32 C
Jakarta
Friday, April 19, 2024

2020, Berani Tidak (Terlalu) Optimistis?

SEJARAWAN Yuval Noah Harari (Homo Deus, 2015)
menunjukkan, kita hidup di zaman manusia kelebihan makanan dan gula. Akibatnya,
penderita obesitas jauh lebih tinggi daripada yang kelaparan. Ini adalah abad
saat manusia dan negara mengalami rata-rata pendapatan lebih tinggi daripada
abad sebelumnya.

Senada dengan Harari, Steven Pinker (Enlightenment Now, 2017) menunjukkan
bahwa sekarang adalah abad terdamai karena tidak terjadi perang secara global
setelah 1945.

Namun, kita patut menahan tepuk tangan dulu. Sebab, pada saat yang sama,
pertumbuhan ekonomi hanya dirasakan segelintir persen elite. Dan ini adalah era
ketika tingkat penyakit mental, depresi, kesepian, hingga bunuh diri meningkat
pesat.

Kita memasuki era di mana ada permasalahan yang lebih krusial daripada kemiskinan.
Yakni, ketimpangan. Jika ukuran kemiskinan adalah pendapatan 2 dolar per hari,
pegawai restoran besar, karyawan pom bensin, buruh pabrik, hingga sopir online
memang termasuk tidak miskin. Rata-rata pemasukan mereka sudah di atas upah
minimum. Hampir sama dengan gaji pekerja sektor formal seperti pegawai negeri,
dosen, dan wartawan.

Namun, naiknya income poverty itu bukannya tanpa risiko. Sebab, mereka yang
mengandalkan pendapatan saja pada saat yang sama harus menanggung beban
kesejahteraan sosialnya sendiri. Yang dulunya ditanggung negara. Misalnya, dana
pensiun, dana transportasi publik, hingga biaya perawatan anak (child care) untuk ibu pekerja.

Memang, angka kemiskinan mulai menurun. Pemerintah dibantu NGO
internasional mengentaskannya dengan cara teknikalisasi. Yakni, mengatasi
kemiskinan melalui inovasi teknologi dan kreativitas. Namun, pada saat yang
sama, teknikalisasi menghindari isu politik penyebab kemiskinan itu sendiri.
Yakni, ketimpangan kepemilikan tanah dan struktur utang dengan patron yang
mengikat.

Karena itu, argumen saya, kita mampu mengentaskan kemiskinan, tapi tidak
ketimpangan. Sebab, cara menyelesaikan ketimpangan adalah mendesak kebijakan
politik.

Hampir semua era pemerintahan Indonesia selalu mengeklaim telah menurunkan
angka kemiskinan. Yang tidak pernah mereka klaim adalah ketidakmampuan
menghilangkan angka ketimpangan. Kemiskinan bisa jadi permasalahan etos kerja
individu, seperti argumen para ekonom liberal.

Baca Juga :  Tanamkan Jiwa Nasionalisme untuk Pelajar, Ini yang Dilakukan Polsek B

Namun, ketimpangan jelas permasalahan politik. Ketimpangan berkaitan dengan
isu politik karena konsentrasi kekayaan (wealth
concentration
) diakumulasi oleh 1 hingga 10 persen orang yang memonopoli
semua investasi publik (public investment).
Mulai asuransi kesehatan, sarana air bersih, perumahan, kepemilikan tanah, hingga
pendidikan. Ironisnya, elite yang 1 persen itu sangat dekat dengan pemerintah
atau yang sering disebut oleh para teoretikus politik sebagai oligarchy.

Ketimpangan tidak lagi dibuktikan dengan angka-angka statistik karena ia
dapat dimanipulasi. Saat ini ketimpangan dapat dengan mudah diobservasi dalam
keseharian. Di dalam kampus, misalnya, ada pedagang keliling yang bekerja untuk
mendapatkan laba 2 ribu rupiah. Pada saat yang sama, ada mahasiswa yang mempunyai
mobil Porsche atau Ferrari.

Kesehatan Mental

Ketimpangan ekonomi saat ini menempatkan anak muda dalam golongan
prekariat. Kaum prekariat adalah golongan yang kehilangan harapan dan akses.
Harapan untuk punya pekerjaan tetap, menikah, punya rumah, dan dana pensiun.

Generasi saat ini hidup di era ketika mereka tercerabut dari solidaritas
organisasi ke persaingan individual yang atomik, hingga dicabutnya subsidi
kesejahteraan sosial oleh negara. Anak muda bekerja dengan kontrak yang singkat
dan benefit minimum. Relasi antara pemberi kerja dan pekerja sangat longgar dan
bersifat sementara. Hal tersebut tentu saja menyebabkan kecemasan dan
mengganggu kesehatan mental karena kehilangan ketetapan dan kepastian.

Kerentanan dan gangguan mental adalah persoalan masyarakat terbaru saat
ini. Jared Diamond (The World Until Yesterday, 2012) menunjukkan bahwa ia tidak
menemui isu gangguan mental, depresi, dan kerentanan pada masyarakat
tradisional. Nilai tertinggi dalam hidup adalah kerja sama, bukan kompetisi.
Pertukaran ekonomi berdasarkan solidaritas sosial (social solidarity) daripada
transaksi ekonomi (economic transaction).

