27.6 C
Jakarta
Saturday, April 20, 2024

Tokoh Bangsa Tagih Komitmen Antikorupsi Jokowi

Puluhan tokoh bangsa
yang bertemu Presiden Joko Widodo (Jokowi) beberapa waktu lalu kembali
berkumpul kemarin (4/10). Mereka mendorong presiden memberikan kejelasan
terkait nasib Perppu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Para tokoh bangsa juga
mengecam pihak-pihak yang seolah mengancam bakal melengserkan Jokowi jika
mengeluarkan perppu.

Secara tertulis, para
tokoh tersebut menyatakan tiga sikap. Pertama, mendorong presiden
menerbitkan perppu sebagai bentuk komitmen pemberantasan korupsi. Kedua,
mengingatkan elite politik agar tidak mengeluarkan pernyataan yang menyesatkan
publik. Ketiga, mengecam pihak-pihak yang dengan jelas melemahkan
KPK melalui revisi UU itu.

Mantan Ketua KPK
Taufiequrachman Ruki termasuk salah seorang tokoh yang kemarin hadir. Dia
mempertanyakan pernyataan elite politik tentang impeachment atau pemakzulan.
Bahwa Jokowi akan dimakzulkan jika mengeluarkan perppu tersebut. ”Konstitusi
mana yang mau dipakai (untuk impeachment, Red)? Itu kan hak presiden dalam
kapasitasnya sebagai kepala negara,” tegas Ruki. Menurut dia, DPR hanya punya
dua pilihan, yakni menerima atau menolak perppu.

Ruki menandaskan,
tidak ada konsekuensi hukum bagi presiden jika menerbitkan perppu. Baik itu
hukum pidana maupun hukum tata usaha negara. Dia mengingatkan bahwa sistem yang
berlaku di Indonesia saat ini adalah presidensial. Bukan parlementer. Karena
itu, mandat terbesar dari rakyat diberikan kepada presiden.

Saat bertemu dengan
presiden pada 26 September lalu, Ruki telah menjelaskan hasil pengamatannya
terhadap revisi UU tersebut. Terbukti, banyak hal yang menunjukkan minimnya
pertimbangan teori hukum. Di antaranya soal umur minimal pimpinan KPK. Ruki
menganggap hal itu sebagai kecerobohan fatal yang juga bisa berpengaruh pada
periode yang akan datang. Salah seorang pimpinan terpilih berusia 45 tahun.
Otomatis dia akan gugur jika UU tersebut mulai berlaku.

Ahli hukum tata negara
Bivitri Susanti menjelaskan, perppu tetap bisa dikeluarkan jika presiden
menghendaki. Memang saat ini sudah ada pengajuan judicial review ke Mahkamah
Konstitusi (MK). Namun, pengajuan itu belum bisa diproses MK selama UU belum
ditandatangani presiden atau berlaku setelah 30 hari pengesahan.

Karena itu, menurut
Bivitri, sebenarnya ada pilihan bagi presiden untuk menerbitkan perppu.
Menandatangani sekarang, lalu mengeluarkan perppu atau menunggu 17 Oktober
2019. Menunggu hingga 30 hari juga bisa dianggap sebagai sinyal baik karena ada
cukup banyak waktu untuk menyusun perppu. Namun, Bivitri menegaskan bahwa
rakyat butuh kepastian. ”Nyatakan saja dulu, ’Ya, saya akan keluarkan perppu’,”
tuturnya kemarin.

Baca Juga :  Nilai Ambang Batas SKD CPNS 2019 Lebih Rendah tapi Tidak Berlaku pada

Di sisi lain, mantan
peneliti LIPI Mochtar Pabottingi menilai parpol seharusnya tidak mengintimidasi
Jokowi. Rakyat juga diminta tidak termakan narasi-narasi impeachment yang
disampaikan elite partai. Mochtar memperkirakan, jika saat ini presiden
langsung mengeluarkan perppu, partai bisa berbalik posisi dan kembali mengekor
pada Jokowi.

