27.3 C
Jakarta
Saturday, April 20, 2024

Desa Fiktif Terindikasi Korupsi

Desa-desa yang diduga
fiktif dipastikan tidak muncul tiba-tiba. Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri)
menyatakan bahwa desa-desa di Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara, itu sudah
lama ada. Hanya, diduga prosedur penetapan wilayahnya sebagai desa keliru.

Dirjen Bina
Pemerintahan Desa Kemendagri Nata Irawan mengungkapkan bahwa laporan awal yang
disampaikan KPK menyebut 56 desa diduga fiktif. Namun, ketika dicek langsung di
lapangan, yang diyakini fiktif hanya empat desa.

Menurut dia, yang
dimaksud fiktif adalah kesalahan administrasi dalam penetapan sebagai desa.
’’Ada perda yang sebenarnya tidak menetapkan untuk desa-desa tersebut.
Ditengarai, di perda itu ada kekeliruan,’’ jelas Nata saat ditemui di kompleks
parlemen kemarin (6/11).

Saat itu desa-desa
tersebut mungkin tidak seharusnya ditetapkan dalam perda, tapi ternyata masuk.
Karena itu, pihaknya akan menginvestigasi lebih lanjut bersama pemda dan Polda
Sulawesi Tenggara. ’’Kalau memang benar-benar secara data dan administrasi itu
jelas kekeliruan, kami cabut keberadaan desa tersebut,’’ tegas Nata.

Dia memastikan bahwa
sejak 2017 empat desa itu tidak lagi menerima dana desa. Dananya ditahan di
kabupaten/kota.

Nata menjelaskan
perihal desa-desa tersebut bisa lolos menjadi wilayah administratif. Pertama,
perda yang menaungi pembentukan empat desa itu terbit pada 2011. Jauh sebelum
terbitnya UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Ketika didaftarkan ke Kemendagri,
desa-desa itu langsung disetujui karena ada dasar hukum berupa perda.

Dalam perjalanannya,
lanjut Nata, mungkin tidak ada pelayanan di desa-desa itu sehingga memunculkan
pengaduan dari masyarakat. Bisa jadi, salah satunya karena jumlah penduduk yang
sedikit. ’’Ada satu desa yang ternyata jumlah penduduknya hanya tujuh kepala
keluarga,’’ ungkapnya.

Sebelum terbitnya UU
Desa, kondisi itu dimungkinkan lantaran jumlah penduduk tidak menjadi kriteria
pembentukan desa. Nata berharap publik tidak buru-buru menyimpulkan bahwa
sebuah wilayah adalah desa fiktif. Sebab, secara de facto, wilayahnya ada. Yang
menjadi persoalan, apakah secara hukum pembentukan desa tersebut sudah benar.

Baca Juga :  Kesempatan! Kejaksaan Buka Pendaftaran CPNS Lulusan SMA hingga S2

Sebelum UU Desa
terbit, jumlah desa mencapai 69 ribuan. Saat ini jumlahnya sekitar 74 ribu. Ada
sekitar 5 ribu desa baru yang pembentukannya disetujui Kemendagri berdasar
aturan UU Desa. Nata berjanji segera mengumumkan bila Kemendagri sudah
menyimpulkan empat desa itu fiktif atau tidak.

Direktur Penataan dan
Administrasi Pemerintahan Desa Aferi S. Fudail menjelaskan, dugaan sementara
aparat hukum adalah kesalahan administratif. ’’Administrasi yang dijadikan
acuan untuk mendapatkan kode (desa) dari Jakarta, perdanya dikatakan palsu,’’
terangnya. Sebab, nomor perda yang diterbitkan itu seharusnya bukan untuk
menetapkan empat wilayah menjadi desa.

Sementara itu,
Presiden Joko Widodo tidak ingin isu desa fiktif bergulir liar. Apalagi terkait
dengan penyaluran program dana desa. Dia berjanji untuk menindak. ”Kita kejar
agar yang namanya desa-desa itu tadi diperkirakan, diduga itu fiktif ketemu,
ketangkep,” ujarnya di Jakarta International Expo, Kemayoran, Jakarta, kemarin
(6/11).

