31.7 C
Jakarta
Saturday, April 20, 2024

Revisi UU KPK Berlaku, Kewenangan Pimpinan Mulai Dilucuti

UU KPK hasil revisi
telah berlaku mulai kemarin (17/10). Pasal-pasal yang dianggap melemahkan
lembaga antirasuah tersebut mau tidak mau tetap dijalankan pimpinan KPK. Karena
itu, satu per satu kewenangan mereka dilucuti sendiri.

Sebagai langkah awal,
pimpinan KPK membikin peraturan baru yang salah satunya mengatur kewenangan
mengeluarkan surat perintah penyidikan (sprindik). ”Yang tanda tangan
(persetujuan) sprindik nanti deputi penindakan,” kata Ketua KPK Agus Rahardjo.
Sebelum UU KPK hasil revisi berlaku, persetujuan sprindik ditandatangani
pimpinan. Baru kemudian turun ke deputi penindakan dan direktur penyidikan.
Agus mengungkapkan, peraturan komisi tersebut belum ditandatangani. Karena itu,
lembaga komisi antirasuah belum menerapkan rencana antisipasi tersebut. ”Di KPK
masih bekerja seperti biasa,” terangnya.

Agus kembali
memastikan bahwa aktivitas di KPK kemarin masih sama dengan hari-hari sebelum
UU KPK berlaku. Operasi tangkap tangan (OTT) juga masih bisa dilakukan bila ada
penyelidikan yang dianggap memenuhi syarat. ”Misalkan ada penyelidikan yang
sudah matang, perlu ada OTT, ya harus dilakukan OTT,” paparnya. Hal itu bisa
dilakukan karena hingga kemarin belum terbentuk dewan pengawas. UU KPK hasil
revisi memang menyebutkan bahwa sebelum dewan pengawas terbentuk, aktivitas
hukum masih mengacu pada UU yang lama atau sebelum direvisi.

Meski demikian, Agus
menegaskan bahwa pihaknya tetap berharap Presiden Joko Widodo bersedia
mengeluarkan perppu untuk mengatasi kerancuan UU KPK hasil revisi. ”Kami masih
memohon mudah-mudahan Bapak Presiden setelah dilantik bersedia mengeluarkan
perppu yang sangat diharapkan oleh KPK dan orang banyak,” imbuh dia.

Sementara itu, sorotan
terhadap UU KPK hasil revisi masih santer. Koordinator Masyarakat Antikorupsi
Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman bahkan menyebut revisi UU KPK tidak sah
lantaran pembetulan kesalahan penulisan tidak melalui rapat paripurna DPR.
Boyamin menjelaskan, kesalahan penulisan terkait persyaratan usia pimpinan KPK
terdapat pada pasal 29 ayat e yang ditulis 50 tahun, tapi di dalam kurung
ditulis empat puluh tahun.

Baca Juga :  Teliti Ketahanan Tubuh Manusia Hingga ke Luar Angkasa

”Permasalahan ini
menjadi substansi karena bisa menimbulkan sengketa terkait frasa mana yang
sebenarnya berlaku. Apakah angka 50 atau huruf empat puluh?” kata Boyamin.
Walau sepele, kesalahan itu seharusnya diselesaikan lewat mekanisme yang benar.

Menurut Boyamin, cara
yang dipakai DPR tidak tepat. Sebab, pembetulan kesalahan penulisan dalam UU
harus melalui rapat paripurna DPR. ”Produk rapat paripurna hanya diubah dengan
rapat paripurna,” tegasnya. Atas dasar itu, dia menyebut UU KPK hasil revisi
tidak sah dan batal demi hukum. Dia mencontohkan kesalahan penulisan dalam
putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) atas perkara Yayasan Supersemar. Dalam
putusan tersebut tertulis Rp 139 juta. Padahal, semestinya Rp 139 miliar.
”Butuh upaya peninjauan kembali untuk membetulkan kesalahan penulisan itu,”
terang Boyamin.

Mahasiswa Turun Jalan
Lagi

Belum terbitnya perppu
untuk membatalkan UU KPK hasil revisi membuat mahasiswa kembali turun ke jalan
kemarin. Namun, massa hanya berjumlah ratusan orang. Jauh lebih sedikit jika
dibandingkan dengan awal-awal aksi demo bulan lalu yang diikuti ribuan
mahasiswa.

Disinggung soal jumlah
masa aksi yang jauh dari rencana, koordinator lapangan yang juga Ketua BEM
Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Muhammad Abdul Basit mengakuinya.