Baca Juga :  PAUD Harus Ada di Hingga Daerah Terpencil

Hilangnya pekerjaan dan rendahnya keinginan menikah telah memasukkan
generasi muda saat ini pada sindrom remaja berkepanjangan (perpetual
adolescent). Andres Velasco, mantan menteri keuangan Cile yang juga profesor di
LSE, melaporkan bahwa pada 1940, sebanyak 90 persen anak mempunyai pendapatan
yang lebih baik daripada orang tuanya.

Saat ini hanya 50 persen yang mengalami hal tersebut. Sisanya, mereka
tinggal dengan orang tuanya, bahkan hingga berusia 35 tahun. Anak muda tidak
mempunyai bayangan soal masa depan (future) karena tidak memiliki simpanan
berlebih untuk mengejar bunga pinjaman rumah. Karena itu, yang mereka nikmati
adalah masa kini (presence) dengan cara jalan-jalan atau makan dan minum kopi
enak. Itulah yang disebut Abhijit Banerjee dan Esther Duflo sebagai godaan
sesaat (short temptation). Yakni,
orang miskin tidak mempunyai tabungan karena tidak dapat mengontrol ”kesenangan
sesaat” yang menghibur mereka.

Optimisme?

Saya tidak melihat tahun ini penuh dengan kemuraman. Anak muda telah
mempunyai kesadaran yang tampak pada gerakan protes global hingga mencapai 23
negara. Mereka adalah generasi Y dan Z berusia 15 hingga 35 tahun yang menuntut
subsidi dana sosial, keadilan, hak asasi manusia, pengentasan korupsi, dan
penanganan krisis pemanasan global. Ke depan gerakan itu terus membesar karena
ketimpangan dan krisis ekologi yang semakin buruk dari abad sebelumnya.

Kita perlu optimistis terhadap diri, keluarga, dan orang-orang terkasih di
sekitar. Sebab, hidup penuh dengan pesimisme tidak baik bagi kesehatan diri.
Namun, kita tidak harus sepenuhnya optimistis terhadap negara. Sebab, tidak
semua politikus dan elite adalah orang yang mempunyai niat baik untuk kita. Kita
harus tetap menjaga pesimisme karena dengan itu kita tidak jatuh pada
kekecewaan dan depresi akibat menaruh harapan besar pada pemerintahan saat ini.
(***)

(Dosen antropologi Universitas Brawijaya)

SEJARAWAN Yuval Noah Harari (Homo Deus, 2015)
menunjukkan, kita hidup di zaman manusia kelebihan makanan dan gula. Akibatnya,
penderita obesitas jauh lebih tinggi daripada yang kelaparan. Ini adalah abad
saat manusia dan negara mengalami rata-rata pendapatan lebih tinggi daripada
abad sebelumnya.

Senada dengan Harari, Steven Pinker (Enlightenment Now, 2017) menunjukkan
bahwa sekarang adalah abad terdamai karena tidak terjadi perang secara global
setelah 1945.

Namun, kita patut menahan tepuk tangan dulu. Sebab, pada saat yang sama,
pertumbuhan ekonomi hanya dirasakan segelintir persen elite. Dan ini adalah era
ketika tingkat penyakit mental, depresi, kesepian, hingga bunuh diri meningkat
pesat.

Kita memasuki era di mana ada permasalahan yang lebih krusial daripada kemiskinan.
Yakni, ketimpangan. Jika ukuran kemiskinan adalah pendapatan 2 dolar per hari,
pegawai restoran besar, karyawan pom bensin, buruh pabrik, hingga sopir online
memang termasuk tidak miskin. Rata-rata pemasukan mereka sudah di atas upah
minimum. Hampir sama dengan gaji pekerja sektor formal seperti pegawai negeri,
dosen, dan wartawan.

Namun, naiknya income poverty itu bukannya tanpa risiko. Sebab, mereka yang
mengandalkan pendapatan saja pada saat yang sama harus menanggung beban
kesejahteraan sosialnya sendiri. Yang dulunya ditanggung negara. Misalnya, dana
pensiun, dana transportasi publik, hingga biaya perawatan anak (child care) untuk ibu pekerja.

Memang, angka kemiskinan mulai menurun. Pemerintah dibantu NGO
internasional mengentaskannya dengan cara teknikalisasi. Yakni, mengatasi
kemiskinan melalui inovasi teknologi dan kreativitas. Namun, pada saat yang
sama, teknikalisasi menghindari isu politik penyebab kemiskinan itu sendiri.
Yakni, ketimpangan kepemilikan tanah dan struktur utang dengan patron yang
mengikat.

Karena itu, argumen saya, kita mampu mengentaskan kemiskinan, tapi tidak
ketimpangan. Sebab, cara menyelesaikan ketimpangan adalah mendesak kebijakan
politik.