Jokowi mengakui bahwa
mengelola dana desa bukan perkara mudah. Sebab, saat ini saja jumlah desa di
seluruh Indonesia mencapai 74 ribu lebih. ”Manajemen mengelola desa sebanyak
itu tidak mudah,” katanya.

Potensi manipulasi
keberadaan desa sangat mungkin ada. Modusnya pun bisa beragam. ”Misalnya,
dipakai plangnya saja, tapi desanya nggak (ada). Bisa saja terjadi karena dari
Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Pulau Rote. Sebuah pengelolaan yang
tidak mudah,” tuturnya.

Di bagian lain, Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) memaparkan data terbaru soal dugaan desa ’’hantu”
yang merupakan bagian dari supervisi dan koordinasi penindakan. Juru Bicara KPK
Febri Diansyah menjelaskan, ada 34 desa di Konawe, Sultra, yang diduga
bermasalah dalam hal pengelolaan dana desa (DD) dan alokasi dana desa (ADD)
tahun anggaran 2016–2018.

Febri memaparkan, 3 di
antara 34 desa tersebut fiktif. Sebanyak 31 desa lainnya ada, tapi surat
keputusan (SK) pembentukannya terindikasi backdate atau dibentuk dengan tanggal
mundur. ”Pada saat (31, Red) desa tersebut dibentuk, sudah ada moratorium dari
Kemendagri sehingga untuk mendapatkan dana desa harus dibuat backdate,”
katanya.

Baca Juga :  Ini Keinginan Gubernur Kepada Menkopolhukam

Sebanyak 34 desa itu
tentu saja terindikasi melakukan tindak pidana korupsi lantaran membentuk atau
mendefinitifkan desa-desa dengan menggunakan dokumen tidak sah alias melanggar
prosedur. Perbuatan tersebut berpotensi mengakibatkan kerugian keuangan negara
atau daerah lantaran menyalurkan DD atau ADD ke desa-desa hantu.

Febri menerangkan,
perkara itu ditangani penyidik Polda Sultra bersama KPK sejak beberapa bulan
lalu. Pada 24 Juni, dilakukan gelar perkara pada tahap penyelidikan. Dalam
ekspose disimpulkan adanya indikasi tindak pidana sehingga dinaikkan ke tahap
penyidikan. ”Juga dilakukan pengambilan keterangan ahli hukum pidana,”
paparnya.

Berikutnya, pada 25
Juni, pimpinan KPK dan Kapolda Sultra mengadakan pertemuan. Pada saat itulah
KPK diminta melakukan supervisi dan memberikan bantuan berupa memfasilitasi
ahli pidana untuk menyatakan bahwa proses pembentukan desa yang berdasar
peraturan daerah (perda) dibuat backdate merupakan bagian dari tindak pidana.

Surat pemberitahuan
dimulainya penyidikan (SPDP) perkara itu pun telah disampaikan ke KPK sesuai
pasal 50 UU KPK. Dan, sesuai KUHAP, penyidikan dilakukan Polri untuk mencari
dan mengumpulkan bukti hingga menemukan tersangka yang harus bertanggung jawab
atas dugaan penyelewengan itu. ”Kami berupaya maksimal untuk melakukan upaya
pemberantasan korupsi,” katanya.

Terpisah, ekonom
senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Aviliani
menuturkan, temuan desa fiktif mestinya membuat pemerintah mengubah sistem
verifikasi. ”Kalau ada desa itu kan berarti ada verifikasi. Mestinya dengan
verifikasi itu, kalau desanya nggak benar, kan tidak bisa mendapatkan dana.
Apalagi kalau sampai fiktif, berarti ada proses verifikasi yang tidak benar,’’
ujarnya.