Menurut dia, hal itu
tidak lepas dari penggembosan yang dilakukan aparat dan negara. Misalnya,
munculnya wacana pelarangan aksi yang terus digaungkan kepolisian. Hal tersebut
menjadi tekanan bagi sebagian mahasiswa. Padahal, lanjut dia, tidak ada aturan
yang mewajibkan unjuk rasa mendapat izin dari polisi. Namun cukup
pemberitahuan. ”Aksi adalah hak kita sebagai warga negara yang harus dijamin,”
tutur pemuda yang biasa disapa Abbas itu.

Baca Juga :  Terjaring OTT, Anak Alex Noerdin dan Jajarannya Diboyong ke Gedung KPK

Selain itu, menurut
dia, upaya penggembosan dilakukan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan
Tinggi (Kemenristekdikti). Di UNJ sendiri, kata dia, ada banyak tulisan atau
edaran larangan aksi. Sebagai gantinya, kampus menawarkan seminar ataupun
kegiatan seni di hari kemarin. ”Itu agar kita tidak turun. Itu ada. Jadi,
terkait dengan penggembosan atau iming-iming itu ada sampai dengan saat ini,”
tegasnya.

Sementara itu, ratusan
mahasiswa yang tergabung dalam BEM SI sempat memadati Jalan Merdeka Barat.
Mereka mendesak Presiden Joko Widodo segera menerbitkan perppu. Abbas menambahkan,
jika membiarkan UU KPK berlaku tanpa mengeluarkan perppu, presiden sama dengan
mengkhianati Nawacita terkait agenda pemberantasan korupsi. Selain itu,
kepastian soal perppu akan memperlihatkan sikap politik presiden.

”Keberpihakannya
kepada partai politik atau masyarakat Indonesia?” imbuhnya.

Abbas menegaskan bahwa
mahasiswa akan terus mengawal tuntutan tersebut. Meski intensitas aksi terkesan
melemah, dia memastikan koordinasi antar-BEM masih terus berjalan.

Aksi mahasiswa di
kawasan Monas kemarin berjalan relatif cepat. Dimulai sekitar pukul 14.00, para
mahasiswa sudah membubarkan diri sebelum petang. Sepanjang aksi berlangsung,
mereka menyampaikan orasi dan membentangkan spanduk dan kertas berisi beberapa
tuntutan.(jpg)

 

UU KPK hasil revisi
telah berlaku mulai kemarin (17/10). Pasal-pasal yang dianggap melemahkan
lembaga antirasuah tersebut mau tidak mau tetap dijalankan pimpinan KPK. Karena
itu, satu per satu kewenangan mereka dilucuti sendiri.

Sebagai langkah awal,
pimpinan KPK membikin peraturan baru yang salah satunya mengatur kewenangan
mengeluarkan surat perintah penyidikan (sprindik). ”Yang tanda tangan
(persetujuan) sprindik nanti deputi penindakan,” kata Ketua KPK Agus Rahardjo.
Sebelum UU KPK hasil revisi berlaku, persetujuan sprindik ditandatangani
pimpinan. Baru kemudian turun ke deputi penindakan dan direktur penyidikan.
Agus mengungkapkan, peraturan komisi tersebut belum ditandatangani. Karena itu,
lembaga komisi antirasuah belum menerapkan rencana antisipasi tersebut. ”Di KPK
masih bekerja seperti biasa,” terangnya.

Agus kembali
memastikan bahwa aktivitas di KPK kemarin masih sama dengan hari-hari sebelum
UU KPK berlaku. Operasi tangkap tangan (OTT) juga masih bisa dilakukan bila ada
penyelidikan yang dianggap memenuhi syarat. ”Misalkan ada penyelidikan yang
sudah matang, perlu ada OTT, ya harus dilakukan OTT,” paparnya. Hal itu bisa
dilakukan karena hingga kemarin belum terbentuk dewan pengawas. UU KPK hasil
revisi memang menyebutkan bahwa sebelum dewan pengawas terbentuk, aktivitas
hukum masih mengacu pada UU yang lama atau sebelum direvisi.

Meski demikian, Agus
menegaskan bahwa pihaknya tetap berharap Presiden Joko Widodo bersedia
mengeluarkan perppu untuk mengatasi kerancuan UU KPK hasil revisi. ”Kami masih
memohon mudah-mudahan Bapak Presiden setelah dilantik bersedia mengeluarkan
perppu yang sangat diharapkan oleh KPK dan orang banyak,” imbuh dia.

