25.2 C
Jakarta
Saturday, April 20, 2024

Tameng Trump Hadapi Pemakzulan: Politik atau Ekonomi

Seberapa pun kerasnya
Demokrat menyangkal motif politik dalam kasus pemakzulan, seluruh publik tak
akan percaya. Pada akhirnya, upaya yang dilakukan Dewan Perwakilan AS
digerakkan langsung oleh elite politik partai berlambang keledai itu. Trump
sendiri sudah memilih tameng terhadap serangan politik Demokrat. Ekonomi.

Trump memang punya
reputasi buruk dalam aspek politik dan moral. Namun, reputasinya di bidang
ekonomi beda cerita. Trump adalah konglomerat yang mengeklaim dirinya pebisnis
yang selalu menang dalam kompetisi apa pun.

Kenyataannya, kinerja
ekonomi AS cemerlang di bawah kepemimpinannya. Jumat lalu pemerintah melaporkan
penambahan angkatan kerja sebanyak 266.000 selama November. Angka pengangguran
nasional pun turun menjadi 3,5 persen. Rekor terendah sejak 1969.

”Angka pengangguran
terendah dalam beberapa tahun terakhir dan kami mungkin mencetak sejarah,” ujar
Trump.

Trump menggunakan
prestasi itu sebagai senjata politik. Dia mengeklaim proses pemakzulan
menghalanginya untuk bekerja secara maksimal. Karena itu, potensi ekonomi AS
belum mencapai maksimal.

Baca Juga :  Hilang saat Tsunami 2011, Setelah 10 Tahun, Korban Teridentifikasi

”Tanpa pertunjukan
horor dari sayap kiri radikal, ekonomi akan jauh lebih baik,” ujarnya.

Trump berharap pemilih
punya pemikiran serupa. Yang paling penting adalah uang. Menurut dia, rakyat
Amerika seharusnya lebih khawatir dengan isu rumah tangga sendiri daripada isu
politik luar negeri.

”Percakapan telepon
antara Trump dan presiden Ukraina tak memengaruhi kehidupan siapa pun (di AS,
Red). Pekerjaan dengan gaji besarlah yang memengaruhinya,” ujar Brad Parscale,
manajer kampanye Trump, kepada New York Times.

Sayang, tameng Trump
tak terlalu mumpuni. Elektabilitas Trump di mata rakyat AS masih saja menurun.
Menurut data terbaru, kepercayaan terhadap Trump turun 2 persen menjadi 41
persen. Tonny Fratto, pendiri lembaga humas Hamilton Place Strategies,
mengatakan bahwa Trump bakal lebih populer jika tak punya terlalu banyak
skandal.

”Saat ini pemilih
mungkin merasa pertumbuhan ekonomi negara adalah hal yang wajar. Karena itu,
mereka lebih fokus terhadap perilaku presiden.”

Baca Juga :  Selama Masa Observasi WNI dari Wuhan, Menkes Terawan Ngantor di Nat

Faktor lainnya datang
dari senjata Trump. Yakni, ejekan dan cemoohan terhadap Demokrat. Menurut
pengamat, Trump lebih semangat membicarakan keburukan Demokrat daripada
prestasi ekonominya.

Padahal, banyak
politikus Republik dan pebisnis AS yang sedang butuh dukungan. AS saat ini
sedang berada di momen puncak. Perusahaan sudah mempekerjakan 2,2 juta jiwa
dalam 12 tahun terakhir. Pertumbuhan itu datang meskipun perang dagang sedang
bergejolak dan menghalangi beberapa aspek bisnis.

Trump sendiri sudah
menegaskan bahwa negosiasi dagang dengan Tiongkok bakal bertahan sampai Pemilu
2020. Hal tersebut membuat banyak pengusaha keder. Itu berarti pajak tinggi
untuk impor Tiongkok masih akan bertahan setidaknya 11 bulan ke depan.

