30.7 C
Jakarta
Tuesday, April 23, 2024

Terus Bereksperimen, Sulap Barkas Jadi Bernilai Seni

Dwi Wantara, staf Badan
Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Bantul, ternyata punya kesibukan lain. Dia
tergugah untuk ikut menyelesaikan persoalan sampah. Sampai-sampai Dwi mendirikan
sekolah pengelolaan sampah, dan diberi nama Ringas Trengginas. Lokasinya di
kediamannya, Padukuhan Palem, Baturetno, Banguntapan, Bantul.

 

MEITIKA CANDRA LANTIVA, Bantul

 

SAMPAH perlu jadi
fokus penanganan. Jika tidak, volume sampah yang semakin besar akan menjadi
persoalan tersendiri. Mengerikan dan dampaknya bisa menimbulkan bencana.

Bantul berada di
kawasan hilir. Saat musim hujan tiga tahun belakangan ini, selalu terjadi
banjir. Faktor terbesar karena sampah yang menyumbat dari hulu ke hilir.

“Yang paling
memprihatinkan lagi, tempat pengelolaan sampah terpadu (TPST) Piyungan kian
overload. Bagaimana ke depan dan di mana buang sampahnya?” ungkap Dwi Warsena
(53) saat disambangi Radar Jogja (Grup Kalteng Pos), beberapa waktu lalu.

Hal itulah yang membuka
hatinya. Sebelum akhirnya membuka Sekolah Sampah Ringas Trengginas, terlebih dahulu
ia bereksperimen. Eksperimen dimulai sejak 2003 lalu. Mulai dari memilah sampah
hingga menghasilkan pupuk kompos berbasis sampah alam. Saat itu dia masih
berdinas menjadi staf di Kesbangpol Bantul.

Pada 2017, dia dipindahtugaskan
ke Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Bantul. Semenjak itu ia semakin yakin bahwa
tidak ada sampah yang tidak mampu diselesaikan. Eksperimen pengelolaan sampah
pun semakin gencar, hingga merambah ke pengelolaan barang bekas (barkas)
bernilai seni.

Baca Juga :  Kunjungi Lokasi, Berikan Target dan Tekankan Lansia Menjadi Prioritas

Terbukti, di sepanjang
halaman rumahnya yang tak seberapa luas itu, dipenuhi oleh barang bekas, drum
penampung, mesin pencacah plastik, dan aneka macam kreasi sampah dan barang
bekas. Jiwa kreatifnya melekat kuat.

Saat masuk di halaman
rumahnya itu, di berbagai sudut halaman dijumpai hiasan instalasi seni. Tepat
di teras rumahnya, berderet jam tangan bekas terbingkai dengan indah. Di sisi
timur berdiri robot dari komponen onderdil mesin. Mundur selangkah, menengok ke
barat, sekilas kincir angin pengatur oksigen pada kolam ikan.

“Kincir air ini terbuat
dari barang bekas. Kincirnya dari susunan sendok plastik,” bebernya. Jika mesin
itu hidup, stik yang melekat di komponen itu dengan sendirinya menabuh bekas
kaleng dan menimbulkan bunyi.

Nah, gubuk sampah yang
dia bangun itu menjadi tempat yang nyaman bagi Dwi untuk bereksperimen. Dia
mengelola sampah plastik menjadi batako untuk dinding dan lantai. Mengelola
sterofoam bekas jadi ubin berbobot enteng. Dia juga membuat lampu hias berbahan
dasar plastik hingga kaca.

Awal 2018, ketika ia dimutasi
ke BPBD, dia malah semakin yakin. Eksperimennya itu dapat mengedukasi
masyarakat. Persoalan sampah tak dapat diselesaikan sendiri, melainkan butuh
gerakan. Kemudian muncul ide membuat sekolah sampah. “Harapannya agar semua
masyarakat tergerak mengolah sampah, dimulai dari sampah rumah tangga,”
ungkapnya.

Baca Juga :  Penghasilan Orang Tua Pas-pasan, Ikut Kejuaraan Bermodalkan Pinjaman

Tak berhenti pada
pengelolaan. Ia juga bekerja sama dengan perusahaan industri pipa paralon.
Sampah-sampah yang sudah dikelola menjadi cacahan plastik ini, disetorkan ke
perusahaan industri itu. Juga bekerja sama dengan Kelompok Rapel, pengelola
aplikasi online distribusi sampah. Aplikasi ini persis Gojek. Bedanya, yang
diantar jemput adalah berwujud sampah.

Masyarakat dapat
memilah sampah kemudian dijual di aplikasi ini. Nilai sampah sudah tertera
sesuai jenisnya. “Semakin baik dalam mengelompokkan sampah, semakin tinggi
nilainya,” ujar Dwi.

Ia bertekad mengajak
banyak orang agar sadar sampah. Sampah bukanlah momok. Sampah memiliki nilai
ekonomis. Upaya yang Dwi lakukan dengan merangkul warga di sekitarnya.

Ya, di beberapa RT
sudah mulai tergerak. Terlebih sosialisasi semakin digiatkan. Sosialisasi juga
merambah ke kepala sekolah ataupun guru-guru TK. Dwi mengajak mereka
bersama-sama menyelesaikan persoalan sampah. Mengajak anak-anak TK sadar
memilah sampah sejak dini. “Kegiatan menyasar TK sudah mulai. Kami akan lakukan
di 502 TK se-Kabupaten Bantul,” tuturnya.