Temuan dana desa
fiktif itu, menurut Aviliani, merupakan sebuah tindakan kriminal. Sebab,
penggunaan keuangan negara tanpa ada bukti sebagai desa tentu menyalahi
ketentuan.(jpc)

 

Desa-desa yang diduga
fiktif dipastikan tidak muncul tiba-tiba. Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri)
menyatakan bahwa desa-desa di Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara, itu sudah
lama ada. Hanya, diduga prosedur penetapan wilayahnya sebagai desa keliru.

Dirjen Bina
Pemerintahan Desa Kemendagri Nata Irawan mengungkapkan bahwa laporan awal yang
disampaikan KPK menyebut 56 desa diduga fiktif. Namun, ketika dicek langsung di
lapangan, yang diyakini fiktif hanya empat desa.

Menurut dia, yang
dimaksud fiktif adalah kesalahan administrasi dalam penetapan sebagai desa.
’’Ada perda yang sebenarnya tidak menetapkan untuk desa-desa tersebut.
Ditengarai, di perda itu ada kekeliruan,’’ jelas Nata saat ditemui di kompleks
parlemen kemarin (6/11).

Saat itu desa-desa
tersebut mungkin tidak seharusnya ditetapkan dalam perda, tapi ternyata masuk.
Karena itu, pihaknya akan menginvestigasi lebih lanjut bersama pemda dan Polda
Sulawesi Tenggara. ’’Kalau memang benar-benar secara data dan administrasi itu
jelas kekeliruan, kami cabut keberadaan desa tersebut,’’ tegas Nata.

Dia memastikan bahwa
sejak 2017 empat desa itu tidak lagi menerima dana desa. Dananya ditahan di
kabupaten/kota.

Nata menjelaskan
perihal desa-desa tersebut bisa lolos menjadi wilayah administratif. Pertama,
perda yang menaungi pembentukan empat desa itu terbit pada 2011. Jauh sebelum
terbitnya UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Ketika didaftarkan ke Kemendagri,
desa-desa itu langsung disetujui karena ada dasar hukum berupa perda.

Dalam perjalanannya,
lanjut Nata, mungkin tidak ada pelayanan di desa-desa itu sehingga memunculkan
pengaduan dari masyarakat. Bisa jadi, salah satunya karena jumlah penduduk yang
sedikit. ’’Ada satu desa yang ternyata jumlah penduduknya hanya tujuh kepala
keluarga,’’ ungkapnya.

Sebelum terbitnya UU
Desa, kondisi itu dimungkinkan lantaran jumlah penduduk tidak menjadi kriteria
pembentukan desa. Nata berharap publik tidak buru-buru menyimpulkan bahwa
sebuah wilayah adalah desa fiktif. Sebab, secara de facto, wilayahnya ada. Yang
menjadi persoalan, apakah secara hukum pembentukan desa tersebut sudah benar.

Baca Juga :  Kesempatan! Kejaksaan Buka Pendaftaran CPNS Lulusan SMA hingga S2

Sebelum UU Desa
terbit, jumlah desa mencapai 69 ribuan. Saat ini jumlahnya sekitar 74 ribu. Ada
sekitar 5 ribu desa baru yang pembentukannya disetujui Kemendagri berdasar
aturan UU Desa. Nata berjanji segera mengumumkan bila Kemendagri sudah
menyimpulkan empat desa itu fiktif atau tidak.

Direktur Penataan dan
Administrasi Pemerintahan Desa Aferi S. Fudail menjelaskan, dugaan sementara
aparat hukum adalah kesalahan administratif. ’’Administrasi yang dijadikan
acuan untuk mendapatkan kode (desa) dari Jakarta, perdanya dikatakan palsu,’’
terangnya. Sebab, nomor perda yang diterbitkan itu seharusnya bukan untuk
menetapkan empat wilayah menjadi desa.

Sementara itu,
Presiden Joko Widodo tidak ingin isu desa fiktif bergulir liar. Apalagi terkait
dengan penyaluran program dana desa. Dia berjanji untuk menindak. ”Kita kejar
agar yang namanya desa-desa itu tadi diperkirakan, diduga itu fiktif ketemu,
ketangkep,” ujarnya di Jakarta International Expo, Kemayoran, Jakarta, kemarin
(6/11).

