30 C
Jakarta
Thursday, March 28, 2024

Bukan Lagi Kaum Nomor Dua, Perempuan Kini Bisa Sejajar dengan Pria

PEREMPUAN masa kini semakin berdaya dan menunjukkan kemampuannya untuk bisa sejajar dengan pria. Perempuan bukan lagi kelompok nomor dua setelah pria yang hanya berada di dapur untuk sekadar memasak atau melayani rumah tangga.

Hal itu diungkap oleh Pegiat Perempuan Anindia Restuviani dari Jakarta Feminist dan Duta Besar Canada Mission Ambassador Diedrah Kelly baru-baru ini saat berbincang dengan JawaPos.com. Hal itu terbukti dari posisi perempuan yang sudah memegang peranan strategis di berbagai aspek kehidupan.

Jaringan Aksi Feminis Asia Tenggara (SEAFAM) dimulai pada Agustus 2020 untuk membangun dan memperkuat gerakan feminis di Asia Tenggara, dengan fokus awal di Indonesia, Malaysia, dan Filipina. Ketiga negara tersebut saat ini menghadapi tantangan signifikan dalam hal demokrasi dan hak asasi manusia.

Masalah-masalah tersebut ditandai dengan rezim pemerintahan yang semakin menindas, meningkatnya pembatasan kebebasan berbicara dan berserikat, munculnya kelompok-kelompok intoleran dan ultra-konservatif, penganiayaan terhadap para pembela hak asasi manusia, serta tingginya diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan dan kelompok terpinggirkan lainnya. Menghadapi situasi ini, mereka membangun gerakan solidaritas untuk mendukung dan memperkuat kerja feminis di seluruh Asia Tenggara.

Duta Besar Canada Mission Ambassador Diedrah Kelly mengatakan isu kesetaraan gender di Asean dan Asia Tenggara, ada banyak tantangan mendasar bagi perempuan untuk bisa setara. Pertama soal partisipasi keterlibatan perempuan di pemerintahan dan politik.

“Saya tak mau membandingkan isu kesetaraan gender antara satu negara dengan negara lainnya. Namun kini semakin banyak perempuan di Asia Tenggara terlibat dalam level politik atau pemerintahan. Lalu juga ada beberapa perempuan duduk di jabatan strategis dalam pemerintahan termasuk di Indonesia,” jelas Duta Besar Kelly.

Ia menambahkan banyak sektor lainnya, ada kesamaan dan ada tantangan dalam mengakses kebutuhan dasar. Salah satunya dalam layanan kesehatan masih banyak tantangan. Ada juga tantangan soal akses pendidikan untuk bisa setara dengan pria.

Baca Juga :  Wah! Biaya Umrah Diprediksi Naik 3 Kali Lipat, Bisa Capai Rp60 Juta

“Dan tapi banyak perbaikan saat ini. Progressnya sudah mulai terlihat meskipun kita masih menghadapi tantangan di tengah pandemi seperti akses pendidikan dan resiko ekonomi,” paparnya.

Lalu menurut Duta Besar Kelly, ada juga tantangan lain yang dihadapi perempuan seperti batasan di dalam rumah tangga pada perempuan. Dan juga isu tantangan pada ibu yang bekerja atau pasangan yang bekerja.

“Belum lagi ada banyak tantangan juga soal kekerasan yang dihadapi, dalam kekerasan dalam rumah tangga KDRT, dan juga kekerasan seksual,” kata dia.

“Dan juga masih ada banyak diskriminasi, lalu pekerja perempuan juga masih menghadapi banyak tantangan,” tambahnya.

Dipengaruhi Faktor Budaya

Duta Besar Kelly mengatakan ada juga faktor budaya yang memengaruhi beberapa batasan bagi perempuan. Dan ia menilai, menikah adalah sebuah kondisi yang kompleks. Ia berharap di dalam setiap hubungan pernikahan juga harus ada komunikasi yang jelas dan saling mengerti antar pasangan. Dan juga berusaha dalam setiap mediasi, komunikasi, dialog.

“Semua itu bisa jadi solusi, banyak media yang tersedia, dan identifikasi apa yang dibutuhkan. Sehingga kesadaran dalam rumah tangga dan komunitas bisa membuat setiap orang lebih terbuka dan meski menghadapi tantangan dalam budaya,” jelasnya.

Pegiat Perempuan Anindia Restuviani dari Jakarta Feminist menilai selama ini memang beberapa tantangan budaya membuat perempuan justru semakin maju untuk tidak lagi menjadi kelompok nomor dua. Memang ada budaya Konco Wingking dalam tradisi budaya masyarakat Indonesia. Istri dianggap sebagai pelengkap rumah tangga seorang suami. Yang diurus hanyalah masalah-masalah seputar kasur, dapur, dan sumur.

