JAKARTA – Pemerintah berencana akan menarik kewenangan tata kelola
guru yang sekarang berada di pemerintah daerah, dikembalikan lagi ke pemerintah
pusat.
Hal ini disampaikan Presiden Joko
Widodo, ketika bicara soal penanganan teknis penghapusan ujian nasional (UN)
dan diganti dengan asesmen kompetensi.
Dapat diketahui, saat ini
kewenangan terkait guru SD-SLTP menjadi kewenangan pemerintah kabupaten/kota.
Sementara, untuk guru SLTA, menjadi kewenangan pemerintah provinsi.
“Penanganan teknis, kebijakan ada
di pemerintah pusat. Bisa saja nanti misalnya, perhitungan kemendikbud seperti
apa, guru ditarik lagi ke pusat. Bisa saja dilakukan,†kata Jokowi, Jumat
(13/12).
Menuru Jokowi, penarikan kembali
kewenangan dan tata kelola guru dari pemerintah daerah ke pemetintah pusat
bertujuan demi kemajuan bidang pendidikan.
“Ini hanya geser anggaran dari
daerah ke pusat. Itu saja. Kalau kebijakan ini bisa naikkan kualitas pendidikan
akan kita jalani terus,†ujarnya.
Menanggapi rencana itu, Ketua
Umum Ikatan Guru Indonesia (IGI) Muhammad Ramli Rahim menyatakan mendukung
penuh rencana Presiden Joko Widodo, yang membuka peluang mengembalikan guru ke
pusat. Menurutnya, ide ini adalah langkah yang tepat bagi pengelolaan guru.
“Ikatan Guru Indonesia sangat
berterima kasih kepada Presiden Joko Widodo yang kemudian ingin menarik
penanganan guru yang saat ini ada di daerah ke pemerintah pusat,†kata Ramli.
Ramli mengatakan, bahwa dukungan
IGI ini bukan tanpa alasan. Sebab, selama ini guru-guru di daerah selalu dilibatkan
dalam politik praktis.
“Ini yang menjadi masalah utama
dan seringkali guru-guru harus menjalani hukuman yang sebenarnya dilakukan oleh
para pimpinan daerah tanpa dasar yang cukup,†ungkapnya.
Selain itu, lanjut Ramli,
penanganan guru oleh daerah sangat beragam sehingga menimbulkan kesenjangan
antara guru di satu daerah dengan guru di daerah lain. “Bandingkan saja
pendapatan antara guru di DKI Jakarta yang seluruhnya sama dengan upah minimum
provinsi atau lebih dari itu dibanding dengan Kabupaten Maros yang memberikan
upah hanya Rp 100.000 per bulan,†tuturnya..
Terlebih lagi, masih kata Ramli,
rekrutmen guru yang dilakukan di daerah juga sangat tidak jelas karena
pemerintah pusat melarang pengangkatan honorer. Sedangkan di lapangan kebutuhan
akan guru sangat mendesak.
“Rekrutmen guru sangat tidak
jelas prosesnya sehingga kualitas terabaikan bahkan empat kompetensi yang
seharusnya dimiliki oleh guru sama sekali tidak terdeteksi dalam proses
rekrutmen guru di daerah-daerah,†imbuhnya.
Sikap berbeda justru disampaikan
Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI). Menurut pihaknya, pemerintah harus
mengkaji terlebih dahulu apa sebenarnya permasalahan yang ada di lapangan.
Sebab, apabila pemerintah langsung memutuskan guru kembali dikelola pusat akan
membuat peraturan yang ada terkesan maju mundur.
“Ini kan harus ada kajian lebih
mendalam karena desentralisasi pendidikan sudah kita laksanakan. Itu merupakan
konsekuensi lahirnya UU otonomi daerah. Kemudian UU pemda dan seterusnya,†kata
Wasekjen FSGI, Satriwan Salim.
Satriawan berpendapat, pemerintah
tidak bisa langsung bersepakat persoalan guru akan selesai kalau pengelolaannya
dikembalikan ke pusat.
“FSGI bukan tidak setuju dengan
pernyataan Jokowi tersebut. Namun kajian lebih dalam wajib dilakukan. Jadi
seolah-olah ini jadi kebijakan yang maju mundur,†pungkasnya. (der/fin/kpc)