Karhutla, dengan mendirikan rumah
sakit khusus paru dan dampak asap,” jelas Nur Hidayati.

Selain itu, perlu diperhatikan
pelaksanaan keterbukaan informasi, bahwa tergugat wajib mengumumkan kepada
publik wilayah yang terbakar dan perusahaan yang terlibat. Termasuk dana
penanggulangan Karhutla oleh perusahaan yang terlibat.

Sementara itu, Direktur Eksekutif
Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) Henri Subagiyo juga ikut
menanggapi putusan tersebut. Menurutnya, seharusnya hal itu menjadi bahan
pemerintah pusat dan pemerintah provinsi untuk memperkuat langkah-langkah
penanggulangan Karhutla.

Adanya putusan ini, pemerintah
perlu melihat kembali upaya yang harus diperkuat, misalnya segera mempercepat
penerbitan regulasi sebagaimana yang ditentukan. Peraturan yang dituntutkan
oleh warga, notabene juga merupakan mandat UU 32/2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup untuk segera diterbitkan.

Baca Juga :  19 Ribu Desa Belum Memiliki PAUD

“Jadi, tuntutan-tuntutan
warga tersebut sesungguhnya tidaklah berlebihan, karena warga menuntut regulasi
yang seharusnya dibuat atas perintah UU itu sendiri,” ungkap Henri
Subagiyo.

Penggugat sekaligus Aktivis
Greenpeace Indonesia Arie Rompas menyatakan, putusan Mahkamah Agung ini harus
segera ditindak lanjuti karena sudah berkuatan hukum tetap dan untuk menjamin
rasa keadilan bagi warga negara untuk memiliki kepastian hukum.

“Karena putusannya adalah
membuat dan memperbaiki kebijakan, maka seharusnya ini bisa dijalankan,”
tutur Arie Rompas.

Hal yang sifatnya segera bisa
diutamakan seperti penegakan hukum, membuka nama-nama perusahaan pembakar
hutan, dan fasilitas penunjang dan tempat evakuasi. Karena, kebakaran hutan dan
lahan termasuk di Kalimantan Tengah masih dan sudah mulai muncul dan terus
mengancam.

“Sebaiknya pemerintah tidak
lagi mengambil langkah untuk peninjauan kembali (PK). Seharusnya eksekusi
putusan memang sudah harus di jalankan. Ini bisa menjadi langkah maju untuk
penegakan supremasi hukum dalam pemerintahan yang baru,” ucap Rio, sapaan
akrabnya. (dan/indopos/kpc)

MAHKAMAH Agung akhirnya memenangkan warga dalam gugatan citizen lawsuit (CLS) Karhutla di Kalimantan Tengah, pada tingkat Kasasi. Putusan ini
tertuang dalam Nomor Perkara 3555 K/PDT/2018 yang diketok pada 16 Juli 2019.
Presiden dan para tergugat diminta mengeluarkan peraturan pelaksana dari Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU
PPLH).

Selain memutuskan bahwa
pemerintah telah melakukan perbuatan melawan hukum. Putusan perkara ini juga
menghukum Pemerintah Indonesia atau tergugat untuk memenuhi 10 tuntutan
penggugat.

Direktur Eksekutif Nasional
Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Nur Hidayati mengatakan, tuntutan yang diminta
penggugat memenuhi hak warga atas lingkungan yang baik dan bersih, serta
melaksanakan perundangan tentang PPLH yang disahkan sejak 2009 yang tidak
dibuatkan peraturan pelaksananya oleh pemerintah.

“Sehingga UU tersebut tidak
berlaku maksimal dalam mencegah kerusakan lingkungan hidup. Berkaitan dengan
Karhutla, ada 7 Peraturan Pemerintah (PP) yang harus dibuat pemerintah,”
ujar Direktur Eksekutif Walhi Nur Hidayati di Jakarta, Minggu (21/7).

Pemerintah Indonesia berkewajiban
membentuk tim gabungan melakukan evaluasi terhadap perizinan penyebab
kebakaran, penegakan hukum serta upaya pencegahan kebakaran. Membebaskan biaya
pengobatan korban asap, serta menyediakan tempat dan mekanisme evakuasi bagi
korban asap.

Baca Juga :  Ini Bocoran tentang Evaluasi UN dari Menteri Nadiem

“Tergugat melakukan upaya
yang menjamin keselamatan warga dari dampak Karhutla, dengan mendirikan rumah
sakit khusus paru dan dampak asap,” jelas Nur Hidayati.

Selain itu, perlu diperhatikan
pelaksanaan keterbukaan informasi, bahwa tergugat wajib mengumumkan kepada
publik wilayah yang terbakar dan perusahaan yang terlibat. Termasuk dana
penanggulangan Karhutla oleh perusahaan yang terlibat.

Sementara itu, Direktur Eksekutif
Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) Henri Subagiyo juga ikut
menanggapi putusan tersebut. Menurutnya, seharusnya hal itu menjadi bahan
pemerintah pusat dan pemerintah provinsi untuk memperkuat langkah-langkah
penanggulangan Karhutla.

Adanya putusan ini, pemerintah
perlu melihat kembali upaya yang harus diperkuat, misalnya segera mempercepat
penerbitan regulasi sebagaimana yang ditentukan. Peraturan yang dituntutkan
oleh warga, notabene juga merupakan mandat UU 32/2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup untuk segera diterbitkan.

Baca Juga :  19 Ribu Desa Belum Memiliki PAUD

“Jadi, tuntutan-tuntutan
warga tersebut sesungguhnya tidaklah berlebihan, karena warga menuntut regulasi
yang seharusnya dibuat atas perintah UU itu sendiri,” ungkap Henri
Subagiyo.

Penggugat sekaligus Aktivis
Greenpeace Indonesia Arie Rompas menyatakan, putusan Mahkamah Agung ini harus
segera ditindak lanjuti karena sudah berkuatan hukum tetap dan untuk menjamin
rasa keadilan bagi warga negara untuk memiliki kepastian hukum.

“Karena putusannya adalah
membuat dan memperbaiki kebijakan, maka seharusnya ini bisa dijalankan,”
tutur Arie Rompas.

Hal yang sifatnya segera bisa
diutamakan seperti penegakan hukum, membuka nama-nama perusahaan pembakar
hutan, dan fasilitas penunjang dan tempat evakuasi. Karena, kebakaran hutan dan
lahan termasuk di Kalimantan Tengah masih dan sudah mulai muncul dan terus
mengancam.

“Sebaiknya pemerintah tidak
lagi mengambil langkah untuk peninjauan kembali (PK). Seharusnya eksekusi
putusan memang sudah harus di jalankan. Ini bisa menjadi langkah maju untuk
penegakan supremasi hukum dalam pemerintahan yang baru,” ucap Rio, sapaan
akrabnya. (dan/indopos/kpc)

Terpopuler

Artikel Terbaru