Jokowi mengakui bahwa
mengelola dana desa bukan perkara mudah. Sebab, saat ini saja jumlah desa di
seluruh Indonesia mencapai 74 ribu lebih. ”Manajemen mengelola desa sebanyak
itu tidak mudah,” katanya.

Potensi manipulasi
keberadaan desa sangat mungkin ada. Modusnya pun bisa beragam. ”Misalnya,
dipakai plangnya saja, tapi desanya nggak (ada). Bisa saja terjadi karena dari
Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Pulau Rote. Sebuah pengelolaan yang
tidak mudah,” tuturnya.

Di bagian lain, Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) memaparkan data terbaru soal dugaan desa ’’hantu”
yang merupakan bagian dari supervisi dan koordinasi penindakan. Juru Bicara KPK
Febri Diansyah menjelaskan, ada 34 desa di Konawe, Sultra, yang diduga
bermasalah dalam hal pengelolaan dana desa (DD) dan alokasi dana desa (ADD)
tahun anggaran 2016–2018.

Febri memaparkan, 3 di
antara 34 desa tersebut fiktif. Sebanyak 31 desa lainnya ada, tapi surat
keputusan (SK) pembentukannya terindikasi backdate atau dibentuk dengan tanggal
mundur. ”Pada saat (31, Red) desa tersebut dibentuk, sudah ada moratorium dari
Kemendagri sehingga untuk mendapatkan dana desa harus dibuat backdate,”
katanya.

Baca Juga :  Ini Keinginan Gubernur Kepada Menkopolhukam

Sebanyak 34 desa itu
tentu saja terindikasi melakukan tindak pidana korupsi lantaran membentuk atau
mendefinitifkan desa-desa dengan menggunakan dokumen tidak sah alias melanggar
prosedur. Perbuatan tersebut berpotensi mengakibatkan kerugian keuangan negara
atau daerah lantaran menyalurkan DD atau ADD ke desa-desa hantu.

Febri menerangkan,
perkara itu ditangani penyidik Polda Sultra bersama KPK sejak beberapa bulan
lalu. Pada 24 Juni, dilakukan gelar perkara pada tahap penyelidikan. Dalam
ekspose disimpulkan adanya indikasi tindak pidana sehingga dinaikkan ke tahap
penyidikan. ”Juga dilakukan pengambilan keterangan ahli hukum pidana,”
paparnya.

Berikutnya, pada 25
Juni, pimpinan KPK dan Kapolda Sultra mengadakan pertemuan. Pada saat itulah
KPK diminta melakukan supervisi dan memberikan bantuan berupa memfasilitasi
ahli pidana untuk menyatakan bahwa proses pembentukan desa yang berdasar
peraturan daerah (perda) dibuat backdate merupakan bagian dari tindak pidana.

Surat pemberitahuan
dimulainya penyidikan (SPDP) perkara itu pun telah disampaikan ke KPK sesuai
pasal 50 UU KPK. Dan, sesuai KUHAP, penyidikan dilakukan Polri untuk mencari
dan mengumpulkan bukti hingga menemukan tersangka yang harus bertanggung jawab
atas dugaan penyelewengan itu. ”Kami berupaya maksimal untuk melakukan upaya
pemberantasan korupsi,” katanya.

Terpisah, ekonom
senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Aviliani
menuturkan, temuan desa fiktif mestinya membuat pemerintah mengubah sistem
verifikasi. ”Kalau ada desa itu kan berarti ada verifikasi. Mestinya dengan
verifikasi itu, kalau desanya nggak benar, kan tidak bisa mendapatkan dana.
Apalagi kalau sampai fiktif, berarti ada proses verifikasi yang tidak benar,’’
ujarnya.

Temuan dana desa
fiktif itu, menurut Aviliani, merupakan sebuah tindakan kriminal. Sebab,
penggunaan keuangan negara tanpa ada bukti sebagai desa tentu menyalahi
ketentuan.(jpc)

 

Terpopuler

Artikel Terbaru