Sementara itu,
menanggapi desakan para tokoh nasional dan mahasiswa tersebut, Kepala Staf
Kepresidenan Jenderal TNI Purnawirawan Moeldoko mengatakan, presiden sudah
mendengarnya. ”Sekali lagi presiden mendengarkan semuanya,” ujar dia di
kompleks Istana Kepresidenan Jakarta kemarin.

Namun, apakah tuntutan
itu akan dipenuhi, Moeldoko mengungkapkan, presiden tidak bisa terburu-buru.
Sebab, ada juga suara partai politik dan masyarakat lain yang berbeda. Karena
itu, atas berbagai masukan tersebut, presiden perlu menimbangnimbang. ”Ya,
semua nanti dikalkulasi,” imbuhnya.

Moeldoko mengakui,
persoalan Perppu KPK tidak mudah bagi presiden. Sebab, posisi presiden
dilematis. Di satu sisi, banyak elemen masyarakat yang menginginkan perppu.
Namun, partai politik dan sebagian masyarakat lainnya justru mendukung revisi
UU KPK. ”Seperti simalakama, tidak dimakan bawa mati, dimakan ikut mati, kan
begitu?” ucapnya. Apa pun pilihan yang diambil nanti, Moeldoko memastikan tidak
bakal memuaskan semua pihak.

Lantas bagaimana
dengan tenggat 14 Oktober yang disampaikan mahasiswa? Mantan panglima TNI itu
menyatakan, pemerintah masih mempertimbangkan semua masukan. Namun, Moeldoko
berharap semua kalangan bisa berpikir jernih.

”Jangan pakai bahasa
’pokoknya’ lah. Kita itu memikirkan negara. Semua harus dipikirkan. Semua harus
didengarkan,” tuturnya.

DPR Bersikukuh Minta
ke MK

Pada bagian lain,
anggota Fraksi PKS DPR Nasir Djamil mengatakan, Jokowi seharusnya berkomitmen
dengan apa yang sudah disampaikan. Presiden sudah membahas UU KPK dan
menyetujuinya. ”Kalau tiba-tiba mengeluarkan perppu, tentu Jokowi dianggap
melanggar komitmen oleh teman-teman di DPR,” ucap dia kepada Jawa Pos kemarin
(4/10). Lebih baik, kata Nasir, Jokowi mempersilakan para tokoh untuk
menempuh judicial review (JR) ke MK. Jokowi bisa mengundang
perguruan tinggi, mahasiswa, dan tokoh untuk mengajukan uji materi ke MK. ”Itu
lebih kesatria, lebih bermartabat,” terang politikus asal Aceh tersebut.

Menurut dia, JR
merupakan cara konstitusional. Cara itu akan menyelamatkan wajah semua pihak.
Baik presiden, DPR, maupun masyarakat. Apa pun yang akan diputuskan, ada
risikonya. Namun, Jokowi bisa memilih risiko yang paling kecil, yaitu meminta
para tokoh dan pihak yang tidak sepakat dengan UU KPK untuk menempuh jalur
hukum di MK.

Baca Juga :  Asuransi Cina Tawarkan Bantuan ke BPJS Kesehatan

Jika Jokowi tetap
memaksakan diri mengeluarkan perppu, apa yang disampaikan Ketua Umum Partai
Nasdem Surya Paloh bisa saja terjadi. Yaitu, impeachment, pemakzulan. DPR
mempunyai hak untuk itu. ”DPR juga punya hak angket dan hak lainnya. Artinya,
apa yang disampaikan Pak Surya Paloh bisa saja terjadi,” tegas dia. Nasir
mengatakan, UU KPK sudah disahkan. Biarlah para hakim MK yang menilai. JR
merupakan cara yang lebih konstitusional daripada mendorong Jokowi menerbitkan
perppu.

Terima 390 Aduan
Korban Kekerasan Polisi

Selepas aksi penolakan
UU KPK, sejumlah lembaga bantuan hukum membuka pos pengaduan. Tim advokasi
untuk demokrasi kemarin memaparkan laporan pengaduan masyarakat terkait tindak
kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dalam aksi Reformasi
Dikorupsi di Jakarta dan sejumlah daerah. Hingga Kamis (3/10), total pengaduan
yang diterima sebanyak 390. Mayoritas melaporkan kasus yang dialami mahasiswa
(201 aduan).