”Kita benar-benar ada
di tanah asing. Kita tak tahu apa yang akan terjadi tahun depan,” ujar Ernie
Tedeschi, pakar ekonomi dari Evercore ISI.(jpc)

 

Seberapa pun kerasnya
Demokrat menyangkal motif politik dalam kasus pemakzulan, seluruh publik tak
akan percaya. Pada akhirnya, upaya yang dilakukan Dewan Perwakilan AS
digerakkan langsung oleh elite politik partai berlambang keledai itu. Trump
sendiri sudah memilih tameng terhadap serangan politik Demokrat. Ekonomi.

Trump memang punya
reputasi buruk dalam aspek politik dan moral. Namun, reputasinya di bidang
ekonomi beda cerita. Trump adalah konglomerat yang mengeklaim dirinya pebisnis
yang selalu menang dalam kompetisi apa pun.

Kenyataannya, kinerja
ekonomi AS cemerlang di bawah kepemimpinannya. Jumat lalu pemerintah melaporkan
penambahan angkatan kerja sebanyak 266.000 selama November. Angka pengangguran
nasional pun turun menjadi 3,5 persen. Rekor terendah sejak 1969.

”Angka pengangguran
terendah dalam beberapa tahun terakhir dan kami mungkin mencetak sejarah,” ujar
Trump.

Trump menggunakan
prestasi itu sebagai senjata politik. Dia mengeklaim proses pemakzulan
menghalanginya untuk bekerja secara maksimal. Karena itu, potensi ekonomi AS
belum mencapai maksimal.

Baca Juga :  Hilang saat Tsunami 2011, Setelah 10 Tahun, Korban Teridentifikasi

”Tanpa pertunjukan
horor dari sayap kiri radikal, ekonomi akan jauh lebih baik,” ujarnya.

Trump berharap pemilih
punya pemikiran serupa. Yang paling penting adalah uang. Menurut dia, rakyat
Amerika seharusnya lebih khawatir dengan isu rumah tangga sendiri daripada isu
politik luar negeri.

”Percakapan telepon
antara Trump dan presiden Ukraina tak memengaruhi kehidupan siapa pun (di AS,
Red). Pekerjaan dengan gaji besarlah yang memengaruhinya,” ujar Brad Parscale,
manajer kampanye Trump, kepada New York Times.

Sayang, tameng Trump
tak terlalu mumpuni. Elektabilitas Trump di mata rakyat AS masih saja menurun.
Menurut data terbaru, kepercayaan terhadap Trump turun 2 persen menjadi 41
persen. Tonny Fratto, pendiri lembaga humas Hamilton Place Strategies,
mengatakan bahwa Trump bakal lebih populer jika tak punya terlalu banyak
skandal.

”Saat ini pemilih
mungkin merasa pertumbuhan ekonomi negara adalah hal yang wajar. Karena itu,
mereka lebih fokus terhadap perilaku presiden.”

Baca Juga :  Selama Masa Observasi WNI dari Wuhan, Menkes Terawan Ngantor di Nat

Faktor lainnya datang
dari senjata Trump. Yakni, ejekan dan cemoohan terhadap Demokrat. Menurut
pengamat, Trump lebih semangat membicarakan keburukan Demokrat daripada
prestasi ekonominya.

Padahal, banyak
politikus Republik dan pebisnis AS yang sedang butuh dukungan. AS saat ini
sedang berada di momen puncak. Perusahaan sudah mempekerjakan 2,2 juta jiwa
dalam 12 tahun terakhir. Pertumbuhan itu datang meskipun perang dagang sedang
bergejolak dan menghalangi beberapa aspek bisnis.

Trump sendiri sudah
menegaskan bahwa negosiasi dagang dengan Tiongkok bakal bertahan sampai Pemilu
2020. Hal tersebut membuat banyak pengusaha keder. Itu berarti pajak tinggi
untuk impor Tiongkok masih akan bertahan setidaknya 11 bulan ke depan.

”Kita benar-benar ada
di tanah asing. Kita tak tahu apa yang akan terjadi tahun depan,” ujar Ernie
Tedeschi, pakar ekonomi dari Evercore ISI.(jpc)

 

Terpopuler

Artikel Terbaru