“Kewajiban seorang isri hanyalah macak, masak, mlumah, manak, dan momong anak. Istri yang mampu melakasanakan lima kewajiban terhadap suami itu,akan dipujinya sebagai istri sejati. Namun kini sudah bicara bagaimana kita secara bersama untuk mengutamakan kesetaraan gender,” tegas Anindya.

Baca Juga :  Menanti Gebrakan Kabinet Indonesia Maju untuk Tuntaskan 2 PR

“Jangan diskriminasi perempuan jadi orang kaum nomor dua, ini adalah tanggung jawab kita dan bagaimana pria harus mengerti soal itu,” kata Anindya.

Tantangan Selama Pandemi

Duta Besar Kelly ikut prihatin dengan kondisi pandemi justru memberikan tantangan pada perempuan yang lebih besar lagi. Pandemi juga memicu orang jadi stres dan masalah mental masalah rumah tangga juga.

Hal senada diungkapkan Anindya. Ia mengumpulkan beberapa laporan yang mengungkapkan masalah yang dihadapi perempuan selama pandemi. Dari mulai masalah ekonomi rumah tangga dan penurunan pendapatan juga memicu kasus KDRT. Selama pandemi itu meningkat.

“Ada banyak riset, ada data yang mensupport ini semua dibayangi pandemi. Ini juga terjadi di Asia Tenggara. Perempuan jadi korban kekerasan, ini jadi isu besar. Banyak dari mereka tak semuanya bisa beradaptasi dengan pandemi ini awalnya,” jelas Anindya.

Lalu juga masalah lain yang muncul adalah banyaknya angka perceraian akibat pandemi Covid-19. Kekerasan dalam rumah tangga hingga kekerasan gender lewat online juga meningkat.

“Dan memang tak mudah untuk keluar dari masalah itu. Ada banyak kasus perceraian, ini juga seiring adanya tantangan kekerasan dalam rumah tangga. Online gender violence banyak juga selama pandemi,” paparnya.

Kesimpulannya

Baik Duta Besar Kelly maupun Anindya mengusulkan agar perempuan terus meningkatkan kemampuannya agar setara dengan pria. Perempuan didorong untuk tidak takut meraih impian dan mencapainya.

Perempuan juga harus berani bicara dan juga melawan ketidakadilan, diskriminasi, dan kekerasan. Lalu juga keluarga harus selalu mendukung dan bersikap terbuka agar perempuan bisa sejajar dengan pria.

PEREMPUAN masa kini semakin berdaya dan menunjukkan kemampuannya untuk bisa sejajar dengan pria. Perempuan bukan lagi kelompok nomor dua setelah pria yang hanya berada di dapur untuk sekadar memasak atau melayani rumah tangga.

Hal itu diungkap oleh Pegiat Perempuan Anindia Restuviani dari Jakarta Feminist dan Duta Besar Canada Mission Ambassador Diedrah Kelly baru-baru ini saat berbincang dengan JawaPos.com. Hal itu terbukti dari posisi perempuan yang sudah memegang peranan strategis di berbagai aspek kehidupan.

Jaringan Aksi Feminis Asia Tenggara (SEAFAM) dimulai pada Agustus 2020 untuk membangun dan memperkuat gerakan feminis di Asia Tenggara, dengan fokus awal di Indonesia, Malaysia, dan Filipina. Ketiga negara tersebut saat ini menghadapi tantangan signifikan dalam hal demokrasi dan hak asasi manusia.

Masalah-masalah tersebut ditandai dengan rezim pemerintahan yang semakin menindas, meningkatnya pembatasan kebebasan berbicara dan berserikat, munculnya kelompok-kelompok intoleran dan ultra-konservatif, penganiayaan terhadap para pembela hak asasi manusia, serta tingginya diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan dan kelompok terpinggirkan lainnya. Menghadapi situasi ini, mereka membangun gerakan solidaritas untuk mendukung dan memperkuat kerja feminis di seluruh Asia Tenggara.

Duta Besar Canada Mission Ambassador Diedrah Kelly mengatakan isu kesetaraan gender di Asean dan Asia Tenggara, ada banyak tantangan mendasar bagi perempuan untuk bisa setara. Pertama soal partisipasi keterlibatan perempuan di pemerintahan dan politik.

“Saya tak mau membandingkan isu kesetaraan gender antara satu negara dengan negara lainnya. Namun kini semakin banyak perempuan di Asia Tenggara terlibat dalam level politik atau pemerintahan. Lalu juga ada beberapa perempuan duduk di jabatan strategis dalam pemerintahan termasuk di Indonesia,” jelas Duta Besar Kelly.