Anggota tim advokasi
Rivanlee menyebutkan, pengaduan paling banyak adalah tindakan penganiayaan dan
penangkapan yang diduga dilakukan aparat saat aksi 24 hingga 30 September.
Tindakan represif tersebut tentu menyalahi aturan tentang pedoman pengendalian
massa.

Ari Pramoeditya,
anggota tim advokasi lainnya, menambahkan bahwa tindakan aparat dalam
pengendalian massa bertentangan dengan Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 7 Tahun
2012. Dalam aturan itu, anggota Polri tidak diperbolehkan melakukan upaya
kontraproduktif saat mengawal pelaksanaan aksi penyampaian aspirasi masyarakat.
Misalnya, mengejar pelaku, membalas melempar batu, dan menangkap dengan kasar
(menganiaya atau memukul). Aturan itu juga menegaskan bahwa aparat tidak boleh
menghalangi, men-sweeping, menggembosi, dan menangkap sebelum aksi terjadi.
”Yang terjadi di lapangan justru aparat melakukan tindakan eksesif,” tegas
aktivis Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) itu.

Tim advokasi meminta
pemerintah segera mencabut RUU kontroversial yang menjadi biang keresahan
masyarakat dan pemantik terjadinya aksi massa besar-besaran di sejumlah daerah.
Mereka juga meminta lembaga negara seperti Komnas HAM, Ombudsman, LPSK, Komnas
Perempuan, KPAI, dan Kompolnas lebih proaktif menjalankan tanggung jawabnya
terhadap peristiwa kelam itu.

Tim yang terdiri atas
sejumlah lembaga non pemerintah itu juga meminta Polri melakukan evaluasi dan
audit atas perilaku anggotanya di lapangan. ”Mereka (Polri) harus
mempertanggungjawabkan perbuatannya secara etik maupun pidana atas penanganan
aksi massa,” tutur Afif, anggota tim advokasi yang lain. (jpg)

Puluhan tokoh bangsa
yang bertemu Presiden Joko Widodo (Jokowi) beberapa waktu lalu kembali
berkumpul kemarin (4/10). Mereka mendorong presiden memberikan kejelasan
terkait nasib Perppu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Para tokoh bangsa juga
mengecam pihak-pihak yang seolah mengancam bakal melengserkan Jokowi jika
mengeluarkan perppu.

Secara tertulis, para
tokoh tersebut menyatakan tiga sikap. Pertama, mendorong presiden
menerbitkan perppu sebagai bentuk komitmen pemberantasan korupsi. Kedua,
mengingatkan elite politik agar tidak mengeluarkan pernyataan yang menyesatkan
publik. Ketiga, mengecam pihak-pihak yang dengan jelas melemahkan
KPK melalui revisi UU itu.

Mantan Ketua KPK
Taufiequrachman Ruki termasuk salah seorang tokoh yang kemarin hadir. Dia
mempertanyakan pernyataan elite politik tentang impeachment atau pemakzulan.
Bahwa Jokowi akan dimakzulkan jika mengeluarkan perppu tersebut. ”Konstitusi
mana yang mau dipakai (untuk impeachment, Red)? Itu kan hak presiden dalam
kapasitasnya sebagai kepala negara,” tegas Ruki. Menurut dia, DPR hanya punya
dua pilihan, yakni menerima atau menolak perppu.

Ruki menandaskan,
tidak ada konsekuensi hukum bagi presiden jika menerbitkan perppu. Baik itu
hukum pidana maupun hukum tata usaha negara. Dia mengingatkan bahwa sistem yang
berlaku di Indonesia saat ini adalah presidensial. Bukan parlementer. Karena
itu, mandat terbesar dari rakyat diberikan kepada presiden.