Sementara itu, sorotan
terhadap UU KPK hasil revisi masih santer. Koordinator Masyarakat Antikorupsi
Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman bahkan menyebut revisi UU KPK tidak sah
lantaran pembetulan kesalahan penulisan tidak melalui rapat paripurna DPR.
Boyamin menjelaskan, kesalahan penulisan terkait persyaratan usia pimpinan KPK
terdapat pada pasal 29 ayat e yang ditulis 50 tahun, tapi di dalam kurung
ditulis empat puluh tahun.

Baca Juga :  Teliti Ketahanan Tubuh Manusia Hingga ke Luar Angkasa

”Permasalahan ini
menjadi substansi karena bisa menimbulkan sengketa terkait frasa mana yang
sebenarnya berlaku. Apakah angka 50 atau huruf empat puluh?” kata Boyamin.
Walau sepele, kesalahan itu seharusnya diselesaikan lewat mekanisme yang benar.

Menurut Boyamin, cara
yang dipakai DPR tidak tepat. Sebab, pembetulan kesalahan penulisan dalam UU
harus melalui rapat paripurna DPR. ”Produk rapat paripurna hanya diubah dengan
rapat paripurna,” tegasnya. Atas dasar itu, dia menyebut UU KPK hasil revisi
tidak sah dan batal demi hukum. Dia mencontohkan kesalahan penulisan dalam
putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) atas perkara Yayasan Supersemar. Dalam
putusan tersebut tertulis Rp 139 juta. Padahal, semestinya Rp 139 miliar.
”Butuh upaya peninjauan kembali untuk membetulkan kesalahan penulisan itu,”
terang Boyamin.

Mahasiswa Turun Jalan
Lagi

Belum terbitnya perppu
untuk membatalkan UU KPK hasil revisi membuat mahasiswa kembali turun ke jalan
kemarin. Namun, massa hanya berjumlah ratusan orang. Jauh lebih sedikit jika
dibandingkan dengan awal-awal aksi demo bulan lalu yang diikuti ribuan
mahasiswa.

Disinggung soal jumlah
masa aksi yang jauh dari rencana, koordinator lapangan yang juga Ketua BEM
Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Muhammad Abdul Basit mengakuinya.

Menurut dia, hal itu
tidak lepas dari penggembosan yang dilakukan aparat dan negara. Misalnya,
munculnya wacana pelarangan aksi yang terus digaungkan kepolisian. Hal tersebut
menjadi tekanan bagi sebagian mahasiswa. Padahal, lanjut dia, tidak ada aturan
yang mewajibkan unjuk rasa mendapat izin dari polisi. Namun cukup
pemberitahuan. ”Aksi adalah hak kita sebagai warga negara yang harus dijamin,”
tutur pemuda yang biasa disapa Abbas itu.

Baca Juga :  Terjaring OTT, Anak Alex Noerdin dan Jajarannya Diboyong ke Gedung KPK

Selain itu, menurut
dia, upaya penggembosan dilakukan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan
Tinggi (Kemenristekdikti). Di UNJ sendiri, kata dia, ada banyak tulisan atau
edaran larangan aksi. Sebagai gantinya, kampus menawarkan seminar ataupun
kegiatan seni di hari kemarin. ”Itu agar kita tidak turun. Itu ada. Jadi,
terkait dengan penggembosan atau iming-iming itu ada sampai dengan saat ini,”
tegasnya.

Sementara itu, ratusan
mahasiswa yang tergabung dalam BEM SI sempat memadati Jalan Merdeka Barat.
Mereka mendesak Presiden Joko Widodo segera menerbitkan perppu. Abbas menambahkan,
jika membiarkan UU KPK berlaku tanpa mengeluarkan perppu, presiden sama dengan
mengkhianati Nawacita terkait agenda pemberantasan korupsi. Selain itu,
kepastian soal perppu akan memperlihatkan sikap politik presiden.

”Keberpihakannya
kepada partai politik atau masyarakat Indonesia?” imbuhnya.

Abbas menegaskan bahwa
mahasiswa akan terus mengawal tuntutan tersebut. Meski intensitas aksi terkesan
melemah, dia memastikan koordinasi antar-BEM masih terus berjalan.

Aksi mahasiswa di
kawasan Monas kemarin berjalan relatif cepat. Dimulai sekitar pukul 14.00, para
mahasiswa sudah membubarkan diri sebelum petang. Sepanjang aksi berlangsung,
mereka menyampaikan orasi dan membentangkan spanduk dan kertas berisi beberapa
tuntutan.(jpg)

 

Terpopuler

Artikel Terbaru