Hampir semua era pemerintahan Indonesia selalu mengeklaim telah menurunkan
angka kemiskinan. Yang tidak pernah mereka klaim adalah ketidakmampuan
menghilangkan angka ketimpangan. Kemiskinan bisa jadi permasalahan etos kerja
individu, seperti argumen para ekonom liberal.

Baca Juga :  Tanamkan Jiwa Nasionalisme untuk Pelajar, Ini yang Dilakukan Polsek B

Namun, ketimpangan jelas permasalahan politik. Ketimpangan berkaitan dengan
isu politik karena konsentrasi kekayaan (wealth
concentration
) diakumulasi oleh 1 hingga 10 persen orang yang memonopoli
semua investasi publik (public investment).
Mulai asuransi kesehatan, sarana air bersih, perumahan, kepemilikan tanah, hingga
pendidikan. Ironisnya, elite yang 1 persen itu sangat dekat dengan pemerintah
atau yang sering disebut oleh para teoretikus politik sebagai oligarchy.

Ketimpangan tidak lagi dibuktikan dengan angka-angka statistik karena ia
dapat dimanipulasi. Saat ini ketimpangan dapat dengan mudah diobservasi dalam
keseharian. Di dalam kampus, misalnya, ada pedagang keliling yang bekerja untuk
mendapatkan laba 2 ribu rupiah. Pada saat yang sama, ada mahasiswa yang mempunyai
mobil Porsche atau Ferrari.

Kesehatan Mental

Ketimpangan ekonomi saat ini menempatkan anak muda dalam golongan
prekariat. Kaum prekariat adalah golongan yang kehilangan harapan dan akses.
Harapan untuk punya pekerjaan tetap, menikah, punya rumah, dan dana pensiun.

Generasi saat ini hidup di era ketika mereka tercerabut dari solidaritas
organisasi ke persaingan individual yang atomik, hingga dicabutnya subsidi
kesejahteraan sosial oleh negara. Anak muda bekerja dengan kontrak yang singkat
dan benefit minimum. Relasi antara pemberi kerja dan pekerja sangat longgar dan
bersifat sementara. Hal tersebut tentu saja menyebabkan kecemasan dan
mengganggu kesehatan mental karena kehilangan ketetapan dan kepastian.

Kerentanan dan gangguan mental adalah persoalan masyarakat terbaru saat
ini. Jared Diamond (The World Until Yesterday, 2012) menunjukkan bahwa ia tidak
menemui isu gangguan mental, depresi, dan kerentanan pada masyarakat
tradisional. Nilai tertinggi dalam hidup adalah kerja sama, bukan kompetisi.
Pertukaran ekonomi berdasarkan solidaritas sosial (social solidarity) daripada
transaksi ekonomi (economic transaction).

Baca Juga :  PAUD Harus Ada di Hingga Daerah Terpencil

Hilangnya pekerjaan dan rendahnya keinginan menikah telah memasukkan
generasi muda saat ini pada sindrom remaja berkepanjangan (perpetual
adolescent). Andres Velasco, mantan menteri keuangan Cile yang juga profesor di
LSE, melaporkan bahwa pada 1940, sebanyak 90 persen anak mempunyai pendapatan
yang lebih baik daripada orang tuanya.

Saat ini hanya 50 persen yang mengalami hal tersebut. Sisanya, mereka
tinggal dengan orang tuanya, bahkan hingga berusia 35 tahun. Anak muda tidak
mempunyai bayangan soal masa depan (future) karena tidak memiliki simpanan
berlebih untuk mengejar bunga pinjaman rumah. Karena itu, yang mereka nikmati
adalah masa kini (presence) dengan cara jalan-jalan atau makan dan minum kopi
enak. Itulah yang disebut Abhijit Banerjee dan Esther Duflo sebagai godaan
sesaat (short temptation). Yakni,
orang miskin tidak mempunyai tabungan karena tidak dapat mengontrol ”kesenangan
sesaat” yang menghibur mereka.

Optimisme?

Saya tidak melihat tahun ini penuh dengan kemuraman. Anak muda telah
mempunyai kesadaran yang tampak pada gerakan protes global hingga mencapai 23
negara. Mereka adalah generasi Y dan Z berusia 15 hingga 35 tahun yang menuntut
subsidi dana sosial, keadilan, hak asasi manusia, pengentasan korupsi, dan
penanganan krisis pemanasan global. Ke depan gerakan itu terus membesar karena
ketimpangan dan krisis ekologi yang semakin buruk dari abad sebelumnya.

Kita perlu optimistis terhadap diri, keluarga, dan orang-orang terkasih di
sekitar. Sebab, hidup penuh dengan pesimisme tidak baik bagi kesehatan diri.
Namun, kita tidak harus sepenuhnya optimistis terhadap negara. Sebab, tidak
semua politikus dan elite adalah orang yang mempunyai niat baik untuk kita. Kita
harus tetap menjaga pesimisme karena dengan itu kita tidak jatuh pada
kekecewaan dan depresi akibat menaruh harapan besar pada pemerintahan saat ini.
(***)

(Dosen antropologi Universitas Brawijaya)

Terpopuler

Artikel Terbaru