Ia menambahkan banyak sektor lainnya, ada kesamaan dan ada tantangan dalam mengakses kebutuhan dasar. Salah satunya dalam layanan kesehatan masih banyak tantangan. Ada juga tantangan soal akses pendidikan untuk bisa setara dengan pria.

Baca Juga :  Wah! Biaya Umrah Diprediksi Naik 3 Kali Lipat, Bisa Capai Rp60 Juta

“Dan tapi banyak perbaikan saat ini. Progressnya sudah mulai terlihat meskipun kita masih menghadapi tantangan di tengah pandemi seperti akses pendidikan dan resiko ekonomi,” paparnya.

Lalu menurut Duta Besar Kelly, ada juga tantangan lain yang dihadapi perempuan seperti batasan di dalam rumah tangga pada perempuan. Dan juga isu tantangan pada ibu yang bekerja atau pasangan yang bekerja.

“Belum lagi ada banyak tantangan juga soal kekerasan yang dihadapi, dalam kekerasan dalam rumah tangga KDRT, dan juga kekerasan seksual,” kata dia.

“Dan juga masih ada banyak diskriminasi, lalu pekerja perempuan juga masih menghadapi banyak tantangan,” tambahnya.

Dipengaruhi Faktor Budaya

Duta Besar Kelly mengatakan ada juga faktor budaya yang memengaruhi beberapa batasan bagi perempuan. Dan ia menilai, menikah adalah sebuah kondisi yang kompleks. Ia berharap di dalam setiap hubungan pernikahan juga harus ada komunikasi yang jelas dan saling mengerti antar pasangan. Dan juga berusaha dalam setiap mediasi, komunikasi, dialog.

“Semua itu bisa jadi solusi, banyak media yang tersedia, dan identifikasi apa yang dibutuhkan. Sehingga kesadaran dalam rumah tangga dan komunitas bisa membuat setiap orang lebih terbuka dan meski menghadapi tantangan dalam budaya,” jelasnya.

Pegiat Perempuan Anindia Restuviani dari Jakarta Feminist menilai selama ini memang beberapa tantangan budaya membuat perempuan justru semakin maju untuk tidak lagi menjadi kelompok nomor dua. Memang ada budaya Konco Wingking dalam tradisi budaya masyarakat Indonesia. Istri dianggap sebagai pelengkap rumah tangga seorang suami. Yang diurus hanyalah masalah-masalah seputar kasur, dapur, dan sumur.

“Kewajiban seorang isri hanyalah macak, masak, mlumah, manak, dan momong anak. Istri yang mampu melakasanakan lima kewajiban terhadap suami itu,akan dipujinya sebagai istri sejati. Namun kini sudah bicara bagaimana kita secara bersama untuk mengutamakan kesetaraan gender,” tegas Anindya.

Baca Juga :  Menanti Gebrakan Kabinet Indonesia Maju untuk Tuntaskan 2 PR

“Jangan diskriminasi perempuan jadi orang kaum nomor dua, ini adalah tanggung jawab kita dan bagaimana pria harus mengerti soal itu,” kata Anindya.

Tantangan Selama Pandemi

Duta Besar Kelly ikut prihatin dengan kondisi pandemi justru memberikan tantangan pada perempuan yang lebih besar lagi. Pandemi juga memicu orang jadi stres dan masalah mental masalah rumah tangga juga.

Hal senada diungkapkan Anindya. Ia mengumpulkan beberapa laporan yang mengungkapkan masalah yang dihadapi perempuan selama pandemi. Dari mulai masalah ekonomi rumah tangga dan penurunan pendapatan juga memicu kasus KDRT. Selama pandemi itu meningkat.

“Ada banyak riset, ada data yang mensupport ini semua dibayangi pandemi. Ini juga terjadi di Asia Tenggara. Perempuan jadi korban kekerasan, ini jadi isu besar. Banyak dari mereka tak semuanya bisa beradaptasi dengan pandemi ini awalnya,” jelas Anindya.

Lalu juga masalah lain yang muncul adalah banyaknya angka perceraian akibat pandemi Covid-19. Kekerasan dalam rumah tangga hingga kekerasan gender lewat online juga meningkat.

“Dan memang tak mudah untuk keluar dari masalah itu. Ada banyak kasus perceraian, ini juga seiring adanya tantangan kekerasan dalam rumah tangga. Online gender violence banyak juga selama pandemi,” paparnya.

Kesimpulannya

Baik Duta Besar Kelly maupun Anindya mengusulkan agar perempuan terus meningkatkan kemampuannya agar setara dengan pria. Perempuan didorong untuk tidak takut meraih impian dan mencapainya.

Perempuan juga harus berani bicara dan juga melawan ketidakadilan, diskriminasi, dan kekerasan. Lalu juga keluarga harus selalu mendukung dan bersikap terbuka agar perempuan bisa sejajar dengan pria.

Terpopuler

Artikel Terbaru