Saat bertemu dengan
presiden pada 26 September lalu, Ruki telah menjelaskan hasil pengamatannya
terhadap revisi UU tersebut. Terbukti, banyak hal yang menunjukkan minimnya
pertimbangan teori hukum. Di antaranya soal umur minimal pimpinan KPK. Ruki
menganggap hal itu sebagai kecerobohan fatal yang juga bisa berpengaruh pada
periode yang akan datang. Salah seorang pimpinan terpilih berusia 45 tahun.
Otomatis dia akan gugur jika UU tersebut mulai berlaku.

Ahli hukum tata negara
Bivitri Susanti menjelaskan, perppu tetap bisa dikeluarkan jika presiden
menghendaki. Memang saat ini sudah ada pengajuan judicial review ke Mahkamah
Konstitusi (MK). Namun, pengajuan itu belum bisa diproses MK selama UU belum
ditandatangani presiden atau berlaku setelah 30 hari pengesahan.

Karena itu, menurut
Bivitri, sebenarnya ada pilihan bagi presiden untuk menerbitkan perppu.
Menandatangani sekarang, lalu mengeluarkan perppu atau menunggu 17 Oktober
2019. Menunggu hingga 30 hari juga bisa dianggap sebagai sinyal baik karena ada
cukup banyak waktu untuk menyusun perppu. Namun, Bivitri menegaskan bahwa
rakyat butuh kepastian. ”Nyatakan saja dulu, ’Ya, saya akan keluarkan perppu’,”
tuturnya kemarin.

Baca Juga :  Nilai Ambang Batas SKD CPNS 2019 Lebih Rendah tapi Tidak Berlaku pada

Di sisi lain, mantan
peneliti LIPI Mochtar Pabottingi menilai parpol seharusnya tidak mengintimidasi
Jokowi. Rakyat juga diminta tidak termakan narasi-narasi impeachment yang
disampaikan elite partai. Mochtar memperkirakan, jika saat ini presiden
langsung mengeluarkan perppu, partai bisa berbalik posisi dan kembali mengekor
pada Jokowi.

Sementara itu,
menanggapi desakan para tokoh nasional dan mahasiswa tersebut, Kepala Staf
Kepresidenan Jenderal TNI Purnawirawan Moeldoko mengatakan, presiden sudah
mendengarnya. ”Sekali lagi presiden mendengarkan semuanya,” ujar dia di
kompleks Istana Kepresidenan Jakarta kemarin.

Namun, apakah tuntutan
itu akan dipenuhi, Moeldoko mengungkapkan, presiden tidak bisa terburu-buru.
Sebab, ada juga suara partai politik dan masyarakat lain yang berbeda. Karena
itu, atas berbagai masukan tersebut, presiden perlu menimbangnimbang. ”Ya,
semua nanti dikalkulasi,” imbuhnya.

Moeldoko mengakui,
persoalan Perppu KPK tidak mudah bagi presiden. Sebab, posisi presiden
dilematis. Di satu sisi, banyak elemen masyarakat yang menginginkan perppu.
Namun, partai politik dan sebagian masyarakat lainnya justru mendukung revisi
UU KPK. ”Seperti simalakama, tidak dimakan bawa mati, dimakan ikut mati, kan
begitu?” ucapnya. Apa pun pilihan yang diambil nanti, Moeldoko memastikan tidak
bakal memuaskan semua pihak.

Lantas bagaimana
dengan tenggat 14 Oktober yang disampaikan mahasiswa? Mantan panglima TNI itu
menyatakan, pemerintah masih mempertimbangkan semua masukan. Namun, Moeldoko
berharap semua kalangan bisa berpikir jernih.

”Jangan pakai bahasa
’pokoknya’ lah. Kita itu memikirkan negara. Semua harus dipikirkan. Semua harus
didengarkan,” tuturnya.

DPR Bersikukuh Minta
ke MK

Pada bagian lain,
anggota Fraksi PKS DPR Nasir Djamil mengatakan, Jokowi seharusnya berkomitmen
dengan apa yang sudah disampaikan. Presiden sudah membahas UU KPK dan
menyetujuinya. ”Kalau tiba-tiba mengeluarkan perppu, tentu Jokowi dianggap
melanggar komitmen oleh teman-teman di DPR,” ucap dia kepada Jawa Pos kemarin
(4/10). Lebih baik, kata Nasir, Jokowi mempersilakan para tokoh untuk
menempuh judicial review (JR) ke MK. Jokowi bisa mengundang
perguruan tinggi, mahasiswa, dan tokoh untuk mengajukan uji materi ke MK. ”Itu
lebih kesatria, lebih bermartabat,” terang politikus asal Aceh tersebut.