Dengan begitu, Dwi
semakin yakin dan optimistis, jika kesadaran memilah sampah dilakukan sejak dini,
maka upaya penyelesaian sampah akan teratasi. Meskipun bukan hal yang mudah
dilakukan, tapi selama bisa bergerak bersama, hal sulit pun akan jadi ringan. (ce/laz)

Dwi Wantara, staf Badan
Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Bantul, ternyata punya kesibukan lain. Dia
tergugah untuk ikut menyelesaikan persoalan sampah. Sampai-sampai Dwi mendirikan
sekolah pengelolaan sampah, dan diberi nama Ringas Trengginas. Lokasinya di
kediamannya, Padukuhan Palem, Baturetno, Banguntapan, Bantul.

 

MEITIKA CANDRA LANTIVA, Bantul

 

SAMPAH perlu jadi
fokus penanganan. Jika tidak, volume sampah yang semakin besar akan menjadi
persoalan tersendiri. Mengerikan dan dampaknya bisa menimbulkan bencana.

Bantul berada di
kawasan hilir. Saat musim hujan tiga tahun belakangan ini, selalu terjadi
banjir. Faktor terbesar karena sampah yang menyumbat dari hulu ke hilir.

“Yang paling
memprihatinkan lagi, tempat pengelolaan sampah terpadu (TPST) Piyungan kian
overload. Bagaimana ke depan dan di mana buang sampahnya?” ungkap Dwi Warsena
(53) saat disambangi Radar Jogja (Grup Kalteng Pos), beberapa waktu lalu.

Hal itulah yang membuka
hatinya. Sebelum akhirnya membuka Sekolah Sampah Ringas Trengginas, terlebih dahulu
ia bereksperimen. Eksperimen dimulai sejak 2003 lalu. Mulai dari memilah sampah
hingga menghasilkan pupuk kompos berbasis sampah alam. Saat itu dia masih
berdinas menjadi staf di Kesbangpol Bantul.

Pada 2017, dia dipindahtugaskan
ke Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Bantul. Semenjak itu ia semakin yakin bahwa
tidak ada sampah yang tidak mampu diselesaikan. Eksperimen pengelolaan sampah
pun semakin gencar, hingga merambah ke pengelolaan barang bekas (barkas)
bernilai seni.

Baca Juga :  Kunjungi Lokasi, Berikan Target dan Tekankan Lansia Menjadi Prioritas

Terbukti, di sepanjang
halaman rumahnya yang tak seberapa luas itu, dipenuhi oleh barang bekas, drum
penampung, mesin pencacah plastik, dan aneka macam kreasi sampah dan barang
bekas. Jiwa kreatifnya melekat kuat.

Saat masuk di halaman
rumahnya itu, di berbagai sudut halaman dijumpai hiasan instalasi seni. Tepat
di teras rumahnya, berderet jam tangan bekas terbingkai dengan indah. Di sisi
timur berdiri robot dari komponen onderdil mesin. Mundur selangkah, menengok ke
barat, sekilas kincir angin pengatur oksigen pada kolam ikan.

“Kincir air ini terbuat
dari barang bekas. Kincirnya dari susunan sendok plastik,” bebernya. Jika mesin
itu hidup, stik yang melekat di komponen itu dengan sendirinya menabuh bekas
kaleng dan menimbulkan bunyi.

Nah, gubuk sampah yang
dia bangun itu menjadi tempat yang nyaman bagi Dwi untuk bereksperimen. Dia
mengelola sampah plastik menjadi batako untuk dinding dan lantai. Mengelola
sterofoam bekas jadi ubin berbobot enteng. Dia juga membuat lampu hias berbahan
dasar plastik hingga kaca.

Awal 2018, ketika ia dimutasi
ke BPBD, dia malah semakin yakin. Eksperimennya itu dapat mengedukasi
masyarakat. Persoalan sampah tak dapat diselesaikan sendiri, melainkan butuh
gerakan. Kemudian muncul ide membuat sekolah sampah. “Harapannya agar semua
masyarakat tergerak mengolah sampah, dimulai dari sampah rumah tangga,”
ungkapnya.

Baca Juga :  Penghasilan Orang Tua Pas-pasan, Ikut Kejuaraan Bermodalkan Pinjaman

Tak berhenti pada
pengelolaan. Ia juga bekerja sama dengan perusahaan industri pipa paralon.
Sampah-sampah yang sudah dikelola menjadi cacahan plastik ini, disetorkan ke
perusahaan industri itu. Juga bekerja sama dengan Kelompok Rapel, pengelola
aplikasi online distribusi sampah. Aplikasi ini persis Gojek. Bedanya, yang
diantar jemput adalah berwujud sampah.

Masyarakat dapat
memilah sampah kemudian dijual di aplikasi ini. Nilai sampah sudah tertera
sesuai jenisnya. “Semakin baik dalam mengelompokkan sampah, semakin tinggi
nilainya,” ujar Dwi.

Ia bertekad mengajak
banyak orang agar sadar sampah. Sampah bukanlah momok. Sampah memiliki nilai
ekonomis. Upaya yang Dwi lakukan dengan merangkul warga di sekitarnya.

Ya, di beberapa RT
sudah mulai tergerak. Terlebih sosialisasi semakin digiatkan. Sosialisasi juga
merambah ke kepala sekolah ataupun guru-guru TK. Dwi mengajak mereka
bersama-sama menyelesaikan persoalan sampah. Mengajak anak-anak TK sadar
memilah sampah sejak dini. “Kegiatan menyasar TK sudah mulai. Kami akan lakukan
di 502 TK se-Kabupaten Bantul,” tuturnya.

Dengan begitu, Dwi
semakin yakin dan optimistis, jika kesadaran memilah sampah dilakukan sejak dini,
maka upaya penyelesaian sampah akan teratasi. Meskipun bukan hal yang mudah
dilakukan, tapi selama bisa bergerak bersama, hal sulit pun akan jadi ringan. (ce/laz)

Terpopuler

Artikel Terbaru