Menurut dia, JR
merupakan cara konstitusional. Cara itu akan menyelamatkan wajah semua pihak.
Baik presiden, DPR, maupun masyarakat. Apa pun yang akan diputuskan, ada
risikonya. Namun, Jokowi bisa memilih risiko yang paling kecil, yaitu meminta
para tokoh dan pihak yang tidak sepakat dengan UU KPK untuk menempuh jalur
hukum di MK.

Baca Juga :  Asuransi Cina Tawarkan Bantuan ke BPJS Kesehatan

Jika Jokowi tetap
memaksakan diri mengeluarkan perppu, apa yang disampaikan Ketua Umum Partai
Nasdem Surya Paloh bisa saja terjadi. Yaitu, impeachment, pemakzulan. DPR
mempunyai hak untuk itu. ”DPR juga punya hak angket dan hak lainnya. Artinya,
apa yang disampaikan Pak Surya Paloh bisa saja terjadi,” tegas dia. Nasir
mengatakan, UU KPK sudah disahkan. Biarlah para hakim MK yang menilai. JR
merupakan cara yang lebih konstitusional daripada mendorong Jokowi menerbitkan
perppu.

Terima 390 Aduan
Korban Kekerasan Polisi

Selepas aksi penolakan
UU KPK, sejumlah lembaga bantuan hukum membuka pos pengaduan. Tim advokasi
untuk demokrasi kemarin memaparkan laporan pengaduan masyarakat terkait tindak
kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dalam aksi Reformasi
Dikorupsi di Jakarta dan sejumlah daerah. Hingga Kamis (3/10), total pengaduan
yang diterima sebanyak 390. Mayoritas melaporkan kasus yang dialami mahasiswa
(201 aduan).

Anggota tim advokasi
Rivanlee menyebutkan, pengaduan paling banyak adalah tindakan penganiayaan dan
penangkapan yang diduga dilakukan aparat saat aksi 24 hingga 30 September.
Tindakan represif tersebut tentu menyalahi aturan tentang pedoman pengendalian
massa.

Ari Pramoeditya,
anggota tim advokasi lainnya, menambahkan bahwa tindakan aparat dalam
pengendalian massa bertentangan dengan Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 7 Tahun
2012. Dalam aturan itu, anggota Polri tidak diperbolehkan melakukan upaya
kontraproduktif saat mengawal pelaksanaan aksi penyampaian aspirasi masyarakat.
Misalnya, mengejar pelaku, membalas melempar batu, dan menangkap dengan kasar
(menganiaya atau memukul). Aturan itu juga menegaskan bahwa aparat tidak boleh
menghalangi, men-sweeping, menggembosi, dan menangkap sebelum aksi terjadi.
”Yang terjadi di lapangan justru aparat melakukan tindakan eksesif,” tegas
aktivis Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) itu.

Tim advokasi meminta
pemerintah segera mencabut RUU kontroversial yang menjadi biang keresahan
masyarakat dan pemantik terjadinya aksi massa besar-besaran di sejumlah daerah.
Mereka juga meminta lembaga negara seperti Komnas HAM, Ombudsman, LPSK, Komnas
Perempuan, KPAI, dan Kompolnas lebih proaktif menjalankan tanggung jawabnya
terhadap peristiwa kelam itu.

Tim yang terdiri atas
sejumlah lembaga non pemerintah itu juga meminta Polri melakukan evaluasi dan
audit atas perilaku anggotanya di lapangan. ”Mereka (Polri) harus
mempertanggungjawabkan perbuatannya secara etik maupun pidana atas penanganan
aksi massa,” tutur Afif, anggota tim advokasi yang lain. (jpg)

Terpopuler

Artikel Terbaru